Para
Caleg Kita
Bre Redana ; Penulis
Kolom “Udar Rasa” di Kompas
|
KOMPAS,
13 April 2014
Ketika
pulang kampung di Jawa Tengah beberapa bulan sebelum pemilu lalu, salah satu anak
perempuan famili mendekati saya. Tak jelas bagaimana kaitan keluarga kami,
tapi di kampung kami semua merasa bersaudara. Mungkin tahu beberapa saudara
istri saya tinggal di Hongkong, dia meminta saya membantunya mencarikan
pekerjaan di Hongkong. Istilahnya sebagai TKI alias tenaga kerja Indonesia.
”Tapi
kepastiannya setelah pemilu April nanti,” ucapnya.
”Kenapa?”
tanya saya.
”Saya
akan nyaleg dulu. Kalau terpilih, ya, tak jadi cari kerja di Hongkong.”
”Oh...,”
saya terheran-heran. ”Jadi ikut nyaleg?” tanya saya.
”Ya,”
ujarnya. ”Kalau gagal, Om carikan pekerjaan di Hongkong, ya. Kalau di sini
saya pekerjaan milih-milih. Di luar (negeri) pekerjaan apa saja saya mau.
Jadi pembantu rumah tangga tidak apa-apa,” lanjutnya.
”Jika
terpilih jadi anggota legislatif, mau melakukan apa?” saya jadi kepo alias
ingin tahu.
”Mau
berjuang.”
”Dengan
cara bagaimana?”
”Pokoknya
berjuang. Memperjuangkan nasib rakyat. Pokoknya begitu Om. Kalau gagal, jadi
pembantu rumah tangga pun asal di luar negeri saya mau,” dia menegaskan
keinginannya.
Saya tak
bertanya lebih lanjut.
Menjelang
pemilihan legislatif banyak orang mencalonkan diri. Lulusan SMEP yang pernah
kerja di pabrik garmen di Ungaran seperti saudara saya tadi, tukang bakso,
pengojek, calo tanah, ibu rumah tangga banyak duit, artis, pensiunan, dan
lain-lain. Kepada mereka, saya anggap tidak relevan bertanya apa doktrin
perjuangannya, orientasi ideologinya, gagasan kemasyarakatannya, imajinasinya
tentang negara bangsa, dan semacamnya. Buat apa. Ini bukan zaman Tan Malaka.
Ini zaman politikus jadi-jadian.
Mengajukan
pertanyaan semacam itu kepada mereka, sama saja bertanya pada sales promotion girl atau SPG di
mal-mal yang menawarkan hunian baik rumah maupun apartemen, mengenai konsep
dagangan mereka.
”Om, apartemen.
Minimalis,” kata seorang SPG sembari membagi-bagi brosur.
”Saya
ingin cari apartemen yang bentuknya penuh ukiran, mewah, ramai, tiangnya
seperti bangunan Romawi,” ucap saya.
”Oh itu modern minimalis,” sahutnya.
”Modern
minimalis itu seperti apa?”
”Mari
saya tunjukkan contohnya,” katanya antusias.
Kata
minimalis sekarang berhamburan dari penjual rumah, furnitur, dekorasi
ruangan, dan lain-lain.
Tentu
saja saya tadi cuma terdorong iseng demi melihat si SPG yang lumayan manis.
Kalau benar-benar ingin tahu minimalisme dalam ranah arsitektur
post-modernisme tentu saya akan bertanya kepada arsitek Marco Kusumawijaya
atau Andy Siswanto.
Begitu
pun soal konsep dan masa depan bangsa. Saya tidak akan bertanya kepada para
calon anggota legislatif kita, termasuk mereka yang mencalonkan diri sebagai
presiden sekalipun. Di media sosial, beberapa akademisi mencoba membahas
istilah-istilah yang diucapkan para calon ini, dari marhaenisme sampai
nasionalisme. Kesimpulannya, para calon dianggap kurang paham apa yang
diucapkannya. Marhaen gadungan, nasionalis gadungan.
Keponakan
saya, cewek yang baru saja diterima kerja di perusahaan penjual barang-barang
fashion kelas atas berucap, ”Ya iyalah,
mereka kan cuma pengin berkuasa. Pengin kaya....”
Begitulah
sebenarnya problem bahasa dari waktu ke waktu. Kita semua tahu, penggunaan
bahasa, apalagi masuk ke ranah konsep, mengalami kemunduran. Hanya saja,
diam-diam kita juga tahu, kita sebenarnya tak bisa berbuat apa-apa atas
kemerosotan berbahasa tersebut.
Kata-kata
dan bahasa menjadi tidak akurat karena otak kita tumpul. Atau sebaliknya,
otak kita tumpul karena terbiasa menerima bahasa yang serampangan, gampangan.
Otak terbiasa malas mencari akurasi dan lama-lama jadi tumpul beneran.
Terus
terang, supaya anakronisme politik tidak kian menjadi-jadi, saya berharap
saudara saya di kampung itu gagal jadi anggota legislatif. Sebaliknya, saya
juga berharap, dia lupa dan tidak menghubungi saya untuk mencarikan pekerjaan
di Hongkong. Saya bukan agen penyalur tenaga kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar