Rabu, 09 April 2014

Quo Vadis Pemuda?

Quo Vadis Pemuda?

Ahan Syahrul Arifin  ;   Ketua PB HMI periode 2013-2015
HALUAN, 08 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Berulangkali para ahli mengi­ngatkan ak­an pen­ting­­nya bonus de­mog­rafi. Sebetulnya sederhana saja mengar­tikan bonus demo­grafi. Yakni saat jumlah penduduk pro­duktif berada di puncak piramida. Besar­nya jumlah penduduk produk­tif ini tentu akan sangat bermanfaat bagi pening­katkan aktivitas pembangunan di suatu negeri. Indonesia sendiri dipredik­sikan akan men­capai titik ini, seperti diungkap Prof (emeritus) Dorodjatun Kunt­joro-Jakti dalam buku “Mene­rawang Indonesia” pada rentang tahun 2030-an.

Bonus demografi tidak akan datang dua kali. Jika kita gagal memanfaatkan momentum ini, bisa fatal akibatnya. Terutama pasca 2040 nanti, saat itu jumlah terbanyak penduduk pro­duktif akan masuk masa tua. Produktivitas akan menurun, tenaga berkurang, sakit mudah mendera. Masa dimana mereka memasuki masa istirahat.

Bayangkan saja, jika saat itu tiba, saat kese­jahteraan belum baik, negara masih miskin, saat penduduk usia senja meme­nuhi setiap gang. Beban penduduk produktif tentunya akan lebih berat dan besar. Jika diakumulasikan, negara akan mendapatkan beban yang sangat besar.

Dalam satu sisi, bonus demografi akan jadi peluang besar bagi suatu negara untuk mencapai titik ter­tinggi dalam segala bidang. Tapi begitu salah urus, bonus demografi akan jadi ancaman yang fatal di masa depan. China dan Brazil adalah contoh negara yang berhasil melewati masa ini.

Keberhasilannya me­mantik kinerja pem­ba­ngunan yang melon­jak tajam. Pertumbuhan eko­nomi dan peningkatan PDB/perkapita dan pening­katan kesejahteraan pen­duduk merupakan para­meter yang menunjukkan keberhasilan tersebut. Bah­kan dalam ka­pa­sitas ter­tentu, China men­yo­dok menjadi penantang se­rius Amerika dalam peng­u­a­saan aset-aset eko­no­­mi dunia.

Kini ke­sem­patan, pe­­lu­ang dan tantangan di tangan Indo­nesia. Salah ambil kebija­kan, bisa run­­­yam di masa depan. Namun bu­tuh pra­sya­rat ter­tentu un­tuk lolus ujian ini. Sa­­lah satu ka­n­­a­­lisasi ada­lah mem­ba­ngun gene­rasi pro­duktif yang inovatif, kreatif dan terampil.

Sektor pendidikan akan jadi tombak penting untuk membingkai lahirnya gene­rasi emas tersebut. Asumsi apapun yang dipakai, dengan bekal pendidikan tinggi, seseorang akan memiliki informasi, data, analisa terhadap berbagai persoalan.
Masalahnya kemudian, pencapaian angka lulusan perguruan tinggi di In­donesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan Malaysia, Filipina dan Singapura. 

Menurut World Bank (2007), capaian Indonesia untuk pendidikan tinggi (Tertiary Education) berada di angka 6,5 persen. Bandingkan dengan Malay­sia 20,3 persen, Filipina 27,7 persen, dan Singapura 23,7 persen.

Merunut data di atas, kompetensi untuk sektor pendidikan, Indonesia masih ketinggalan. Rendahnya jumlah lulusan berimbas pada daya saing anak bangsa. Tak salah bila, strata TKI Indonesia lebih rendah dari Filipina.

Peningkatan kuantitas lulusan perguruan tinggi memang harus jadi prioritas tanpa juga menanggalkan kualitas lulusan. Dengan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, kesempatan bagi anak-anak bangsa untuk mengenyam pendidikan tinggi wajib ditingkatkan. Tak ada cara lain untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, selain melambari generasi muda dengan pendidikan tinggi.

Ongkos mahal investasi pendidikan tidak akan pernah sia-sia. Perubahan-perubahan besar di Indo­nesia selalu dimotori gene­rasi terdidik yang tercerah­kan dan tersadarkan.

Itulah kenapa, pening­katakan kuantitas lulusan perguruan tinggi juga harus linear dengan kualitasnya. Jangan sampai tingginya kuantitas lulusan hanya melahirkan pengangguran intelektual. Bukan menjadi solusi, malah beban baru.

Maka penting untuk digarisbawahi, kurikulum dan materi pelajaran harus mampu membangun kesa­daran dan kepercayaan anak didik untuk bersaing dalam medan kompetisi global yang ketat, kompetitif dan penuh dengan tanta­ngan. Kualitas SDM akan menjadi pembeda dalam persaingan bebas.

Gejala, tantangan, tabiat masa depan yang membu­tuh­kan tangan-tangan terampil untuk menak­lukkannya. Peran anak-anak muda, dalam konteks ini sangaturgent bagi perubahan.

Change Makers

Di masa lalu, anak-anak muda memainkan peran yang besar dalam menggerakkan perubahan. Dina­mi­ka kehidupan berbangsa selalu dimotori gerakan-gera­kan anak mu­da yang me­­ne­m­patkan ide dan ga­gasan seba­gai tulang pung­gung pe­ru­bahan.
Disadari a­­tau tidak, gerakan anak-anak muda mem­punyai potensi yang sangat besar dalam upaya mem­bangun pera­daban yang maju dan ber­­mar­­tabat. Dengan bekal penge­tahuan, wawasan keil­mu­annya, jaringan dan pe­nempaan diri yang ber­jenjang berla­pis, sudah barang tentu mahasiswa mempunyai peranan yang niscaya dalam mengubah sebuah keadaan.

Jamaknya, mahasiswa dengan ide dan gaga­saan­nya selalu di tempatkan sebagai lokomotif penyuara peru­bahan. Hal ini bisa kita baca dari berbagai rangkaian sejarah kehi­dupan bangsa. Mulai dari ke­bangkitan nasional 1908 hingga peris­tiwa berdarah Mei 1998. Mahasiswa selalu aktif di garda depan peru­bahan bangsa. Artinya, ide progesif dan visioner yang dilon­tarkan mahasiswa mampu melam­paui keada­an dan membawa sebuah ke­baikan bagi kehi­dupan berbangsa dan ber­ne­ga­ra.

Namun, kini, tidak jarang kita juga mendengar­kan kisah bagaimana peri­laku menyimpang maha­siswa. Peri­laku yang se­sung­­guhnya tidak mencer­minkan karakter maha­siswa. Peri­laku destruktif yang bertolak belakang dengan sisi kepah­lawanan maha­siswa yang di mitos­kan sebagai bagian penting dalam alur peru­bahan.

Ini bisa kita saksikan melalui banyaknya pemberi­taan media tentang banyak­nya pengedar narkoba dari kala­ngan mahasiswa, seks bebas yang merambah kalangan mahasiswa, per­kelahian dan berita-berita negatif lainya. Keadaan ini tentu berkebalikan seratus persen dengan aktivitas mahasiswa yang mampu menempatkan dirinya seba­gai agen perubahan.

Berpijak dalam pusaran sejarah, dan gelagat masa depan yang cerah gilang gemilang. Perjalanan bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kaum muda meng­ambil jalan kepe­loporan.  Soekarno bahkan dengan lantang menyatakan, untuk mengubah dunia ia hanya butuh sepuluh pemu­da.

Mengingat peran vital­nya, jelas peran serta anak-anak muda yang kini memasuki usia produktif harus mampu disalurkan di jalan yang benar. Kesadaran sejarah bahwa mereka yang hidup zaman ini akan menentukan nasib bangsa mesti disun­tikkan sebagai paradigma. Sehingga anak-anak muda zaman ini memi­liki kesa­daran akan masa depan yang cepat berubah. Kesadaran akan masa depan, diharapkan membuat generasi muda tak henti untuk belajar, ber­karya dan terus mening­katkan kapa­sitas dirinya. Sebelum pada akhirnya mereka duduk menjadi penentu kebijakan.

Rentang masa bonus demografi sudah di depan mata. Peluang  ini tidak akan datang dua kali. Salah melangkah, masa depan gemilang siap-siap ter­gadaikan. Jalan apakah yang akan kita ambil ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar