Mewaspadai
Serangan Fajar
Lampita Miftahul Jannah ; Peneliti pada Center
for Social Economic and Humanity Studies, Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 08 April 2014
Aksi
penolakan terhadap praktik politik uang (money
politics) oleh Gerakan Masyarakan Antipolitik Uang (Gemang) di
Yogyakarta, beberapa hari lalu, patut diapresiasi.
Mereka
menyuarakan penolakan secara lantang terhadap praktik money politics pada
momentum Pemilihan Umum Legislatif (pileg) dan Pemilihan Presiden (pilpres)
2014. Pileg dan pilpres harus bersih dari praktik money politics agar tidak
mencederai proses demokratisasi di negeri ini.
Pesta
pileg besok, 9 April, mau tidak mau, harus dilingdungi dan dijaga bersama
dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Sebab tidak menutup kemungkinan
praktif money politics dijadikan sebuah alternatif politik instan para
kandidat untuk memperebutkan suara di tengah sempitnya ruang dan menipisnya
kuota.
Praktik
terselubung ini sering menjelma menjelang detik-detik pelaksanaan pemungutan
suara.
Hak
massa dibeli dan dihargai sangat murah, tak mungkin bisa untuk hidup jangka
panjang. Begitulah cara-cara hitam calon legislatif (caleg) mempermainkan
suara rakyat dengan kantong tebalnya. Money politics selalu dijadikan
alternatif guna mendapat partisipasi publik dan memobilisasi dukungan.
Bahkan
lebih ironisnya, mereka berani membagi-bagikan uang menjelang dini hari
pelaksanaan pemilu. Tindakan demikian yang sering disebut serangan fajar.
Istilah serangan fajar sudah tidak asing lagi.
Ia
merupakan sebuah tindakan pendekatan terhadap pemilih yang dilakukan caleg
dan tim suksesnya pada tengah malam atau saat fajar menjelang pemungutan
suara.
Tindakan
demikian dilakukan dengan sembunyi-sembunyi mendekati konstituen. Biasanya
dilakukan golongan caleg bermental pragmatis yang frustrasi menghadapi
panasnya suasana politik karena saking banyaknya lawan tanding.
Maka,
mereka berlomba-lomba bukan dalam merumuskan program pemberdayaan untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat banyak, tetapi berjuang demi
merebutkan tampuk kekuasaan dengan tindakan kejahatan berupa pembelian suara.
Mereka
menjadikan momentum pileg ini sebagai "pertarungan pasar bebas" di
tengah kursi yang sangat terbatas. Keterbatasan kuota menjadikan mereka tidak
percaya diri dan grogi sehingga seakanakan harus melakukan tindakan kriminal
tersebut.
Banyaknya
caleg yang memperebutkan kursi menjadi salah satu pemicu pembelian suara. Ia
menjadi faktor pendorong bagi kandidat untuk melakukan praktik money politics
dengan serangan fajar.
Walaupun
secara bersamaan mereka paham bahwa praktik money politics sangat dilarang undang-undang dan tidak akan
menciptakan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik, tetap saja dilakukan.
Selain
termasuk pelanggaran, politik uang membuat alat tukar tersebut tidak bernilai
karena tidak digunakan untuk membantu dan mewujudkan kesejahtraan sosial.
Georg Simmel, dalam Philosophy of Money, menggambarkan tentang uang dan cara
penggunaannya.
Bagi
Simmel, uang tidak selamanya menciptakan totalitas kehidupan yang sempurna
dan membahagiakan sesorang, apalagi disalahgunakan.
Uang
hanya menjadi penopang masa depan. Apabila disalahgunakan, uang akan
melahirkan sejumlah efek negatif bagi individu dan sosial (Beilharz, 1996).
Money politics adalah bagian dari penyalahgunaan terhadap uang. Dia termasuk
pelanggaran hukum yang hanya menciptakan "kesenangan" sementara,
bukan perbaikan kualitas hidup manusia.
Waspada
Strategi-strategi
politik pemenangan pemilu telah digenjot habis-habisan oleh para kandidat dan
tim sukses masing-masing. Tentu mereka tidak mau rugi, dan jika perlu,
melakukan segala cara untuk menang, termasuk pembagian uang pada dini hari
besok.
Maka,
tidak ada salahnya masyarakat mewaspadai praktik money poltics dan praktik
hitam lainnya pada serangan fajar. Sebab suara rakyat sangat berarti demi
mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera daripada hanya ditukar dengan uang
50.000 sampai 100.000 rupiah yang hanya dapat untuk hidup sehari.
Kewaspadaan
harus dibangun bersama demi menjunjung kompetisi demokrasi yang lebih
bermartabat. Masyarakat yang paham harus memberi pengertian pada pemilih awam
yang kurang paham tentang politik.
Sebab
menjelang pileg seperti sekarang ini, strategi-stragi politik uang kian
digenjot. Di antaranya dengan cara membeli kartu suara yang ditengarai
sebagai pendukung caleg lain. Untuk ini, harganya bisa sangat mahal.
Kemudian
mengutus tim sukses agar turun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk
mencairkan dana yang menurut mereka sebagai ongkos transportasi sekaligus
uang saku. Jumlahnya berbeda-beda.
Strategi
ini sering dilakukan tim sukses untuk mengelabui pemilih netral yang belum
menentukan pilihan dan pemilih potensial (berpengaruh). Langkah terakhir
adalah serangan fajar.
Strategi
ini merupakan cara paling terkenal dan sering dilakukan untuk memobilisasi
massa dengan menyodorkan uang saat fajar menyingsing pada hari pencoblosan
atau pemungutan suara.
Sasarannya
tidak hanya pemilih netral dan potensial, tapi juga calon pemilih lawan
dengan menyodorkan nominal yang sangat menggiurkan. Harapannya pendukung
lawan dapat berubah pikiran dan memberikan hak suaranya kepada caleg pembeli.
Strategi-strategi
"politik hitam" demikian harus diwaspadai bersama. Kompetisi
politik 2014 harus bersih dari praktik-praktik money politics dan bebas
intimidasi.
Masyarakat
harus diberi kesempatan memilih jagoan masing- masing untuk dijadikan
pemimpin tanpa harus diiming-imingi ongkos politik, uang saku, dan sembako
gratis. Sebab semua itu hanya dapat dirasakan dan dinikmati sesaat, bukan
perbaikan kesejahteraan bagi kehidupan jangka panjang sebagai bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar