Prospek
Koalisi Pasca Pileg 2014
Suyatno ; Analis Politik
Pemerintahan pada FISIP Universitas Terbuka
|
MEDIA
INDONESIA, 11 April 2014
SALAH satu catatan dari hasil
hitung cepat (quick count) Pemilu
Legislatif (Pileg) 2014 adalah tidak ada partai yang meraih suara minimal
untuk mencalonkan presiden dan wakilnya sesuai presidential threshold (PT). UU Pilpres menetapkan aturan
pasangan calon presiden dan wakil presiden bisa diusulkan partai politik atau
gabungan partai politik yang memenuhi 20% kursi di DPR atau 25% suara sah
nasional pada pemilu DPR. Saat ini semua partai peserta pemilu 2014 bisa maju
dalam pilpres harus berkoalisi dengan partai lain.
Ada sejumlah hal yang bisa
mendorong kekuatan politik melakukan koalisi. Kerja sama diperlukan karena
sebuah kekuatan tidak memiliki cukup peluang untuk meraih kemenangan tertentu
atau sebuah kekuatan ingin mengoptimalkan capaian dengan melakukan kerja sama
dengan kompensasi. Koalisi seperti yang dilakukan
bisa digunakan baik pada level nasional atau daerah.
Perolehan suara tiga besar
berdasarkan hasil sementara quick count
PDIP mencapai 19,71%, Golkar di urutan kedua dengan 14,66%, dan ketiga
Gerindra 11,97% memberi gambaran awal embrio koalisi ke depan. Saat ini
koalisi akan terbentuk didorong dua kepentingan. Pertama, kepentingan jangka
pendek berupa target memenangkan pilpres dalam 3 bulan ke depan. Kedua,
kepentingan jangka panjang berwujud terbentuknya pemerintahan yang kuat di
negara ini.
Landasan koalisi
Dalam Patterns of Democracy (Lijphart:1999) dikemukakan ada sejumlah
dasar yang menjadi landasan orang melakukan koalisi. Bisa jadi dasar ini
hanya salah satu saja atau bisa pula lebih dari satu dasar sekaligus yang
dipakai pihak yang akan berkoalisi. Pertama, koalisi akan dilakukan dengan
pertimbangan utama bila akan menghasilkan jumlah mayoritas 50% ditambah satu.
Apabila perolehan suara sebuah partai telah mencapai mayoritas menurut
pandangan ini koalisi tidak dibutuhkan dalam kepentingan pemenangan pilpres
setelah Pileg 2014.
Kedua, menggunakan dasar prinsip
seperti hal pertama, namun dengan pertimbangan untuk memilih pasangan koali
si untuk mencapai mayoritas, tetapi yang paling dekat dengan syarat mayoritas
atau presidential threshold.
Maksudnya, partai yang memperoleh suara terbanyak dan menjadi kekuatan yang
menentukan dalam berkoalisi akan cenderung memilih partai yang menghasilkan
perolehan asal cukup untuk mencapai angka mayoritas. PDIP tidak mengutamakan
berkoalisi dengan peraih suara terbanyak kedua Golkar, meskipun penggabungan
suaranya akan jauh lebih tinggi daripada angka syarat mayoritas dan PT.
Hal ini erat kaitannya dengan
konsesi yang harus dibagi antara pihak-pihak yang berkoalisi. Artinya, kalau
merangkul urutan kedua, harus lebih banyak konsesi yang diberikan sebagai
konsekuensi dari suara yang berimbang. Partai tiga besar akan lebih memilih
dua partai tengah, misalnya dari kelompok Demokrat (9,61%), PKB (8,93%), dan
NasDem (7,23%) atau dikombinasi dengan satu dari kelompok PAN (6,87%), PKS
(6,56%) dan PPP (6,16%). Dasarnya asal dapat digunakan mencapai angka PT
dengan pertimbangan tidak akan menuntut banyak konsesi.
Ada hambatan teknis yang bisa
menghalangi terbentuknya koalisi di antara tiga besar berupa bersedia
tidaknya sebuah kekuatan untuk tidak ngotot kadernya merengkuh kandidat
capres. Sulit mencari parpol yang memiliki dukungan luas dan tokoh yang cukup
dikenal, namun bersedia hanya duduk sebagai wakil prsiden. Mereka tentu lebih
percaya diri bersaing dalam bursa pencalonan presiden. Kecuali ada tokoh rep
resentatif yang `menyeberang' sebagaimana pengalaman pilpres sebelumnya. Taruhlah
tokoh seperti JK kemudian mau merapat sebagai cawapres PDIP, tentu koalisi
ini bisa terjadi juga.
Dasar ketiga, pertimbangan
jumlah partai yang diajak untuk berkoalisi. Semakin sedikit jumlah partai
yang dilibatkan dalam berkoalisi akan semakin bagus. Asumsinya jumlah yang
sedikit akan memudahkan negosiasi dan koalisi lebih mudah dipertahankan. PDIP
akan relatif lebih mudah dalam membicarakan kon sesi yang akan diminta atau
diberi kan cukup de ngan satu partai. Pengalaman menunjukkan tuntutan banyak
partai dapat merepotkan jalannya pemerintahan.
Keempat, dasar utama koalisi
adalah pertimbangan jarak ideologi partai. Dalam sebuah negara dengan sistem
multipartai seperti Indonesia, sangat banyak variasi ideologinya. Koalisi
akan mudah dilakukan partai-partai dengan jarak ideologi yang dekat. Upaya
yang dilakukan kedua partai adalah mencari kesamaan atau paling tidak
kedekatan ideologi. Meskipun ada anggapan menyatakan semua parpol saat ini
memiliki kesamaan dalam menegakkan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Dikatakan
upaya ini membutuhkan kerja sama dan tidak dapat dilakukan sendiri.
Kelima, bila jarak ideologi
antarpartai yang akan berkoalisi cukup jauh, dibutuhkan adanya partai
penghubung. Dasar ini akan memunculkan sebuah partai dengan perolehan suara
yang kecil, namun kemudian sangat diperhitungkan dalam membentuk koalisi.
Sebagai contoh misalnya, PAN pernah berperan menjembatani antara kekuatan
nasionalis dan religius.
Keenam, koalisi terbentuk dan
ditentukan partai inti (core party).
Partai penting bukan karena suara terbanyaknya, tetapi karena berada di
tengah spektrum ideologi yang ada. Dari berbagai dasar di atas sangat
dimungkinkan ada tiga kekuatan koalisi dengan tiga besar perolehan suara
sebagai inti kekuatan. Mungkin juga ditambah satu gabungan partai-partai tengah
meski lebih kecil peluangnya akibat pertimbangan banyaknya jumlah parpol.
Pemerintahan yang kuat
Koalisi biasanya dilakukan dalam
membentuk kabinet setelah pimpinan atau kepala eksekutif sudah terpilih. Yang
agak berbeda dalam era pemilihan presiden secara langsung di negeri ini,
koalisi menjadi pertimbangan bahkan ketika proses pencalonan untuk pemilihan
kepala eksekutif. Salah satu pertimbangan dalam berkoalisi untuk membentuk
kabinet adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat.
Pemerintahan yang kuat dipahami
sebagai pemerintahan dengan didukung kekuatan yang cukup di parlemen sehingga
eksekutif akan mendapat dukungan untuk melaksanakan program-programnya. Atau
juga karena yang menentukan bertahan atau tidaknya sebuah pemerintahan berada
di tangan parlemen. Karena itulah koalisi diperlukan, sebab bila dilakukan
voting untuk menentukan nasib sebuah kebijakan (pemerintahan), pemerintah
mendapat cukup suara dukungan.
Persoalannya mekanisme
kenegaraan yang kita anut, untuk menentukan bertahan atau tidaknya eksekutif
tidak semata-mata ditentukan lembaga legislatif (parlemen). Apalagi pemilihan
presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian koalisi yang
saat ini sedang gencar-gencarnya dijajaki dan dilakukan para elite
diperuntukkan untuk memenangkan pemilihan presiden sekaligus membentuk
pemerintahan yang kuat melahirkan kebijakan yang prorakyat.
Pemerintahan yang kuat dalam
konteks ini dipahami sebagai pemerintahan yang memperoleh dukungan legitimasi
dari rakyat yang cukup, dibuktikan melalui keluar sebagai pemenang dalam
pemilihan langsung. Sekaligus pemerintahan yang kuat sebagai hasil
terpilihnya seorang presiden yang mampu melakukan koordinasi dan mengelola
serta menjalankan fungsi lembaga eksekutif secara efektif demi kepentingan rakyat.
Bukan sekadar pertimbangan bagi-bagi kue kekuasaan yang terbukti membuat
pemerintahan yang runyam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar