Sabtu, 12 April 2014

Prospek Koalisi Pasca Pileg 2014

Prospek Koalisi Pasca Pileg 2014

Suyatno  ;   Analis Politik Pemerintahan pada FISIP Universitas Terbuka
MEDIA INDONESIA, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SALAH satu catatan dari hasil hitung cepat (quick count) Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 adalah tidak ada partai yang meraih suara minimal untuk mencalonkan presiden dan wakilnya sesuai presidential threshold (PT). UU Pilpres menetapkan aturan pasangan calon presiden dan wakil presiden bisa diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu DPR. Saat ini semua partai peserta pemilu 2014 bisa maju dalam pilpres harus berkoalisi dengan partai lain.

Ada sejumlah hal yang bisa mendorong kekuatan politik melakukan koalisi. Kerja sama diperlukan karena sebuah kekuatan tidak memiliki cukup peluang untuk meraih kemenangan tertentu atau sebuah kekuatan ingin mengoptimalkan capaian dengan melakukan kerja sama dengan kompensasi. Koalisi seperti yang dilakukan bisa digunakan baik pada level nasional atau daerah.

Perolehan suara tiga besar berdasarkan hasil sementara quick count PDIP mencapai 19,71%, Golkar di urutan kedua dengan 14,66%, dan ketiga Gerindra 11,97% memberi gambaran awal embrio koalisi ke depan. Saat ini koalisi akan terbentuk didorong dua kepentingan. Pertama, kepentingan jangka pendek berupa target memenangkan pilpres dalam 3 bulan ke depan. Kedua, kepentingan jangka panjang berwujud terbentuknya pemerintahan yang kuat di negara ini.

Landasan koalisi

Dalam Patterns of Democracy (Lijphart:1999) dikemukakan ada sejumlah dasar yang menjadi landasan orang melakukan koalisi. Bisa jadi dasar ini hanya salah satu saja atau bisa pula lebih dari satu dasar sekaligus yang dipakai pihak yang akan berkoalisi. Pertama, koalisi akan dilakukan dengan pertimbangan utama bila akan menghasilkan jumlah mayoritas 50% ditambah satu. Apabila perolehan suara sebuah partai telah mencapai mayoritas menurut pandangan ini koalisi tidak dibutuhkan dalam kepentingan pemenangan pilpres setelah Pileg 2014.

Kedua, menggunakan dasar prinsip seperti hal pertama, namun dengan pertimbangan untuk memilih pasangan koali si untuk mencapai mayoritas, tetapi yang paling dekat dengan syarat mayoritas atau presidential threshold. Maksudnya, partai yang memperoleh suara terbanyak dan menjadi kekuatan yang menentukan dalam berkoalisi akan cenderung memilih partai yang menghasilkan perolehan asal cukup untuk mencapai angka mayoritas. PDIP tidak mengutamakan berkoalisi dengan peraih suara terbanyak kedua Golkar, meskipun penggabungan suaranya akan jauh lebih tinggi daripada angka syarat mayoritas dan PT.

Hal ini erat kaitannya dengan konsesi yang harus dibagi antara pihak-pihak yang berkoalisi. Artinya, kalau merangkul urutan kedua, harus lebih banyak konsesi yang diberikan sebagai konsekuensi dari suara yang berimbang. Partai tiga besar akan lebih memilih dua partai tengah, misalnya dari kelompok Demokrat (9,61%), PKB (8,93%), dan NasDem (7,23%) atau dikombinasi dengan satu dari kelompok PAN (6,87%), PKS (6,56%) dan PPP (6,16%). Dasarnya asal dapat digunakan mencapai angka PT dengan pertimbangan tidak akan menuntut banyak konsesi.

Ada hambatan teknis yang bisa menghalangi terbentuknya koalisi di antara tiga besar berupa bersedia tidaknya sebuah kekuatan untuk tidak ngotot kadernya merengkuh kandidat capres. Sulit mencari parpol yang memiliki dukungan luas dan tokoh yang cukup dikenal, namun bersedia hanya duduk sebagai wakil prsiden. Mereka tentu lebih percaya diri bersaing dalam bursa pencalonan presiden. Kecuali ada tokoh rep resentatif yang `menyeberang' sebagaimana pengalaman pilpres sebelumnya. Taruhlah tokoh seperti JK kemudian mau merapat sebagai cawapres PDIP, tentu koalisi ini bisa terjadi juga.

Dasar ketiga, pertimbangan jumlah partai yang diajak untuk berkoalisi. Semakin sedikit jumlah partai yang dilibatkan dalam berkoalisi akan semakin bagus. Asumsinya jumlah yang sedikit akan memudahkan negosiasi dan koalisi lebih mudah dipertahankan. PDIP akan relatif lebih mudah dalam membicarakan kon sesi yang akan diminta atau diberi kan cukup de ngan satu partai. Pengalaman menunjukkan tuntutan banyak partai dapat merepotkan jalannya pemerintahan.

Keempat, dasar utama koalisi adalah pertimbangan jarak ideologi partai. Dalam sebuah negara dengan sistem multipartai seperti Indonesia, sangat banyak variasi ideologinya. Koalisi akan mudah dilakukan partai-partai dengan jarak ideologi yang dekat. Upaya yang dilakukan kedua partai adalah mencari kesamaan atau paling tidak kedekatan ideologi. Meskipun ada anggapan menyatakan semua parpol saat ini memiliki kesamaan dalam menegakkan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Dikatakan upaya ini membutuhkan kerja sama dan tidak dapat dilakukan sendiri.

Kelima, bila jarak ideologi antarpartai yang akan berkoalisi cukup jauh, dibutuhkan adanya partai penghubung. Dasar ini akan memunculkan sebuah partai dengan perolehan suara yang kecil, namun kemudian sangat diperhitungkan dalam membentuk koalisi. Sebagai contoh misalnya, PAN pernah berperan menjembatani antara kekuatan nasionalis dan religius.

Keenam, koalisi terbentuk dan ditentukan partai inti (core party). Partai penting bukan karena suara terbanyaknya, tetapi karena berada di tengah spektrum ideologi yang ada. Dari berbagai dasar di atas sangat dimungkinkan ada tiga kekuatan koalisi dengan tiga besar perolehan suara sebagai inti kekuatan. Mungkin juga ditambah satu gabungan partai-partai tengah meski lebih kecil peluangnya akibat pertimbangan banyaknya jumlah parpol.

Pemerintahan yang kuat

Koalisi biasanya dilakukan dalam membentuk kabinet setelah pimpinan atau kepala eksekutif sudah terpilih. Yang agak berbeda dalam era pemilihan presiden secara langsung di negeri ini, koalisi menjadi pertimbangan bahkan ketika proses pencalonan untuk pemilihan kepala eksekutif. Salah satu pertimbangan dalam berkoalisi untuk membentuk kabinet adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat.

Pemerintahan yang kuat dipahami sebagai pemerintahan dengan didukung kekuatan yang cukup di parlemen sehingga eksekutif akan mendapat dukungan untuk melaksanakan program-programnya. Atau juga karena yang menentukan bertahan atau tidaknya sebuah pemerintahan berada di tangan parlemen. Karena itulah koalisi diperlukan, sebab bila dilakukan voting untuk menentukan nasib sebuah kebijakan (pemerintahan), pemerintah mendapat cukup suara dukungan.

Persoalannya mekanisme kenegaraan yang kita anut, untuk menentukan bertahan atau tidaknya eksekutif tidak semata-mata ditentukan lembaga legislatif (parlemen). Apalagi pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian koalisi yang saat ini sedang gencar-gencarnya dijajaki dan dilakukan para elite diperuntukkan untuk memenangkan pemilihan presiden sekaligus membentuk pemerintahan yang kuat melahirkan kebijakan yang prorakyat.

Pemerintahan yang kuat dalam konteks ini dipahami sebagai pemerintahan yang memperoleh dukungan legitimasi dari rakyat yang cukup, dibuktikan melalui keluar sebagai pemenang dalam pemilihan langsung. Sekaligus pemerintahan yang kuat sebagai hasil terpilihnya seorang presiden yang mampu melakukan koordinasi dan mengelola serta menjalankan fungsi lembaga eksekutif secara efektif demi kepentingan rakyat. Bukan sekadar pertimbangan bagi-bagi kue kekuasaan yang terbukti membuat pemerintahan yang runyam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar