Sabtu, 12 April 2014

Membangun Masyarakat Bermartabat

Membangun Masyarakat Bermartabat

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
CERDAS, jujur, tegas,dan santun. Idealnyaitulah persyaratan bagi para pemimpin masa depan demi terbangunnya masyarakat bermartabat. Pemilu 2014 semoga berhasil menjaring jajaran pimpinan yang berkarakter. Pileg 9 April lalu mudah-mudahan dengan resmi dimenangi para wakil rakyat yang amanah agar kita meninggalkan separuh jalan Pemilu 2014 dengan rasa sedikit lega. Sebab wakil-wakil rakyat yang amanah tentunya hasil binaan partai-partai politik yang amanah pula. Para capres/cawapres pilihan mereka maupun yang lahir dari koalisinya diharapkan mengusung RI-1 ke-7 sesuai harapan rakyat.

Untuk melapangkan jalan ke pilpres pada Juli, ada yang harus kita benahi. Sistem kampanye politik yang akan datang ini jangan lagi mengobok-obok emosi elektorat yang bisa membingungkan dan mengacau opini dan persepsi. Lebihlebih mengingat heterogenitas masyarakat dengan wawasan yang merentang ibaratnya antara wawasan manusia abad nuklir dan manusia primitif. Demi terpilihnya presiden dan wakilnya yang kita idamkan untuk pelantikan pada Oktober tahun ini, kita sebaiknya sama-sama menahan diri. Yang diharapkan bukan adu gengsi dan citra antarcapres atau cawapres dengan cara apa pun, tetapi adu program kerja yang jelas dan mendetail. Biar rakyat yang membuat pilihan dan menentukan.

Sekadar merenungkannya, ide demokrasi datang dari Barat, lengkap dengan kampanye politik sebagai ritualnya. Adakalanya mereka berkampanye dengan kata-kata keras dan kasar cara liberal. Tetapi, itu hanya bagian dari ritual. Mereka berdebat dan mencaci maki dalam rangka kampanye politik. Tetapi, begitu selesai, mereka berjabat tangan dan melupakannya. Nalar yang kemudian berbicara. Kita pun hendaknya jangan lupa bahwa kerasnya kampanye adalah bagian dalam kerangka membangun demokrasi. Jangan diambil hati. Jangan sampai masyarakat ini mengalami disintegrasi gara-gara salah persepsi.

Yang mengusik pikiran

Dalam kampanye politik tersirat situasi memprihatinkan saat ini. Saling kritik yang mengganggu pikiran menunjukkan, kita masih jauh dari prediksi bahwa pada 2030 kita akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Apa bekal kita? Itu sebaiknya menjadi agenda jangka panjang sebab 15 tahun akan melintas cepat. Lihat apa yang terjadi setelah kita mencanangkan reformasi 15 tahun lalu.

Karena kurang kepedulian, banyak hutan dibabat atau dibakar untuk peruntukan lain; kondisi ekologis dikorbankan. Sebagian lahan pertanian ditutup untuk daerah hunian. Sumber alam masih terus dikeruk yang sebagian hasilnya menjadi milik asing. Sumber air yang dibutuhkan untuk kehidupan terabaikan.

Ketimpangan antara lapisan yang kaya dan yang miskin makin menganga. Kasus Satinah, contohnya. Kita salah satu dari empat negara yang berpenduduk terbesar di dunia, menduduki urutan ke-4 setelah Tiongkok, India, dan Amerika. Tetapi kisah kemiskinan yang mengenaskan, seperti kasus Satinah, kebanyakan datang dari negeri ini; negeri subur yang kaya sumber alam yang telah mengirimkan 6,5 juta warga tanpa keterampilan untuk melakukan pekerjaan kasar di luar negerinya.

Persoalannya mungkin berpangkal pada konsep naif bahwa demokrasi membenarkan kebebasan boleh dikata tak terbatas dalam tindak politik, ekonomi, dan sosial. Maka kepentingan kelas menengah ke atas yang berkemampuan lebih besar, dengan sendirinya mengedepan. Kenaifan itu juga mengakibatkan maraknya korupsi dan kolusi di kalangan elite yang saling menjarah dalam rangka adu prestasi. Pileg pun kena dampaknya, tecermin dalam kampanye yang menegaskan kita saling membohongi. Politik sebenarnya menjadi ajang pertarungan gagasan untuk mengejawantahkan ideologi yang kita dambakan bersama. Tetapi kenyataannya, ideologi Pancasila tergeser kepentingan-kepentingan yang dengan berbagai alasan riil maupun yang dibuat-buat, dianggap lebih mendesak.

Pendidikan moral

Perubahan zaman menuntut perubahan sikap dan perilaku kita semua, dari tingkat teratas sampai tingkat terbawah, dari sang pemimpin sampai rakyat banyak. Jalan paling cepat membuat perubahan adalah lewat rekayasa sosial. Menurut teori psikologi sosial, sikap dan perilaku saling mempengaruhi dan tidak selalu sama. Misalnya, orang yang mengerti Pancasila, belum berarti berperilaku sesuai Pancasila. Ini yang membuat para ahli psikologi sosial meneliti mengapa sering kali orang berbuat lain dari yang dikatakannya? Janji-janji pemilu, misalnya, menggambarkan keadaan ini.

Jawaban atas pertanyaan itu, sikap dan perilaku dipengaruhi banyak faktor. Sikap bisa seiring dengan perilaku bila faktor-faktor yang mempengaruhi diperkecil. Dalam hal korupsi, misalnya, faktor-faktor itu mencakup kurangnya pengawasan atas aliran dana, keinginan yang melebihi kemampuan, dan budaya pamer, selain hukum yang lemah.

Kita tahu ada kesenjangan antara sikap dan perilaku. Maka perlu ada sistem untuk saling mengingatkan yang sebaiknya dilembagakan. Sebab perilaku pun bisa memengaruhi sikap moral kita. Kita kemudian biasa mencari alasan untuk membenarkan apa yang telah kita lakukan.

Bagaimana bentuk rekayasa sosial agar perilaku sesuai dengan sikap moral masyarakat, agar jangan `lain yang dikampanyekan, lain lagi tindakannya'? 

Jawabnya, mungkin, menciptakan sistem menuju ke sana; termasuk lewat pendidikan nasional ke arah itu; pengaktifan peran orangtua untuk mendidik anak ke arah itu; menciptakan sistem politik, ekonomi, dan sosial yang memberi jalan ke arah itu; dan penerapan sanksi-saksi hukum terhadap unsur-unsur yang merugikan gerakan perubahan menuju itu. Selain itu kita harus jujur dan jangan membohongi diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar