Membangun
Masyarakat Bermartabat
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi
Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 11 April 2014
CERDAS, jujur, tegas,dan santun.
Idealnyaitulah persyaratan bagi para pemimpin masa depan demi terbangunnya
masyarakat bermartabat. Pemilu 2014 semoga berhasil menjaring jajaran
pimpinan yang berkarakter. Pileg 9 April lalu mudah-mudahan dengan resmi
dimenangi para wakil rakyat yang amanah agar kita meninggalkan separuh jalan
Pemilu 2014 dengan rasa sedikit lega. Sebab wakil-wakil rakyat yang amanah
tentunya hasil binaan partai-partai politik yang amanah pula. Para
capres/cawapres pilihan mereka maupun yang lahir dari koalisinya diharapkan
mengusung RI-1 ke-7 sesuai harapan rakyat.
Untuk melapangkan jalan ke
pilpres pada Juli, ada yang harus kita benahi. Sistem kampanye politik yang
akan datang ini jangan lagi mengobok-obok emosi elektorat yang bisa
membingungkan dan mengacau opini dan persepsi. Lebihlebih mengingat
heterogenitas masyarakat dengan wawasan yang merentang ibaratnya antara
wawasan manusia abad nuklir dan manusia primitif. Demi terpilihnya presiden
dan wakilnya yang kita idamkan untuk pelantikan pada Oktober tahun ini, kita
sebaiknya sama-sama menahan diri. Yang diharapkan bukan adu gengsi dan citra
antarcapres atau cawapres dengan cara apa pun, tetapi adu program kerja yang
jelas dan mendetail. Biar rakyat yang membuat pilihan dan menentukan.
Sekadar merenungkannya, ide
demokrasi datang dari Barat, lengkap dengan kampanye politik sebagai
ritualnya. Adakalanya mereka berkampanye dengan kata-kata keras dan kasar
cara liberal. Tetapi, itu hanya bagian dari ritual. Mereka berdebat dan
mencaci maki dalam rangka kampanye politik. Tetapi, begitu selesai, mereka
berjabat tangan dan melupakannya. Nalar yang kemudian berbicara. Kita pun
hendaknya jangan lupa bahwa kerasnya kampanye adalah bagian dalam kerangka
membangun demokrasi. Jangan diambil hati. Jangan sampai masyarakat ini
mengalami disintegrasi gara-gara salah persepsi.
Yang mengusik pikiran
Dalam kampanye politik tersirat
situasi memprihatinkan saat ini. Saling kritik yang mengganggu pikiran
menunjukkan, kita masih jauh dari prediksi bahwa pada 2030 kita akan menjadi
salah satu kekuatan ekonomi dunia. Apa bekal kita? Itu sebaiknya menjadi
agenda jangka panjang sebab 15 tahun akan melintas cepat. Lihat apa yang
terjadi setelah kita mencanangkan reformasi 15 tahun lalu.
Karena kurang kepedulian, banyak
hutan dibabat atau dibakar untuk peruntukan lain; kondisi ekologis
dikorbankan. Sebagian lahan pertanian ditutup untuk daerah hunian. Sumber
alam masih terus dikeruk yang sebagian hasilnya menjadi milik asing. Sumber
air yang dibutuhkan untuk kehidupan terabaikan.
Ketimpangan antara lapisan yang
kaya dan yang miskin makin menganga. Kasus Satinah, contohnya. Kita salah
satu dari empat negara yang berpenduduk terbesar di dunia, menduduki urutan
ke-4 setelah Tiongkok, India, dan Amerika. Tetapi kisah kemiskinan yang
mengenaskan, seperti kasus Satinah, kebanyakan datang dari negeri ini; negeri
subur yang kaya sumber alam yang telah mengirimkan 6,5 juta warga tanpa
keterampilan untuk melakukan pekerjaan kasar di luar negerinya.
Persoalannya mungkin berpangkal
pada konsep naif bahwa demokrasi membenarkan kebebasan boleh dikata tak
terbatas dalam tindak politik, ekonomi, dan sosial. Maka kepentingan kelas
menengah ke atas yang berkemampuan lebih besar, dengan sendirinya mengedepan.
Kenaifan itu juga mengakibatkan maraknya korupsi dan kolusi di kalangan elite
yang saling menjarah dalam rangka adu prestasi. Pileg pun kena dampaknya,
tecermin dalam kampanye yang menegaskan kita saling membohongi. Politik
sebenarnya menjadi ajang pertarungan gagasan untuk mengejawantahkan ideologi
yang kita dambakan bersama. Tetapi kenyataannya, ideologi Pancasila tergeser
kepentingan-kepentingan yang dengan berbagai alasan riil maupun yang
dibuat-buat, dianggap lebih mendesak.
Pendidikan moral
Perubahan zaman menuntut
perubahan sikap dan perilaku kita semua, dari tingkat teratas sampai tingkat
terbawah, dari sang pemimpin sampai rakyat banyak. Jalan paling cepat membuat
perubahan adalah lewat rekayasa sosial. Menurut teori psikologi sosial, sikap
dan perilaku saling mempengaruhi dan tidak selalu sama. Misalnya, orang yang
mengerti Pancasila, belum berarti berperilaku sesuai Pancasila. Ini yang
membuat para ahli psikologi sosial meneliti mengapa sering kali orang berbuat
lain dari yang dikatakannya? Janji-janji pemilu, misalnya, menggambarkan
keadaan ini.
Jawaban atas pertanyaan itu, sikap
dan perilaku dipengaruhi banyak faktor. Sikap bisa seiring dengan perilaku
bila faktor-faktor yang mempengaruhi diperkecil. Dalam hal korupsi, misalnya,
faktor-faktor itu mencakup kurangnya pengawasan atas aliran dana, keinginan
yang melebihi kemampuan, dan budaya pamer, selain hukum yang lemah.
Kita tahu ada kesenjangan antara
sikap dan perilaku. Maka perlu ada sistem untuk saling mengingatkan yang
sebaiknya dilembagakan. Sebab perilaku pun bisa memengaruhi sikap moral kita.
Kita kemudian biasa mencari alasan untuk membenarkan apa yang telah kita
lakukan.
Bagaimana bentuk rekayasa sosial
agar perilaku sesuai dengan sikap moral masyarakat, agar jangan `lain yang
dikampanyekan, lain lagi tindakannya'?
Jawabnya, mungkin, menciptakan sistem
menuju ke sana; termasuk lewat pendidikan nasional ke arah itu; pengaktifan
peran orangtua untuk mendidik anak ke arah itu; menciptakan sistem politik,
ekonomi, dan sosial yang memberi jalan ke arah itu; dan penerapan
sanksi-saksi hukum terhadap unsur-unsur yang merugikan gerakan perubahan
menuju itu. Selain itu kita harus jujur dan jangan membohongi diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar