Sabtu, 12 April 2014

Berkibarnya Parpol Islam

Berkibarnya Parpol Islam

Anggun Trisnanto  ;   Mantan Ketua Umum HMI Cabang Kupang-NTT
REPUBLIKA, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Beberapa lembaga survei sebelum Rabu (9/4), merilis partai berbasis agama bakal terjungkal perolehan suaranya. Prediksi itu tengkurap dan salah total, sejak hitungan cepat (quick count) dirilis media ke publik.

Entah metode apa yang dipakai, akurasi lembaga survei tersebut tak mengena sedikit pun. Buktinya, berdasarkan data sementara hasil hitungan cepat, partai berbasis agama seperti PKB, PAN, PKS, dan PPP tren suaranya melambung di atas 6-7 persen. PBB pun menyusul per lahan.

Kasarnya, bila PKB PAN PKS - PPP PBB, maka akumulasi persentasi partai tengah berbasis agama bisa mendekati 31,8 persen. Seksi bukan? PKS khususnya, berkali-kali dihujani justifikasi publik terkait keterlibatan LHI (mantan presiden PKS) dalam skandal korupsi, ternyata perolehan suara tak goyah.

Suara PKS melambung hingga mendekati 7 persen. Di jagat sosial media, elite PKS semringah. Anis Matta (presiden PKS) bahkan berkicau di twitternya dengan kata-kata "menggelegar". Kalau Syahrini caleg PKS, pasti ia juga bilang "cetar membahana".

PKB, partai anak-anak santri ini lantas nyaris meninggalkan Partai Demokrat. Demikian pun PAN yang persentasi perolehan suaranya terus melejit hingga menyerempet angka 8 persen. Pada Pemilu 2009, PAN mengoleksi banyak caleg artis, tapi kini PKB jauh lebih banyak koleksi caleg artis, atau PPP dengan Angel Lelga. Manjurkan?

Apalah itu, dalam demokrasi liberal, semua cara boleh. Asal halal. Selebrasi Jokowi saja boleh, apalagi selebrasi Bang Haji Roma? Memang tugas Bang Roma itu selebrasi. Lain hal kalau Jokowi yang gubernur itu. Yang penting caranya tak mencederai demokrasi dan undang-undang. Yang penting suara partai bisa di tongkat hingga menyentuh batas parlemen threshold.

Nah ... kalau sudah kenyataan politiknya begini, partai-partai besar itu (Golkar, PDIP, dan Gerindra) mesti mengukur napas, menghela baju kebesaran politiknya. Mengatur langkah untuk merajut koalisi dengan partai tengah berbasis agama itu. Sekarang sudah jelas, Jokowi efek tak sedahsyat efek kemenangan partai berbasis agama.

Jemawa efek

Beberapa lembaga survei sesumbar merilis PDIP bakal melampaui 20-30 persen. Jokowi sebagai mesin elektoral, diperkirakan melicinkan ekspektasi itu. Cuma dalam situasi pertarungan politik yang sama di daerah, lembaga-lembaga survei itu tak mengukur, bahwa Jokowi efek tak berbuah kemenangan di beberapa pemilukada.

Alih-alih 30 persen, setelah pencoblosan Rabu (9/4), perolehan suara sementara PDIP bertekuk di bawah 20 persen. Namun, angka di bawah 20 persen ini sudah mendekati validitas, menimbang suara yang masuk berdasarkan quick count sudah mendekati angka 100 persen.

Dengan modal suara cekak di bawah 20 persen itu, elite PDIP tak lagi sesumbar mengusung Jokowi capres tanpa partai lain. Menimbang partai tiga besar (PDIP, Golkar, dan Gerindra), sama-sama mengusung capres. Meski melalui Jokowi, PDIP sudah mulai galau atau secara malu-malu di media bilang, mau koalisi tapi tak pakai jatah-jatahan menteri di kabinet.

Artinya, mau tak mau PDIP mesti merapat ke partai tengah. Kemenangan partai-partai berbasis agama ini menandakan dikotomi nasionalis non-nasionalis sudah terkikis. Tema-tema dikotomis itu tak lagi familier dengan sejarah dan peradaban.

Lagi-lagi dikotomi nasionalis non-nasionalis inipun tak memiliki akar akademis dan historis yang kuat. Konon gerakan nasionalisme Arab (Islam) pun bermula dari harakah-harakah dakwah dan majelis tarbiyah yang kemudian bermetamorfosis menjadi gerakan nasionalisme Arab.

Jadi, yang religius pun bisa sekaligus nasionalis. Dengan bangunan mind-set demikian, maka dikotomi nasionalis non-nasionalis tak lagi laris di pasar elektoral pemilu. Buktinya bisa dikaca pada pemilu kali ini (2014).

Luka poros tengah

Baru pagi buta, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sudah komentar, "kapok koalisi". Luka bubarnya poros tengah seiring lengsernya Gusdur dulu, menjadi catatan kelam PKB. Sabagai partai tengah yang perolehan suaranya kini melejit mendekati 11 persen, tentu ini soal serius. Soal pertemanan dan soal kepentingan. Soal bisa tidaknya partai tengah merajut koalisi.

Demikian pun PPP yang jauh hari digadang sudah mepet ke Prabowo. Artinya partai tengah akan terbelah dan tak ada lagi faktor kuat penentu kemenangan di tiga poros kekuatan besar (PDIP, Golkar, dan Gerindra).

Poros tengah hanya bisa dirajut bila ada tokoh-tokoh kuat dan netral yang bisa merajut ulang. Itu pun kalau bisa. Yang jelas, prestasi dan eksistensi politik partai tengah; PKB, PAN, PPP, PKS, dan PBB menjadi berkah politik di tengah jemawanya partai-partai besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar