Berkibarnya
Parpol Islam
Anggun Trisnanto ; Mantan Ketua Umum HMI
Cabang Kupang-NTT
|
REPUBLIKA,
11 April 2014
Beberapa lembaga survei sebelum
Rabu (9/4), merilis partai berbasis agama bakal terjungkal perolehan
suaranya. Prediksi itu tengkurap dan salah total, sejak hitungan cepat (quick count) dirilis media ke publik.
Entah metode apa yang dipakai,
akurasi lembaga survei tersebut tak mengena sedikit pun. Buktinya, berdasarkan
data sementara hasil hitungan cepat, partai berbasis agama seperti PKB, PAN,
PKS, dan PPP tren suaranya melambung di atas 6-7 persen. PBB pun menyusul per
lahan.
Kasarnya, bila PKB PAN PKS - PPP
PBB, maka akumulasi persentasi partai tengah berbasis agama bisa mendekati
31,8 persen. Seksi bukan? PKS khususnya, berkali-kali dihujani justifikasi
publik terkait keterlibatan LHI (mantan presiden PKS) dalam skandal korupsi,
ternyata perolehan suara tak goyah.
Suara PKS melambung hingga mendekati
7 persen. Di jagat sosial media, elite PKS semringah. Anis Matta (presiden PKS)
bahkan berkicau di twitternya dengan kata-kata "menggelegar". Kalau
Syahrini caleg PKS, pasti ia juga bilang "cetar membahana".
PKB, partai anak-anak santri ini
lantas nyaris meninggalkan Partai Demokrat. Demikian pun PAN yang persentasi
perolehan suaranya terus melejit hingga menyerempet angka 8 persen. Pada
Pemilu 2009, PAN mengoleksi banyak caleg artis, tapi kini PKB jauh lebih
banyak koleksi caleg artis, atau PPP dengan Angel Lelga. Manjurkan?
Apalah itu, dalam demokrasi
liberal, semua cara boleh. Asal halal. Selebrasi Jokowi saja boleh, apalagi
selebrasi Bang Haji Roma? Memang tugas Bang Roma itu selebrasi. Lain hal
kalau Jokowi yang gubernur itu. Yang penting caranya tak mencederai demokrasi
dan undang-undang. Yang penting suara partai bisa di
tongkat hingga menyentuh batas parlemen
threshold.
Nah ... kalau sudah kenyataan
politiknya begini, partai-partai besar itu (Golkar, PDIP, dan Gerindra) mesti
mengukur napas, menghela baju kebesaran politiknya. Mengatur langkah untuk
merajut koalisi dengan partai tengah berbasis agama itu. Sekarang sudah jelas, Jokowi efek tak sedahsyat efek
kemenangan partai berbasis agama.
Jemawa efek
Beberapa lembaga survei sesumbar
merilis PDIP bakal melampaui 20-30 persen. Jokowi sebagai mesin elektoral,
diperkirakan melicinkan ekspektasi itu. Cuma dalam situasi pertarungan
politik yang sama di daerah, lembaga-lembaga survei itu tak mengukur, bahwa
Jokowi efek tak berbuah kemenangan di beberapa pemilukada.
Alih-alih 30 persen, setelah
pencoblosan Rabu (9/4), perolehan suara sementara PDIP bertekuk di bawah 20
persen. Namun, angka di bawah 20 persen ini sudah mendekati validitas,
menimbang suara yang masuk berdasarkan quick
count sudah mendekati angka 100 persen.
Dengan modal suara cekak di
bawah 20 persen itu, elite PDIP tak lagi sesumbar mengusung Jokowi capres
tanpa partai lain. Menimbang partai tiga besar (PDIP, Golkar, dan Gerindra),
sama-sama mengusung capres. Meski melalui Jokowi, PDIP sudah mulai galau atau
secara malu-malu di media bilang, mau koalisi tapi tak pakai jatah-jatahan
menteri di kabinet.
Artinya, mau tak mau PDIP mesti
merapat ke partai tengah. Kemenangan partai-partai berbasis agama ini menandakan
dikotomi nasionalis non-nasionalis sudah terkikis. Tema-tema dikotomis itu
tak lagi familier dengan sejarah dan peradaban.
Lagi-lagi dikotomi nasionalis
non-nasionalis inipun tak memiliki akar akademis dan historis yang kuat.
Konon gerakan nasionalisme Arab (Islam) pun bermula dari harakah-harakah dakwah dan majelis tarbiyah yang kemudian
bermetamorfosis menjadi gerakan nasionalisme Arab.
Jadi, yang religius pun bisa
sekaligus nasionalis. Dengan bangunan mind-set
demikian, maka dikotomi nasionalis non-nasionalis tak lagi laris di pasar
elektoral pemilu. Buktinya bisa dikaca
pada pemilu kali ini (2014).
Luka poros tengah
Baru pagi buta, Ketua Umum PKB
Muhaimin Iskandar sudah komentar, "kapok
koalisi". Luka bubarnya poros tengah seiring lengsernya Gusdur dulu,
menjadi catatan kelam PKB. Sabagai partai tengah yang perolehan suaranya kini
melejit mendekati 11 persen,
tentu ini soal serius. Soal pertemanan dan soal kepentingan. Soal bisa
tidaknya partai tengah merajut koalisi.
Demikian pun PPP yang jauh hari
digadang sudah mepet ke Prabowo. Artinya partai tengah akan terbelah dan tak
ada lagi faktor kuat penentu kemenangan di tiga poros kekuatan besar (PDIP,
Golkar, dan Gerindra).
Poros tengah hanya bisa dirajut
bila ada tokoh-tokoh kuat dan netral yang bisa merajut ulang. Itu pun kalau
bisa. Yang jelas, prestasi dan eksistensi politik
partai tengah; PKB, PAN, PPP, PKS, dan PBB menjadi berkah politik di tengah
jemawanya partai-partai besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar