Senin, 14 April 2014

Politik Uang dan Perilaku Caleg

Politik Uang dan Perilaku Caleg

Asrinaldi A  ;   Dosen Magister Ilmu Politik FISIP Unand, Padang
HALUAN, 14 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Penghitungan su­ara resmi KPU hasil Pemilu 9 Ap­ril masih ber­lang­sung.  Baik peng­urus partai politik maupun Caleg harap-harap cemas menunggu hasil penghitu­ngan resmi tersebut.  Mes­kipun sudah ada gam­baran hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survey, namun hasil tersebut bukanlah hasil final.

Namun, dari proses Pemilu yang cenderung berjalan aman dan lancar ini terdapat sejumlah catatan yang perlu menjadi per­hatian semua pihak, teru­tama yang terkait dengan masih maraknya politik uang yang dilakukan calon ang­gota legislatif (Caleg) dalam Pemilu kali ini.

Sebenarnya, maraknya politik uang dalam setiap Pemilu membuktikan bahwa demokrasi elektoral yang dilaksanakan gagal melahir­kan negarawan untuk kema­juan bangsa ini.

Praktik politik uang telah menjadi cara praktis untuk memenangkan Pemilu deng­an mengabaikan akal sehat dalam berdemokrasi.  Cela­kanya, mereka yang meng­guna­kan politik uang inilah yang banyak terpilih karena menjadi pilihan masyarakat.

Mudah dilihat sebenarnya semakin mahalnya biaya Pemilu berkorelasi dengan maraknya politik uang.  Fenomena semakin mening­katnya biaya politik untuk menjadi wakil rakyat dari Pemilu ke Pemilu memang sungguh mengherankan.

Bayangkan saja, untuk menjadi anggota DPR RI bisa menghabiskan uang hingga 5 miliar Rupiah (Pramono Anung, 2013).  Semakin ke daerah uang yang dikeluar­kan calon anggota legislatif ini memang semakin turun.  Namun, kisarannya masih mencapai angka ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Idealnya, jika dikaitkan dengan kampanye yang dilakukan Caleg, mas­ya­rakat­lah yang mem­beli gagasan Caleg agar mereka  dipilih dan bisa memperjuangkan-nya di parlemen.  Karena merekalah yang akan me­wakili aspirasi masyarakat di lembaga legislatif.

Anehnya, sejak Pemilu dilaksanakan dengan per­wakilan proporsional dengan suara terbanyak, Caleg justru menjadi “pembeli” suara masyarakat.  Kare­nanya tidak sedikit Caleg harus menyediakan uang dengan jumlah banyak untuk membeli dukungan ini.

Ini gejala politik yang tidak sesuai dengan akal sehat berdemokrasi.  Seolah-olah kebutuhan uang ini menjadi hal yang wajib, jika ingin menang dalam Pemilu.  Pada akhirnya kekuatan uang menjadi penentu keme­nangan seseorang dalam demokrasi elektoral.  Bahkan Caleg yang memiliki uang yang pas-pasan telah “menye­rah kalah” sebelum Pemilu dilaksanakan.

Setiap turun berkam­panye mereka selalu dimintai uang secara terang-terangan oleh masyarakat.  Bahkan permin­taan uang tersebut dapat ditukar dengan janji para calo yang akan menga­rah­kan dukungan masya­rakat kepada Caleg.  Bahkan mereka siap membuat per­janjian di atas kertas ber­materai.

Tidak sedikit Caleg me­ng­­­gu­nakan uang untuk mendapatkan dukungan dengan cara mudah dan praktis pada Pemilu dengan sistem terbuka ini.  Peng­gunaan uang justru ber­tujuan agar mereka tidak bersusah payah meyakinkan pemilih untuk memberikan suaranya.  Cukup melalui calo yang juga menjadi tim sukses, maka uang yang sudah disediakan Caleg dibagikan kepada kelompok pemilih yang mereka sasar.

Keadaan ini tentu meng­an­cam praktik demok­rasi perwakilan yang dilaksanakan.  Bahkan praktik ini semakin mudah ditemu­kan dalam setiap Pemilu yang dilak­sanakan.  Tidak ada upaya nyata yang dapat dilakukan pemerintah dan partai politik untuk mengu­rangi praktik politik seperti ini.

Partai politik cenderung mencari Caleg-caleg instan dan yang bukan kader asalkan mereka punya sejumlah uang.  Padahal dalam kontestasi demokrasi perwakilan, yang sebenarnya dibutuhkan adalah Caleg yang memiliki kemampuan bicara di depan publik, kemampuan organisasi, dan kepemimpinan.  Di negara yang maju dalam ber­demok­rasi syarat ini menjadi hal yang mutlak dimiliki oleh seorang wakil rakyat yang akan dipilih.

Yang mengkhawatirkan justru partai politik tidak lagi menghiraukan fungsi pendidi­kan politik yang seharusnya dilaksanakan.  Padahal pendidikan politik ini menjadi nilai dasar untuk mencegah maraknya politik uang.

Jamak diketahui, pen­didikan politik adalah bagian dari proses sosialisasi politik, yaitu penanaman nilai-nilai dasar kepada individu sebagai aktor politik.  Jika partai politik mampu melak­sana­kan pendidikan politik ini baik kepada kader maupun konstituennya, maka praktik politik uang ini dapat dikurangi.

Namun, gagalnya partai melaksanakan pendidikan politik kepada kader dan konstituennya justru berdam­pak pada mahalnya biaya yang harus mereka keluar­kan setiap menjelang Pe­milu.

Sebenarnya masa lima tahun dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya adalah waktu yang cukup untuk partai politik dan kadernya menjalin komunikasi yang intensif dengan konstituen mereka.

Mulai dari mengomu­nikasikan apa yang dila­kukan kader partai yang duduk di lembaga legislatif ketika memperjuangkan aspirasi hingga pada apa yang dinginkan masyarakat untuk diteruskan kepada perwakilan partai di par­lemen.

Terjalinnya komunikasi yang intensif ini adalah cara praktis mendekatkan emosional kader partai dengan konstituen.  Paling tidak dalam waktu lima tahun, hubungan yang terjalin ini akan membantu mening­katkan popularitas kader di hadapan konstituen mereka.

Apalagi kalau kader partai politik yang telah duduk di parlemen bisa menyampaikan hal-hal pen­ting yang berhasil mereka perjuangkan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada partai tersebut.

Kepercayaan inilah sebe­nar­­nya menjadi modal u­tama yang harus dipelihara oleh partai politik.  Modal keperca­yaan ini juga menjadi cara meminimumkan biaya kampa­nye pada Pemilu berikutnya.

Kader partai yang telah berhasil menjalin komunikasi politik dengan konstituen sekaligus melakukan pen­didikan politik harus dipriori­tas­kan oleh partai untuk menjadi Caleg pada Pemilu berikutnya.

Namun, pengamatan terhadap partai yang pernah melakukan rekrutmen politik di daerah justru terkesan asal-asalan.  Partai politik terlihat kesulitan melakukan rekrutmen politik untuk Caleg karena terbatasnya kader yang dimilikinya.

Padahal jika fungsi rek­rutmen ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelak­sanaan Pemilu dan diiringi dengan proses sosialisasi kepada masyarakat, barang­kali partai tidak akan kesulitan mendapatkan kader yang berkualitas.

Namun agaknyacara ini belum pernah diupayakan dengan maksimal oleh partai politik. Jadi, mahalnya biaya seseorang untuk dapat menja­di anggota legislatif sebenarnya berhubungan erat dengan kegagalan partai politik melaksanakan fung­sinya.

Oleh karena itu, sudah saatnya elite partai politik mengubah cara mereka mengelola partai yang hanya aktif menjelang Pemilu tapi pasif setelah Pemilu dilak­sanakan.  Ini dapat dilihat dari ketidakhadiran partai ketika masyarakat kebingu­ngan menghadapi masalah politik di sekitar mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar