Menyemaikan
Damai di Afghanistan
Chusnan Maghribi ; Alumnus
Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 14 April 2014
PEMILIHAN
umum (pemilu) guna memilih anggota parlemen dan presiden Afghanistan yang
digelar serentak pada 5 April 2014 berlangsung tertib dan aman (SM, 8/4/14).
Ancaman kelompok militan Taliban yang akan melancarkan 1000 serangan saat
pemilu digelar tidak terbukti.
Partisipasi
pemilih pun cukup menggembirakan, menyiratkan iklim kehidupan demokrasi mulai
terbentuk dan berjalan di jalur positif di negeri yang sudah merdeka sejak 19
Agustus 1919 itu. Masyarakat terlihat mulai merespons positif akan penting
dan perlunya berdemokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih
dari 60% dari sekitar 13,5 juta penduduk yang memiliki hak pilih menggunakan
hak politik mereka dalam pemilu 5 April lalu. Menurut Sekretaris Pemilu,
Zia-ur-Rahman, partisipasi pemilih tersebut melampaui harapan. Delapan calon
presiden (capres) yang bertarung untuk menggantikan Hamid Karzai pun tampak
arif, tidak mengumbar pernyataan yang bisa memanas-manasi situasi
politik keamanan.
Secara
konstitusional Karzai tidak boleh mencalonkan diri lagi karena sudah dua
periode (2004-2009 dan 2009-2014) menjabat presiden. Ke-8 capres itu adalah
tokoh oposisi dan mantan menteri Luar Negeri Abdullah Abdullah, ekonom Ashraf
Ghani Ahmadzai, Zalmai Rassoul, Abdul Rasoul Sayyaf, Qutbuddin Hilal, Hidayat
Amin Arsala, Mohammad Daoud Sultanzai, dan Gul Agha Sherzai.
Tiga
nama yang disebut pertama diprediksi paling berpeluang lolos ke putaran kedua
bilamana pada pemilu putaran pertama tak ada satu pun capres yang meraih
suara lebih dari 50%. Hasil pemilu putaran pertama baru akan diumumkan pada
24 April mendatang.
Itulah
benih perdamaian yang harus segera sukses disemaikan di Afghanistan, negeri
berluas wilayah 652.230 km2 dan kini
berpopulasi 31.108.077 jiwa. Pasalnya, sudah kelewat panjang Afghanistan
didera perang saudara. Setidak-tidaknya, sejak Sultan Mohammad Zahir Shah
digulingkan oleh keponakannya (Mohammad Daoud Khan) 17 Juli 1973 hingga
mengakhiri era monarki Afghanistan, pertikaian politik antarkekuatan politik
praktis tak pernah berhenti.
Cenderung Represif
Setelah
mengudeta Zahir Shah, Perdana Menteri (PM) Daoud Khan melancarkan
pemberantasan korupsi di jajaran birokrasi pemerintah serta melakukan
reformasi sosial ekonomi guna memperbaiki kehidupan rakyat. Tetapi,
pemerintahannya cenderung represif terutama terhadap pendukung Partai Demokrasi Rakyat
Afghanistan (PDRA) yang beraliran Marxisme-Leninisme. Tidak sedikit tokoh
PDRA ditangkap dan dibunuh. Salah satunya adalah Mir Akbar Khyber. PDRA
berkembang pesat di Afghanistan sejak 1963.
Represivitasnya
memantik kemarahan PDRA yang sejak 1967 terpecah menjadi dua faksi, yaitu
faksi Khalq pimpinan Mohammad Nur Taraqi dan Hafizullah Amin serta faksi
Parcham pimpinan Babrak Karmal. Pada
27 April 1978 dua faksi PDRA itu kompak mengudeta Daoud Khan. Daoud
Khan beserta keluarganya dieksekusi.
Tampilnya
PDRA di tampuk pemerintahan tidak mampu menciptakan perdamaian. Kekuasaan
PDRA mendapat perlawanan kuat dari kaum Mujahidin dengan dukungan Amerika
Serikat. Karena itulah, Moskow (Uni Soviet/Rusia) kemudian mengirim ribuan
pasukan tempurnya ke Afghanistan pada 25 Desember 1979.
Moskow
menempatkan pasukan perangnya di Afghanistan sampai Februari 1989. Penarikan
mundur total tentara Soviet membuat kekuatan pemerintahan PDRA melemah. Pada
April 1992 Presiden Mohammad Najibullah digulingkan dan dieksekusi oleh
pasukan Mujahidin.
Setelah
itu perebutan kekuasaan terjadi antarfaksi Mujahiddin, dan memunculkan
Taliban dukungan Osama bin Ladin sebagai pemenang. Pada 1996 Taliban
menguasai hampir 100% wilayah. Pemerintahan Taliban berakhir November 2001
menyusul invasi pasukan AS ke Afghanistan sebagai respons atas serangan
teroris terhadap World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001
yang (diyakini oleh AS) didalangi bin Ladin.
Pendudukan
pasukan AS di Afghanistan akan berakhir Desember 2014. Direncanakan, per 31
Desember tahun ini negara adikuasa itu menarik mundur seluruh tentaranya
Persoalannya,
sanggupkah pemerintah bersama pasukan keamanan Afghanistan menjaga benih
perdamaian sekaligus menyemaikannya? Inilah ujian tersulit yang mesti sukses
dilalui oleh segenap anak bangsa Afghanistan menjelang dan sesudah penarikan
seluruh pasukan AS pada akhir Desember mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar