Senin, 14 April 2014

Koalisi Kaum Muda

Koalisi Kaum Muda

Ahan Syahrul Arifin  ;   Ketua PB HMI 2013–2015
KORAN JAKARTA, 14 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Lahirnya pemimpin berangkat dari dua aras utama, yakni karena genetik atau melalui proses panjang pengaderan. Dalam trah kepemimpinan di Indonesia, jalur genetik lebih kuat.

Hal itu bisa dilihat dari simbol-simbol biologis yang selalu dijual partai-partai yang memiliki sejarah dengan aktor-aktor kepemimpinan. Contohnya PDIP yang senantiasa mengusung dan tak pernah melepaskan diri sebagai anak ideologis Soekarno.

Begitu juga dengan Golkar. Bahkan, dalam kampanyenya, Golkar tak malu menyebut Orde Baru (Orba) sebagai bagian integral dari sejarah partai. Keberhasilan-keberhasilan Orde Baru juga menjadi bahan kampanye partai beringin tersebut.

Membicarakan Orba tak bisa sama sekali dilepaskan dari Soeharto. Maka, untuk meyakinkan pemilihnya, Golkar juga menurunkan anak biologis pemimpin Orde Baru, Mbak Tutut dan Mbak Titiek. Bahkan meski tidak diakui sebagai strategi partai, Golkar terus menyosialisasikan slogan "Enak zamanku tho?" yang mengacu pada Soeharto.

PDIP, meski mencoba melepaskan baju biologis dinasti Soekarno, dengan cara memberi mandat kepada Joko Widodo sebagai capres, tetap saja aroma patron PDIP tidak lepas dari Megawati, Puan Maharani, dan Prananda.

Popularitas Jokowi jelas dimanfaatkan untuk mendongkrak perolehan suara PDIP untuk memenangi Pemilu 2014 meski hasilnya tak tampak efek yang begitu signifikan dari pencapresan Jokowi oleh PDIP dalam Pileg 9 April lalu.

Pembagian Jabatan

Hasil resmi pemilu memang masih menunggu keputusan KPU. Namun, penjajakan-penjajakan sudah mulai dilakukan dengan mendasarkan pada hasil quick count. Hasil quick count menunjukkan tidak ada partai dominan.

Melihat gejala, penentuan koalisi akan terbentuk dari pertemuan kepentingan partai-partai tersebut. Seluruh partai dengan spektrum warna akan bisa berkoalisi, merah dengan putih, hijau-biru, kuning-merah, kuning-putih, biru-putih, dan kuning-biru. Basis ideologis tak akan jadi soal yang menentukan pembentukan koalisi.

Aroma kepentingan kekuasaan akan didahulukan daripada ideologi dan platform. Perbedaan ideologi, program, dan platform tak lagi menjadi penghalang membangun pemerintahan yang kuat. Partai-partai dengan perolehan suara menengah akan merapat dengan pihak yang paling berpeluang menang.

Sebaliknya, para pemenang, demi stabilitas pemerintahan, akan menggandeng seluruh stakeholder yang hendak bergabung. Koalisi akan terbentuk dengan basis pembagian jabatan.

Ideologi partai akan dinomorsekiankan. Berbagai prinsip mendasar partai akan dinafikan ketika kesepakatan terbentuk. Persamaan-persamaan platform yang akan dipublikasikan dengan sangat intim. Kepentingan kekuasaan dan jabatan dipilih sebagai acuan utama. Bahkan pihak yang mengaku opisisi pun bisa berbagi nikmatnya kekuasaan.

Fenomena ini sudah mewarnai bangunan koalisi yang terbentuk sejak pemilu 1999, 2004, dan 2009. Persaingan antarpartai politik akan sangat tampak menegangkan menjelang pemilu legislatif maupun presiden-wakil presiden.

Uniknya, begitu masa menata pemerintahan dan kabinet dilakukan pemenang, seluruh faktor persaingan luruh, hilang tanpa jejak. Parpol bercengkerama dalam aturan main koalisi, tanpa perlu memperhatikan hal-hal yang bersifat prinsip.

Meredupnya faktor ideologi dalam tubuh parpol di Indonesia melahirkan pragmatisme. Politik sudah seperti transaksi jual beli, untung dan rugi yang dihitung sebagai fondasi skema. Gambaran tersebut terindikasi dari pola-pola koalisi parpol, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Semenjak era pemilihan langsung, partai yang tidak berkoalisi di tingkat pusat bisa saja membangun koalisi di provinsi ketika pencalonan gubernur dan wakil. Begitu juga koalisi di level kabupatan/kota terjadi karena aspek kepentingan pencalonan, bukan ideologi dan platform partai.

Pengabaian tersebut terjadi, misalnya, saat koalisi pragmatis pencalonan presiden dan wakil presiden pada 2004.

Di putaran pertama, terdapat lima kandidat: Wiranto-Sholahuddin Wahid didukung Golkar, PKBP, Partai Patriot, PKB dan PPNUI; Agum Gumelar-Hamzah Haz didukung PPP; Amien Rais-Siswono Yudhohusodo didukung PAN, PBR, PSI, PNI Marhenisme, PPDI, PNBK, PBSD, dan PKS; Megawati-Hasyim Muzadi didukung PDIP; dan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla didukung Partai Demokrat, PKPI, dan PBB.

Pada putaran kedua, Mega-Hasyim mendapat dukungan dari Golkar, PPP, PKBP, PBR, dan PNI Marhenisme, sementara SBY-JK mendapat dukungan dari PKS dan PAN. Tampak jelas koalisi terbangun bukan berlandaskan basis ideologinya.

Koalisi pelangi yang terbangun lebih karena perolehan suara, bukan unsur ideologi partai yang menaungi. Ideologi yang tertulis dalam asas tak dipraktikkan secara ketat. Berlaku sangat cair dengan unsur pragmatis politik kekuasaan yang lebih kental.

Selain membaca bangunan koalisi yang akan terbentuk, yang tak kalah penting untuk direspons adalah pernyataan Habibie mengenai pemimpin atau presiden ke depan haruslah orang berusia 40–60 tahun. Alasannya, kematangan, visi, keutamaan, dan kemampuan fisik masih prima. Pemimpin di usia tersebut akan menjadi lokomotif perubahan dahsyat.

Pernyataan Habibie bukan sesuatu yang baru tapi perlu dicermati karena calon presiden yang muncul muka-muka lama yang telah berusia di atas 60 tahun, kecuali Jokowi dan Anis Baswedan. Fakta ini menyiratkan proses regenerasi kepemimpinan tak berjalan.

Padahal, peran anak-anak muda besar dalam menggerakkan perubahan. Dinamika kehidupan berbangsa selalu dimotori gerakan-gerakan anak muda yang menempatkan ide dan gagasan sebagai tulang punggung perubahan.

Disadari atau tidak, gerakan anak-anak muda memunyai potensi sangat besar dalam upaya membangun peradaban bermartabat. Dengan bekal pengetahuan, wawasan keilmuan, keberanian, kenekatan, jaringan, dan penempaan diri berlapis, sudah barang tentu anak muda berperan mengubah sebuah keadaan.

Rezim baru kepemimpinan muda juga sangat berpeluang mengendalikan bangsa mengingat jumlah pemilih muda mencapai 30 persen dalam pemilu kemarin. Berpijak dalam pusaran sejarah, peluang, dan tantangan masa depan, perjalanan bangsa tidak bisa dilepaskan dari cara kaum muda mengambil jalan kepeloporan. Soekarno bahkan dengan lantang menyebut untuk mengubah dunia hanya butuh 10 pemuda.

Kini waktunya telah tiba. Pemimpin muda harus lebih berani bersosialisasi dan mendeklarasikan diri. Butuh keberanian besar untuk tampil dan mengemban amanah. Koalisi anak-anak muda lintas parpol bisa menentukan arah bangunan koalisi. Jika tidak sekarang, kapan lagi hendak mendobrak kejemuan kepemimpinan nasional?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar