Koalisi
Kaum Muda
Ahan Syahrul Arifin ; Ketua PB
HMI 2013–2015
|
KORAN
JAKARTA, 14 April 2014
Lahirnya
pemimpin berangkat dari dua aras utama, yakni karena genetik atau melalui
proses panjang pengaderan. Dalam trah kepemimpinan di Indonesia, jalur
genetik lebih kuat.
Hal itu
bisa dilihat dari simbol-simbol biologis yang selalu dijual partai-partai
yang memiliki sejarah dengan aktor-aktor kepemimpinan. Contohnya PDIP yang
senantiasa mengusung dan tak pernah melepaskan diri sebagai anak ideologis
Soekarno.
Begitu
juga dengan Golkar. Bahkan, dalam kampanyenya, Golkar tak malu menyebut Orde
Baru (Orba) sebagai bagian integral dari sejarah partai.
Keberhasilan-keberhasilan Orde Baru juga menjadi bahan kampanye partai
beringin tersebut.
Membicarakan
Orba tak bisa sama sekali dilepaskan dari Soeharto. Maka, untuk meyakinkan
pemilihnya, Golkar juga menurunkan anak biologis pemimpin Orde Baru, Mbak
Tutut dan Mbak Titiek. Bahkan meski tidak diakui sebagai strategi partai,
Golkar terus menyosialisasikan slogan "Enak
zamanku tho?" yang mengacu pada Soeharto.
PDIP,
meski mencoba melepaskan baju biologis dinasti Soekarno, dengan cara memberi
mandat kepada Joko Widodo sebagai capres, tetap saja aroma patron PDIP tidak
lepas dari Megawati, Puan Maharani, dan Prananda.
Popularitas
Jokowi jelas dimanfaatkan untuk mendongkrak perolehan suara PDIP untuk
memenangi Pemilu 2014 meski hasilnya tak tampak efek yang begitu signifikan
dari pencapresan Jokowi oleh PDIP dalam Pileg 9 April lalu.
Pembagian Jabatan
Hasil
resmi pemilu memang masih menunggu keputusan KPU. Namun,
penjajakan-penjajakan sudah mulai dilakukan dengan mendasarkan pada hasil quick count. Hasil quick count menunjukkan tidak ada partai
dominan.
Melihat
gejala, penentuan koalisi akan terbentuk dari pertemuan kepentingan
partai-partai tersebut. Seluruh partai dengan spektrum warna akan bisa
berkoalisi, merah dengan putih, hijau-biru, kuning-merah, kuning-putih,
biru-putih, dan kuning-biru. Basis ideologis tak akan jadi soal yang
menentukan pembentukan koalisi.
Aroma
kepentingan kekuasaan akan didahulukan daripada ideologi dan platform. Perbedaan ideologi, program,
dan platform tak lagi menjadi penghalang membangun pemerintahan yang kuat.
Partai-partai dengan perolehan suara menengah akan merapat dengan pihak yang
paling berpeluang menang.
Sebaliknya,
para pemenang, demi stabilitas pemerintahan, akan menggandeng seluruh stakeholder yang hendak bergabung.
Koalisi akan terbentuk dengan basis pembagian jabatan.
Ideologi
partai akan dinomorsekiankan. Berbagai prinsip mendasar partai akan dinafikan
ketika kesepakatan terbentuk. Persamaan-persamaan platform yang akan dipublikasikan dengan sangat intim.
Kepentingan kekuasaan dan jabatan dipilih sebagai acuan utama. Bahkan pihak
yang mengaku opisisi pun bisa berbagi nikmatnya kekuasaan.
Fenomena
ini sudah mewarnai bangunan koalisi yang terbentuk sejak pemilu 1999, 2004,
dan 2009. Persaingan antarpartai politik akan sangat tampak menegangkan
menjelang pemilu legislatif maupun presiden-wakil presiden.
Uniknya,
begitu masa menata pemerintahan dan kabinet dilakukan pemenang, seluruh
faktor persaingan luruh, hilang tanpa jejak. Parpol bercengkerama dalam
aturan main koalisi, tanpa perlu memperhatikan hal-hal yang bersifat prinsip.
Meredupnya
faktor ideologi dalam tubuh parpol di Indonesia melahirkan pragmatisme.
Politik sudah seperti transaksi jual beli, untung dan rugi yang dihitung
sebagai fondasi skema. Gambaran tersebut terindikasi dari pola-pola koalisi
parpol, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Semenjak
era pemilihan langsung, partai yang tidak berkoalisi di tingkat pusat bisa
saja membangun koalisi di provinsi ketika pencalonan gubernur dan wakil.
Begitu juga koalisi di level kabupatan/kota terjadi karena aspek kepentingan
pencalonan, bukan ideologi dan platform partai.
Pengabaian
tersebut terjadi, misalnya, saat koalisi pragmatis pencalonan presiden dan
wakil presiden pada 2004.
Di
putaran pertama, terdapat lima kandidat: Wiranto-Sholahuddin Wahid didukung
Golkar, PKBP, Partai Patriot, PKB dan PPNUI; Agum Gumelar-Hamzah Haz didukung
PPP; Amien Rais-Siswono Yudhohusodo didukung PAN, PBR, PSI, PNI Marhenisme,
PPDI, PNBK, PBSD, dan PKS; Megawati-Hasyim Muzadi didukung PDIP; dan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla didukung Partai Demokrat, PKPI, dan PBB.
Pada
putaran kedua, Mega-Hasyim mendapat dukungan dari Golkar, PPP, PKBP, PBR, dan
PNI Marhenisme, sementara SBY-JK mendapat dukungan dari PKS dan PAN. Tampak
jelas koalisi terbangun bukan berlandaskan basis ideologinya.
Koalisi
pelangi yang terbangun lebih karena perolehan suara, bukan unsur ideologi
partai yang menaungi. Ideologi yang tertulis dalam asas tak dipraktikkan
secara ketat. Berlaku sangat cair dengan unsur pragmatis politik kekuasaan
yang lebih kental.
Selain
membaca bangunan koalisi yang akan terbentuk, yang tak kalah penting untuk
direspons adalah pernyataan Habibie mengenai pemimpin atau presiden ke depan
haruslah orang berusia 40–60 tahun. Alasannya, kematangan, visi, keutamaan,
dan kemampuan fisik masih prima. Pemimpin di usia tersebut akan menjadi
lokomotif perubahan dahsyat.
Pernyataan
Habibie bukan sesuatu yang baru tapi perlu dicermati karena calon presiden yang
muncul muka-muka lama yang telah berusia di atas 60 tahun, kecuali Jokowi dan
Anis Baswedan. Fakta ini menyiratkan proses regenerasi kepemimpinan tak
berjalan.
Padahal,
peran anak-anak muda besar dalam menggerakkan perubahan. Dinamika kehidupan
berbangsa selalu dimotori gerakan-gerakan anak muda yang menempatkan ide dan
gagasan sebagai tulang punggung perubahan.
Disadari
atau tidak, gerakan anak-anak muda memunyai potensi sangat besar dalam upaya
membangun peradaban bermartabat. Dengan bekal pengetahuan, wawasan keilmuan,
keberanian, kenekatan, jaringan, dan penempaan diri berlapis, sudah barang
tentu anak muda berperan mengubah sebuah keadaan.
Rezim
baru kepemimpinan muda juga sangat berpeluang mengendalikan bangsa mengingat
jumlah pemilih muda mencapai 30 persen dalam pemilu kemarin. Berpijak dalam
pusaran sejarah, peluang, dan tantangan masa depan, perjalanan bangsa tidak
bisa dilepaskan dari cara kaum muda mengambil jalan kepeloporan. Soekarno
bahkan dengan lantang menyebut untuk mengubah dunia hanya butuh 10 pemuda.
Kini
waktunya telah tiba. Pemimpin muda harus lebih berani bersosialisasi dan
mendeklarasikan diri. Butuh keberanian besar untuk tampil dan mengemban
amanah. Koalisi anak-anak muda lintas parpol bisa menentukan arah bangunan
koalisi. Jika tidak sekarang, kapan lagi hendak mendobrak kejemuan
kepemimpinan nasional? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar