Berpuisi,
Berpolitik
Bandung Mawardi ; Kritikus Sastra
|
TEMPO.CO,
04 April 2014
Dulu,
puisi merangsang pembentukan Indonesia. Muhammad Yamin (1903-1962) menggubah
puisi berimajinasi Indonesia, puisi bagi gerakan kaum muda, 1928. Puisi
berjudul Indonesia, Toempah Darahkoe berisi janji suci: Semendjak diri lahir ke boemi/ Sampai
bertjerai dari badan dan njawa/ Karena kita sedarah-sebangsa/ Bertanah air
Indonesia. Puisi menggerakkan imajinasi Indonesia, membuktikan pesona
kata dan makna di arus nasionalisme.
Kita
sengaja menghadirkan puisi lawas agar ada ingatan peran puisi untuk berpolitik
dan beradab di Indonesia. Sekarang, puisi digubah dan dibacakan berpamrih
serangan politik. Di panggung propaganda, suguhan puisi memberi sengatan
politik. Puisi bermisi kritik dan sindiran. Puisi menjadi sensasi. Serangan
puisi tak mendapat balasan puisi. Jokowi memberi pengakuan tak bisa berpuisi.
Kita
mengerti bahwa suguhan puisi dari Prabowo dan Fadli Zon bergerak ke
persaingan politik. Pilihan kata tak perlu pelik. Puisi hampir lugas.
Keduanya sengaja menggubah puisi demi pamrih besar: gapaian popularitas dan kekuasaan. Kita tak menemukan olahan kata
dan imajinasi mengarah ke kontribusi perkembangan sastra mutakhir.
Mereka
berbeda dengan Muhammad Yamin, menggubah puisi dalam pergulatan ide dan
gerakan nasionalisme, sejak awal abad XX. Puisi hadir bersama teks-teks
politik dan intelektual. Puisi berkehendak mencipta Indonesia. Semaian
imajinasi muncul berbarengan dengan gairah kebangsaan. Puisi memang masuk ke
arus politik, meski tak menjatuhkan derajat puisi sebagai propaganda murahan.
Puisi tetap mempertimbangkan diksi dan imajinasi. Sekarang, puisi dari dua
pujangga-politisi justru menguak hasrat memperalat kata dan makna berdalih
kekuasaan.
Puisi
gubahan pujangga tulen dan pujangga "dadakan" tentu mengandung
perbedaan besar, bermula dari penggunaan kias sampai kesadaran beramanat.
Puisi itu pertaruhan kata, pergulatan makna tak usai. Octavio Paz berkata: "Puisi adalah pekerjaan paling
ambigu: tugas dan sebuah misteri, masa lalu dan sakramen, profesi dan
hasrat." Pertaruhan puisi sering membuat pujangga bertarung kata dan
imajinasi, berharap menghasilkan puisi tak picisan. Keinsafan atas puisi dan
pujangga mulai diruntuhkan oleh penggampangan pembuatan puisi berdalih
politik. Puisi ada di jeratan propaganda berisi ejekan, kemarahan, sindiran,
hujatan.
Puisi
dalam pemilu mengingatkan kita akan kontribusi pujangga bernama M.R. Dajoh
(1909-1975). Pada 1953, M.R. Dajoh membuat lirik untuk Lagu Pemilihan Umum,
bersesuaian dengan komposisi lagu garapan Ismail Marzuki. M.R. Dajoh menulis:
Pemilihan umum! Kesana beramai!/
Marilah, marilah saudara-saudara!/ Memilih bersama para wakil kita./ Menurut
pilihan, bebas rahasia./ Itu hak semua warga senegara./ Njusun kehidupan adil
sedjahtera. Lirik memang tak terlalu puitis, tapi beramanat demi
selebrasi demokrasi. Apakah para caleg dan capres mengetahui kontribusi dua
seniman kondang penggarap lagu bersejarah itu?
Puisi-puisi
gubahan Prabowo dan Fadli Zon telanjur memicu polemik. Kita bisa menandingkan
puisi mereka dengan puisi berjudul Aku
Menuntut Perubahan gubahan Wiji Thukul: kami tak percaya lagi pada itu/ partai politik/ omongan kerja mereka/
tak bisa bikin perut kenyang/ mengawang jauh dari kami/ punya persoalan/
bubarkan saja itu komedi gombal. Puisi bisa memuliakan politik dan
meremehkan partai politik. Oh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar