Pertengkaran
tanpa Persoalan
Husein Ja’far Al Hadar ; Pendiri Cultural
Islamic Academy Jakarta
|
TEMPO.CO,
03 April 2014
Dalam
salah satu syairnya berjudul Hai, Ma!
(1992), W.S. Rendra menulis, "...
hidup cemar oleh basa-basi dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran
edan yang tanpa persoalan ..." Rendra sedang menyindir kita, umat
beragama, masyarakat politik, dan yang lainnya juga, yang memang sering
bertengkar tanpa persoalan. Basa-basi saja.
Dalam
sebuah acara televisi di AS pada 2005 yang dipandu oleh John Stewart,
ternyata terungkap bahwa pejabat tinggi FBI tak bisa menjawab saat ditanya
tentang hal-hal yang sangat mendasar tentang Islam. Bahkan mereka bukan hanya
mengakui ketidaktahuan, tapi lebih buruk lagi, mereka sejak awal melepaskan
keingintahuan untuk tahu, sehingga, John Stein, Redaktur Keamanan Nasional
untuk Congressional Quarterly di
Washington, yang juga aktif mewawancarai pejabat dan petinggi AS, pernah
berkata, "Sebagian besar pejabat
AS (bukan hanya anggota Kongres, tapi juga intelijen dan penegak hukum AS)
yang telah saya wawancarai tidak mengetahui apa-apa tentang Islam secara
mendasar," (John L. Esposito,
2010). Padahal mereka berada dalam garis depan perang kontra-terorisme
yang sering distigmakan pada Islam sebagai agama teror.
Kita pun
di Indonesia kerap terjebak oleh apa yang disindir oleh Rendra itu. Kita
membenci dan memerangi penganut agama atau mazhab yang berbeda tanpa tahu apa
agama atau mazhab itu. Begitu pula dalam politik. Bahkan, ironisnya, kita
membenci dan bertengkar hanya karena provokasi dan fitnah belaka dari mereka
yang berkepentingan semata. Padahal, dalam kajian hikmah tasawuf, lebih jauh
lagi, kita dituntut untuk memahami substansi sesuatu yang sering kali sama
dan bahkan satu, walaupun secara kulit berbeda dan beragam. Agar kita tak
bertengkar hanya karena perbedaan kulit, yang secara substansi sebenarnya
kita sama dan satu, sehingga paradigma dan sikap hidup kita sesuai dengan
nilai dasar bangsa ini, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Pertengkaran
sering kali muncul hanya karena lemahnya komunikasi. Komunikasi hanya menjadi
basa-basi belaka, layaknya komunikasi dua orang yang sama-sama tuli. Meminjam
istilah Emha Ainun Nadjib (2007), begitu banyak insiden, kekacauan dan
pertengkaran yang melanda bangsa ini akibat dari dialektika ketulian massal.
Jurgen Habermas, filsuf Jerman kontemporer, menyebutnya sebagai problem
komunikasi. Dalam dialognya dengan Giovanna Borradori, yang kemudian dimuat
dalam buku Philosophy in a Time of Terror (2003), Habermas menilai masalah
sering kali timbul dari distorsi dalam komunikasi; kesalahpahaman dan
ketidakmengertian. Komunikasi hanya menjadi basa-basi dan formalitas belaka,
bukan sebuah dialektika dialogis yang tulus untuk mencari solusi dan menyemai
perdamaian. Sebab, pada dasarnya, pertengkaran memang bukan muncul karena
persoalan, tapi hanya karena hasrat kebencian yang tak berdasar atau
pragmatis semata.
Akhirnya,
kita harusnya bukan hanya menghindari apa yang disindir oleh Rendra tersebut,
tapi justru membalikkan paradigma itu. Seharusnya, jika pun ada persoalan,
itu harus diselesaikan tanpa pertengkaran, yakni melalui komunikasi. Sebab,
kita semua tahu dan sadar bahwa pertengkaran tak akan pernah menjadi solusi
dan menyelesaikan masalah, tapi memperburuk masalah atau malah menambah
persoalan baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar