Korupsi
Partai
Hifdzil Alim ; Peneliti Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM
|
TEMPO.CO,
03 April 2014
Menyimak
surat dakwaan tindak pidana korupsi Andi Alifian Mallarangeng melalui Koran
Tempo, 11 Maret lalu, sepertinya ada ancaman yang membahayakan
keberlangsungan hidup partai politik di republik ini. Tengok saja, setidaknya
ada duit haram sekitar Rp 7,2 miliar yang mengalir ke anggota partai. Rp 2,5
miliar dari Rp 7,2 miliar tersebut ditengarai masuk ke bendahara sebuah
partai. Apakah aliran uang haram tersebut benar-benar diterima oleh anggota
partai sebagaimana isi surat dakwaan?
Partai
politik adalah tentang kekuasaan. Begitu Joseph Lapalombara dan Jeffrey
Anderson memulai tulisannya yang berjudul Political
Parties yang dimuat Encyclopedia of
Government and Politics (volume I). Jarang ada yang meragukan kalau
partai cenderung memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan. Partai adalah
sarana untuk mencapai kekuasaan. Atau jangan-jangan partai adalah kekuasaan
itu sendiri.
Sulit
mempercayai bahwa seharusnya partai politik dibentuk sebagai penyambung lidah
aspirasi rakyat. Kenyataannya, partai terkesan hanya milik elite. Sartori
(1976:18) mengutarakan, parties has
determined by a concurrence of events. Tampaknya, partai didirikan dengan
persetujuan laku pada zamannya. Kaidah demikian, boleh jadi, hadir sebagai
basis legitimasi penilaian bahwa partai bekerja sesuai dengan pesanan.
Masalahnya, siapa yang dominan menjadi pemesan? Elite atau rakyat?
Belum
lagi ketika partai berdiri tanpa memiliki ideologi yang benar-benar jelas,
konsistensi partai atas keinginan pemesannya tak bisa dielakkan. Apalagi
dalam usaha melanggengkan kekuasaan, peran partai tidak ubahnya, sama persis,
dengan laku segelintir elite yang menyusupkan kepentingannya dalam tujuan
partai. Akibatnya, partai memutuskan hubungan dengan rakyat dan memilih kawin
dengan elite. Potret buram partai sedang dicetak.
Samar-samarnya
keberadaan ideologi membikin partai tambah sulit melepaskan diri dari peran
sebagai boneka kekuasaan. Di bagian lain, hal ini juga memperumit
keberlangsungan hidup partai. Studi Veri Junaedi dkk (2011) sampai pada
kesimpulan, keberlanjutan hidup partai harus ditopang dengan dana yang sangat
besar. Celakanya, dana itu tak dapat lagi dipungut dari rakyat yang sudah
diputus hubungannya.
Lalu,
apa jalan keluar partai untuk menutup ongkos pembiayaannya? Hukum memberi
batasan. UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2011 mengatur hanya ada
tiga sumber dana untuk partai. Pertama, iuran anggota. Kedua, sumbangan.
Ketiga, APBN/APBD alias belas kasih negara.
Rasa-rasanya,
sulit menemukan anggota partai yang all-out memberikan hartanya kepada partai
tanpa ada umpan balik. Mau tidak mau, iuran anggota menciptakan transaksi
kepentingan antara pengorder dan pelaksana. Sekali lagi, partai semakin
terjebak dalam keinginan si pemesan, tanpa ia mampu bernegosiasi.
Bagaimana
dengan sumbangan, apakah bisa menghidupi gerak-langkah partai? Besaran
sumbangan paling banyak senilai Rp 1 miliar bagi perorangan dalam satu tahun
anggaran. Perusahaan dan/atau badan usaha maksimal Rp 7,5 miliar, juga dalam
satu tahun anggaran, begitu undang-undang tentang partai politik memberi
ketentuan. Jumlah ini kelihatannya tak cukup mengkover, misalnya, biaya
"pertarungan" antarpartai di 33 provinsi dengan 77 daerah
pemilihan, seperti yang tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum.
Sumber
ketiga, belas kasih negara, seterang-terangnya tak bisa menopang kebutuhan
partai. Meski ia dihitung dari jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan
umum, koefisien pengalinya sangat kecil. Hanya Rp 108 kepeng. Margin
pendapatannya berkisar Rp 400 juta sampai Rp 2,3 miliar setiap partai. Bila
pun ada perubahan koefisien pengali, naga-naganya juga tak jauh dari angka
dua ratusan kepeng. Angka yang tak cukup membuat kenyang perut partai demi
melanjutkan hidupnya.
Apa tak
ada sumber lain demi memenuhi pundi keuangan partai? Ada! Salah satunya
melalui pemotongan pajak yang dibayar oleh para wajib pajak (Koran Tempo, 16 Mei 2013). Tapi, jalan
keluar ini menuntut partai menyerahkan dirinya sebagai obyek pengawasan
serius dari rakyat. Gelagatnya, opsi ini bakal sulit diambil partai,
mengingat ia sudah memutuskan hubungan dengan rakyat sebagai pemesannya.
Maka
habis sudah pilihan. Tinggal satu pilihan: korupsi. Sayangnya, cara ini ditawarkan oleh setan. Dan parahnya,
partai mengambilnya. Surat dakwaan KPK terhadap Andi Alifian Mallarangeng,
memuat contoh vulgar bagaimana cara partai-melalui anggotanya-menyamun duit
negara. Meskipun lagi-lagi, rupa-rupa cara itu harus dibuktikan terlebih dulu
oleh jaksa penuntut umum di meja hijau.
Namun
jangan khawatir, pembuat hukum telah memikirkan jauh-jauh hari perihal
korupsi oleh partai. Kalau ada partai yang berani korupsi, dan terbukti,
Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 sudah menanti.
Pidana terhadap partai bisa menjadi dasar pembubarannya. Akhirnya, akankah
ada partai yang dibubarkan? Jalan hukum masih sangat panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar