Jumat, 18 April 2014

Pancasila Dikubur Bangsa

Pancasila Dikubur Bangsa

Kaelan  ;   Guru Besar Pascasarjana Filsafat UGM
MEDIA INDONESIA, 16 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
DALAM sejarah ketatanegaraan Indonesia pada April 2014 ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan judicial review terhadap UU Parpol, yaitu Pasal 34 ayat (3b) huruf a, UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol. MK memutuskan menghapuskan empat pilar, dalam Pasal 34 ayat (3b), yang merupakan prakarsa MPR. Terkait dengan keputusan MK 3 April 2014, nomenklatur empat pilar sudah tidak ada lagi dasar yuridisnya.

MK memberikan putusan yang sangat strategis dan adil karena bukan persoalan hanya istilah atau frasa, melainkan memosisikan Pancasila setingkat dan sederajat dengan pilar UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang akan menimbulkan konsekuensi yang serius, baik dalam penormaan hukum, eksistensi philosophische grondslag serta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Para pemohon yang tergabung dalam Masyarakat Pengawal Pancasila Jogya, Solo, Semarang (MPP Joglosemar) yang terdiri atas wartawan, dosen, mahasiswa, karyawan, dan unsur masyarakat lainnya memosisikan diri sebagai elemen bangsa yang hanya mendasarkan pada kecintaan terhadap bangsa dan negara, terutama ideologi Pancasila. Mereka sangat menyadari kondisi bangsa dewasa ini, terutama pascareformasi, yakni bangsa dan negara Indonesia semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila, yang telah dirumuskan para pendiri Republik ini dengan mengorbankan jiwa dan raga.

Pascareformasi hampir 14 tahun Pancasila dikubur di bumi Indonesia oleh bangsanya sendiri sehingga dapat dipahami internalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi terputus dan bangsa Indonesia terombang-ambing kehilangan pandangan hidup bangsa, sebagai suatu konsensus dan dasar filosofis negara. Dalam situasi kekosongan dan kehampaan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kehadiran MPR untuk membudayakan dan menyosialisasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memang sangat mulia dan layak didukung seluruh rakyat Indonesia. Namun, bukan memasyarakatkan pengetahuan yang salah, yaitu empat pilar berbangsa dan bernegara, yang memosisikan Pancasila sebagai pilar sederajat dengan pilar NKRI, UUD Negara Tahun 1945, pilar Bhinneka Tunggal Ika.

Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Staatsfundamentalnorm atau Grundnorm yang merupakan suatu cita hukum, yang menurut Gustaf Radbruch (1878-1949), ahli filsafat hukum mazhab Baden, memiliki fungsi regulatif dan fungsi konstitutif. Dengan fungsi konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri.

Demikian juga dengan fungsi regulatifnya, Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil atau tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm, Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia, termasuk UUD Negara Indonesia Tahun 1945 (Mahfud, 1999:59).

Dalam susunan peraturan perundangan yang hierarkis itu Pancasila menjamin keserasian. Jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu dengan lainnya yang secara hierarkis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, hal itu berarti jika terjadi ketidaksesuaian, hal itu berarti terjadi suatu inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan. Oleh karena itu, norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum (Mahfud, 1999:59).

Dalam sistem norma hukum di Indonesia, keseluruhan sistem norma hukum Negara Kesatuan RI secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang hierarkis (berjenjang). Pancasila sebagai dasar negara filsafat Indonesia dalam sistem norma hukum Indonesia merupakan sumber karena merupakan (berkedudukan) sebagai norma dasar (Staatsfundamentalnorm), yang berturut-turut kemudian Verfassungnorm UUD 1945, Grundgesetznorm atau ketetapan MPR, serta Gesetznorm atau undang-undang.

Staatsfundamentalnorm, yang esensinya Pancasila, merupakan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945. Konsekuensinya Pancasila merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan pasalpasal dalam Verfassungnorm atau UUD 1945. Aturan yang ada dalam Verfassungnorm, atau UUD 1945, merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan dalam Grundgesetznorm ketetapan MPR dan juga sekaligus sumber dan dasar bagi pembentukan Gesetzesnorm atau UU. Hal itu disebabkan Grundgesetznorm ketetapan MPR itu juga merupakan aturan pokok negara bagi pembentukan Gesetzesnorm UU (Indrati, 2007:65 dan 66).
UU RI No 2/2011 tentang Partai Politik ialah Gesetzesnorm, yang harus mendasarkan pada asas kerohanian Pancasila sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD Tahun 1945. Suatu tertib hukum seharusnya bersumber pada Staatsfundamentalnorm yang esensinya ialah Pancasila. Dengan lain perkataan, UU RI Nomor 2 Tahun 2011 harus koheren dan konsisten dengan Staatsfundamentalnorm yang di dalamnya terkandung Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia.

Pasal 1 ayat (1) itu koheren dan konsisten dengan Staatsfundamentalnorm, tetapi dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b, tentang pendidikan politik berkaitan dengan a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Jadi, dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan sebagai dasar negara, sementara dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b, disebutkan bahwa Pancasila sebagai pilar berbangsa dan bernegara. Dengan b demikian memosisikan ,Pancad i sebagai Pilar Berbangsa dan sila Bernegara` akan berakibat pada kekacauan dan kerancuan sistem norma hukum di Indonesia.

Demikian pula posisi Pancasila sebagai salah satu pilar mengandung konsekuensi secara yuridis dapat diubah atau ditiadakan.

Hal itu mengakibatkan UU Nomor 2 Tahun 2011 mengandung sistem norma hukum yang tidak koheren dan tidak konsisten. Bahkan, bersifat kontradiktif secara internal, incoherence and inconsistent in itself.

Jadi, memosisikan Pancasila sebagai salah satu pilar dalam empat pilar`, setingkat dengan pilar lainnya, bukan hanya persoalan istilah, melainkan juga memiliki konsekuensi yuridis, politis (karena sebagai pilar, Pancasila dapat diubah), bahkan ideologis (karena jika ideologi suatu bangsa goyah, akan berakibat serius pada masa depan bangsa dan negara Indonesia).

Mengapa MPR, pemerintah, serta DPR malu dengan istilah Pancasila? Mengapa dalam program itu Pancasila tidak ditentukan secara eksplisit, ya barangkali malu dengan istilah Pancasila. Program sosialisasi Pancasila oleh MPR itu sangat mulia dan harus didukung segenap elemen bangsa, tetapi harus tetap memosisikan Pancasila sebagai philosophische grondslag (dasar filsafat negara), sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia.

Terkait dengan keputusan MK 3 April 2014 lalu, dasar yuridis nomenklatur empat pilar sudah tidak ada lagi sehingga jikalau program itu akan tetap dilaksanakan, harus dirumuskan terminologi yang relevan. Harus mengakhiri memosisikan Pancasila sebagai salah satu kategori (empat kategori) yang sama dengan tiga kategori lainnya. Mengapa harus empat kategori? Sebab banyak aspek yang layak untuk disosialisasikan, misalnya wawasan kebangsaan dan geopolitik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar