Pancasila
Dikubur Bangsa
Kaelan ; Guru Besar Pascasarjana Filsafat UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 16 April 2014
DALAM sejarah ketatanegaraan
Indonesia pada April 2014 ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan judicial review terhadap UU Parpol,
yaitu Pasal 34 ayat (3b) huruf a, UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol. MK memutuskan menghapuskan empat pilar,
dalam Pasal 34 ayat (3b), yang merupakan prakarsa MPR. Terkait dengan
keputusan MK 3 April 2014, nomenklatur empat pilar sudah tidak ada lagi dasar
yuridisnya.
MK memberikan putusan yang
sangat strategis dan adil karena bukan persoalan hanya istilah atau frasa,
melainkan memosisikan Pancasila setingkat dan sederajat dengan pilar UUD
1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang akan menimbulkan konsekuensi yang
serius, baik dalam penormaan hukum, eksistensi philosophische grondslag serta persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
Para pemohon yang
tergabung dalam Masyarakat Pengawal Pancasila Jogya, Solo, Semarang (MPP
Joglosemar) yang terdiri atas wartawan, dosen, mahasiswa, karyawan, dan unsur
masyarakat lainnya memosisikan diri sebagai elemen bangsa yang hanya
mendasarkan pada kecintaan terhadap bangsa dan negara, terutama ideologi
Pancasila. Mereka sangat menyadari kondisi bangsa dewasa ini, terutama
pascareformasi, yakni bangsa dan negara Indonesia semakin jauh dari
nilai-nilai Pancasila, yang telah dirumuskan para pendiri Republik ini dengan
mengorbankan jiwa dan raga.
Pascareformasi hampir 14
tahun Pancasila dikubur di bumi Indonesia oleh bangsanya sendiri sehingga
dapat dipahami internalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi terputus dan
bangsa Indonesia terombang-ambing kehilangan pandangan hidup bangsa, sebagai
suatu konsensus dan dasar filosofis negara. Dalam situasi kekosongan dan
kehampaan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kehadiran MPR
untuk membudayakan dan menyosialisasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara memang sangat mulia dan layak didukung seluruh rakyat
Indonesia. Namun, bukan memasyarakatkan pengetahuan yang salah, yaitu empat
pilar berbangsa dan bernegara, yang memosisikan Pancasila sebagai pilar
sederajat dengan pilar NKRI, UUD Negara Tahun 1945, pilar Bhinneka Tunggal
Ika.
Pancasila sebagaimana
termuat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Staatsfundamentalnorm
atau Grundnorm yang merupakan suatu
cita hukum, yang menurut Gustaf Radbruch (1878-1949), ahli filsafat hukum
mazhab Baden, memiliki fungsi regulatif dan fungsi konstitutif. Dengan fungsi
konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan
makna bagi hukum itu sendiri.
Demikian juga dengan
fungsi regulatifnya, Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu
sebagai produk yang adil atau tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm, Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi
(sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia, termasuk UUD Negara
Indonesia Tahun 1945 (Mahfud, 1999:59).
Dalam susunan peraturan
perundangan yang hierarkis itu Pancasila menjamin keserasian. Jikalau terjadi
ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu dengan lainnya yang
secara hierarkis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya,
hal itu berarti jika terjadi ketidaksesuaian, hal itu berarti terjadi suatu
inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan. Oleh karena itu, norma hukum yang
lebih rendah itu batal demi hukum (Mahfud,
1999:59).
Dalam sistem norma hukum
di Indonesia, keseluruhan sistem norma hukum Negara Kesatuan RI secara
keseluruhan merupakan suatu sistem yang hierarkis (berjenjang). Pancasila
sebagai dasar negara filsafat Indonesia dalam sistem norma hukum Indonesia
merupakan sumber karena merupakan (berkedudukan) sebagai norma dasar (Staatsfundamentalnorm), yang berturut-turut
kemudian Verfassungnorm UUD 1945, Grundgesetznorm atau ketetapan MPR,
serta Gesetznorm atau
undang-undang.
Staatsfundamentalnorm,
yang esensinya Pancasila, merupakan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD
1945. Konsekuensinya Pancasila merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan
pasalpasal dalam Verfassungnorm
atau UUD 1945. Aturan yang ada dalam Verfassungnorm,
atau UUD 1945, merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan
dalam Grundgesetznorm ketetapan MPR
dan juga sekaligus sumber dan dasar bagi pembentukan Gesetzesnorm atau UU. Hal itu disebabkan Grundgesetznorm ketetapan MPR itu juga merupakan aturan pokok
negara bagi pembentukan Gesetzesnorm
UU (Indrati, 2007:65 dan 66).
UU RI No 2/2011 tentang
Partai Politik ialah Gesetzesnorm,
yang harus mendasarkan pada asas kerohanian Pancasila sebagaimana terkandung
dalam Pembukaan UUD Tahun 1945. Suatu tertib hukum seharusnya bersumber pada Staatsfundamentalnorm yang esensinya
ialah Pancasila. Dengan lain perkataan, UU RI Nomor 2 Tahun 2011 harus
koheren dan konsisten dengan Staatsfundamentalnorm
yang di dalamnya terkandung Pancasila sebagai dasar filsafat negara
Indonesia.
Pasal 1 ayat (1) itu
koheren dan konsisten dengan Staatsfundamentalnorm,
tetapi dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b, tentang pendidikan politik berkaitan
dengan a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu
Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Jadi, dalam Pasal 1 ayat
(1) disebutkan sebagai dasar negara, sementara dalam Pasal 34 ayat (3) huruf
b, disebutkan bahwa Pancasila sebagai pilar berbangsa dan bernegara. Dengan b
demikian memosisikan ,Pancad i sebagai Pilar Berbangsa dan sila Bernegara`
akan berakibat pada kekacauan dan kerancuan sistem norma hukum di Indonesia.
Demikian pula posisi Pancasila
sebagai salah satu pilar mengandung konsekuensi secara yuridis dapat diubah
atau ditiadakan.
Hal itu mengakibatkan UU
Nomor 2 Tahun 2011 mengandung sistem norma hukum yang tidak koheren dan tidak
konsisten. Bahkan, bersifat kontradiktif secara internal, incoherence and inconsistent in itself.
Jadi, memosisikan
Pancasila sebagai salah satu pilar dalam empat pilar`, setingkat dengan pilar
lainnya, bukan hanya persoalan istilah, melainkan juga memiliki konsekuensi
yuridis, politis (karena sebagai pilar, Pancasila dapat diubah), bahkan
ideologis (karena jika ideologi suatu bangsa goyah, akan berakibat serius
pada masa depan bangsa dan negara Indonesia).
Mengapa MPR, pemerintah,
serta DPR malu dengan istilah Pancasila? Mengapa dalam program itu Pancasila
tidak ditentukan secara eksplisit, ya barangkali malu dengan istilah Pancasila.
Program sosialisasi Pancasila oleh MPR itu sangat mulia dan harus didukung
segenap elemen bangsa, tetapi harus tetap memosisikan Pancasila sebagai philosophische grondslag (dasar
filsafat negara), sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Terkait dengan keputusan
MK 3 April 2014 lalu, dasar yuridis nomenklatur empat pilar sudah tidak ada
lagi sehingga jikalau program itu akan tetap dilaksanakan, harus dirumuskan
terminologi yang relevan. Harus mengakhiri memosisikan Pancasila sebagai
salah satu kategori (empat kategori) yang sama dengan tiga kategori lainnya.
Mengapa harus empat kategori? Sebab banyak aspek yang layak untuk
disosialisasikan, misalnya wawasan kebangsaan dan geopolitik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar