Efek
Kekuatan Figur
Much Yulianto ; Dosen Komunikasi
Politik dan Manajemen Kampanye FISIP Undip, Tim sosialisasi pemilu dan
pilkada Pemprov Jateng
|
SUARA
MERDEKA, 12 April 2014
MENGONTEKSKAN
komunikasi politik dalam Pemilu 2014, kita melihat kemunculan efek perang
figur untuk mendongkrak elektabilitas partai. Hal itu sesungguhnya inheren
dalam penguatan kelembagaan partai melalui penokohan.
Respons
dan dukungan terhadap tokoh parpol merupakan hasil seleksi publik tentang
figur yang mereka nilai pantas memimpin masa depan negara ini. Mengingat
hukum demokrasi mensyaratkan penyelenggaraan pemilu dengan parpol sebagai
kontestan maka keinginan publik menyokong seseorang jadi pemimpin nasional
harus direalisasikan dengan memberi dukungan elektabilitas partai
pengusungnya.
Persoalan
menarik dalam pemilu Rabu lalu adalah posisi kekuatan efek figur amat
seimbang dan itu menjadi salah satu penyebab tak ada partai yang memenuhi
target suara.
Sebenarnya
ada hal penting terkait pemetaan posisi figure effect terhadap kemenangan
parpol, sekaligus untuk menghadapi Pilpres Juli 2014. Publik bisa mengamati
bahwa pengaruh ’’Jokowi effect’’ terhadap kemenangan PDIP dalam Pemilu 2014
jauh dari prediksi publik karena partai itu ternyata tak mampu mencapai
syarat dasar perolehan 20% suara.
Ada
beberapa penyebab, antara lain pertama; performance Jokowi saat dicapreskan
menjelang Pemilu 2014 amat berbeda dari saat pencalonannya sebagai gubernur
DKI Jakarta. Dulu, bekal keberhasilan Jokowi di Kota Solo menjadi magnet
politik yang digandrungi media, sekaligus warga DKI Jakarta yang mulai bosan
terhadap kepemimpinan lama.
Kedua;
pencapresan Jokowi yang diharapkan berefek positif bisa menggerakkan pilihan
publik, dalam perkembangannya berubah menjadi antiklimaks ketika dia kurang
meyakinkan dalam menyampaikan pesan politik ataupun visi bagi masa depan
Indonesia.
Ketiga;
kemenurunan ekspose media elektronik sejak dia dicapreskan memengaruhi
pembangunan opini publik yang bisa menjadi diskursus publik untuk mengetahui
kapasitasnya selaku pemimpin masa depan.
Keempat;
target komunikasi politik yang dibangun Jokowi masih jauh dari idealita
sasaran khalayak ataupun luasnya wilayah. Akibatnya Jokowi effect belum
merata ke seluruh pelosok, untuk mendongkrak elektabilitas partainya.
Kelima;
posisi Jokowi effect bagi kemenangan PDIP yang belum signifikan tersebut bisa
jadi akibat komunikasi politik yang masih datar, dan penyampaiannya mengenai
visi masa depan Indonesia belum mampu meyakinkan pemilih. Sebaliknya,
Gerindra amat menikmati Prabowo effect, yang sejak tahun 2009 diperkenalkan
sebagai capres dengan kelebihan pada kualitas kepemimpinan, visi, dan latar
belakangnya.
Kondisi
itu bisa merawat opini publik yang berorientasi pada upaya meciptakan
nominasi capres yang diharapkan. Iklan politik yang syarat visi kepemimpinan
dan mimpi masa depan Indonesia mampu meyakinkan publik sekaligus menepis isu
negatif yang menerpa Prabowo.
Memori Rindu
Selain
itu, perubahan gaya komunikasi politik setelah 2009 mengubah persepsi bahwa
Prabowo kini lebih bijak dan itu menjadi faktor yang ikut mengarahkan pilihan
publik kepada Gerindra sebagai pengusungnya. Posisi ketiga elektabilitas
Gerindra jelas menunjukkan peningkatan apresiasi dan dukungan terhadap
Prabowo.
Bila
berlanjut bisa jadi akan menemukan kulminasi politik positif dalam pilpres
mendatang. Gaya kepemimpinan, performance sekaligus tawaran visi kepemimpinan
Prabowo tentang martabat dan kemandirian bangsa seolah-olah menjadi antitesis
kepemimpinan SBYsaat ini.
Adapun
keminiman tokoh Golkar yang diharapkan memberikan efek positif guna
mendongkrak elektabilitas partai, menjadikan partai itu masih mengandalkan
Soeharto effect. Pesan kampanye ARB yang kerap menunjukkan kejayaan dan
keberhasilan Golkar semasa Orba terkait situasi sosial merupakan upaya
menciptakan memori rindu zaman Orba di bawah Golkar.
Materi
pesan kampanye itu adalah menjadikan kekecewaan sebagian masyarakat terhadap
kondisi saat ini sebagai desonansi, dan Golkar mengajukan tawaran konsonansi,
yakni kondisi yang menjanjikan kenyamanan, kesejahteraan, dan kedamaian
seperti pada era kejayaan partai zaman Pak Harto.
Meskipun
model kampanye seperti itu tidak mendidik mengingat pesan politiknya sangat
parsial dan membodohi, realitasnya pola itu masih berpengaruh terhadap mereka
yang mengidap inertia syndrome.
Sindrom
itu akan memunculkan sikap dan perilaku yang mendambakan hal-hal baik pada
masa lalu mengingat perubahan dan perbaikan yang dijanjikan saat reformasi
tak kunjung terwujud, bahkan kondisi terasa makin memburuk. Inilah yang
melatarbelakangi kemunculan slogan caleg Golkar, ’’Piye kabare, bro... isih penak jamanku to?”, dilengkapi foto
Pak Harto tersenyum dan lambang Partai Golkar.
Hasil pemilu
yang menunjukkan keseimbangan dan tidak maksimalnya posisi figure effect akan menjadikan pola
koalisi parpol pengusung capres beserta pasangan calon (cawapres) merupakan
faktor determinan dalam upaya memenangi Pilpres 9 Juli mendatang. Namun semua
itu kembali terpulang kepada mandat dari rakyat. Sekali lagi dalam demokrasi
berarti vox populi vox Dei. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar