Senin, 14 April 2014

Pemilu yang Rileks dan Mahal

Pemilu yang Rileks dan Mahal

Rhenald Kasali  ;   Guru Besar FEUI, Pendiri Rumah Perubahan
JAWA POS, 13 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Adakah hubungan antara animasi yang dibuat harian The Financial Times tentang pemilu yang paling kompleks dan paling mahal di dunia dengan temuan survei Ipsos bahwa Indonesia adalah negara yang penduduknya paling bahagia di dunia?

Mungkin mengorelasikan keduanya sama saja dengan mengorelasikan jumlah burung yang bersarang di suatu desa dengan angka kelahiran yang tinggi di desa itu. Tak ada hubungannya, tapi kok begitu adanya.

Realitasnya senang, maka kita bahagia. Senang karena mampu melaksanakan pemilu secara damai. Tak diperlukan lagi panser, kawat berduri, tentara, dan senjata seperti di era orde baru. Juga tak ada kerusuhan atau rasa takut.

Untuk itu, kita patut memberikan apresiasi kepada kita semua, bukan kepada Amerika atau Uni Eropa. Skor kebahagiaan kita ditemukan Ipsos tertinggi, 51 persen, jauh di atas Tiongkok (19 persen), India (43 persen), atau Jepang (16 persen).

Meski begitu, ada beberapa catatan yang perlu kita renungkan. Pertama, benar kata Financial Times. Sistem pemilu kita ribet sehingga amat mahal, Rp 17 triliun (2014). Ditambah belanja parpol, caleg, serta capres dan cawapresnya, menurut perkiraan Bank Indonesia (BI), angkanya mencapai Rp 44,1 triliun, lebih mahal 10 persen ketimbang 2009.

Catatan kedua saya, pemilu ternyata punya peran penting bagi perekonomian. Menurut BI, belanja pemilu sejak 2013 hingga 2014 masing-masing mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 0,13 persen dan 0,19 persen.

Meski begitu, daya dorong itu mulai mengendur. Pada 2008 dan 2009, masing-masing mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,23 persen dan 0,26 persen.

Catatan ketiga, meskipun anggarannya meningkat, ternyata kita masih menghadapi masalah distribusi sehingga masih ada daerah yang pelaksanaan pemilunya tertunda.

Catatan keempat, saya menangkap fenomena menguatnya peran masyarakat untuk mendapatkan wakil-wakil rakyat yang relatif lebih bersih. Misalnya, www.bersih2014.net, www.jariungu.com, dan www.matamassa.org yang bisa diakses via media sosial. Masyarakat yang menemukan kecurangan pun bisa melapor ke website itu.

Akhirnya, ternyata masyarakat kita menjalani pemilu dengan sangat santai. Itu terjadi baik di kalangan pemilih maupun panitia penyelenggara pemilu. Misalnya, setelah mencoblos, mereka tidak ragu bercerita tentang pilihan politik masing-masing. Ada yang mengaku memilih partai A, tapi nanti akan pilih capres dari partai B. Alasannya, supaya nanti ada keseimbangan dan kontrol yang kuat. Tapi, ada juga yang sebaliknya dengan alasan pemerintahan ke depan harus kuat.

Tapi, apa pun alasannya, kali ini rakyat benar-benar rileks, tertawanya lebih lepas. Pilihan politik boleh diperdebatkan, tapi tidak dipaksakan sehingga di Pandaan, Pasuruan, kita bisa menyaksikan suasana di TPS bak pernikahan. Bahkan, pemilih yang datang diberi sajian sarapan gratis. Di salah satu kabupaten di Solo, Jawa Tengah, panitia memakai kostum sepak bola. Katanya, sekaligus untuk menyambut Piala Dunia 2014.

Semua itu sungguh menggambarkan betapa rileksnya masyarakat dalam pemilu. Padahal, sejatinya saat itu mereka tengah menghukum partai-partai yang tak mampu mengemban amanah atas kepercayaan yang mereka berikan lima tahun lalu. Tapi, mereka menghukum tanpa harus marah-marah.

Hasilnya, dari hasil hitung cepat (quick count), kita tahu partai-partai mana saja yang perolehan suaranya terpuruk. Sebagai bangsa pembelajar, kita tentu bisa mengambil banyak manfaat, evaluasi, dan tentu saja selalu ada ruang bagi perubahan. Dan sudah barang tentu, demokrasi tak boleh merampas kebahagiaan yang dirasakan oleh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar