Pemilu
yang Rileks dan Mahal
Rhenald Kasali ; Guru
Besar FEUI, Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 13 April 2014
Adakah
hubungan antara animasi yang dibuat harian The Financial Times tentang pemilu
yang paling kompleks dan paling mahal di dunia dengan temuan survei Ipsos bahwa Indonesia adalah negara yang
penduduknya paling bahagia di dunia?
Mungkin
mengorelasikan keduanya sama saja dengan mengorelasikan jumlah burung yang
bersarang di suatu desa dengan angka kelahiran yang tinggi di desa itu. Tak
ada hubungannya, tapi kok begitu adanya.
Realitasnya
senang, maka kita bahagia. Senang karena mampu melaksanakan pemilu secara
damai. Tak diperlukan lagi panser, kawat berduri, tentara, dan senjata
seperti di era orde baru. Juga tak ada kerusuhan atau rasa takut.
Untuk
itu, kita patut memberikan apresiasi kepada kita semua, bukan kepada Amerika
atau Uni Eropa. Skor kebahagiaan kita ditemukan
Ipsos tertinggi, 51 persen, jauh di atas Tiongkok (19 persen), India (43
persen), atau Jepang (16 persen).
Meski
begitu, ada beberapa catatan yang perlu kita renungkan. Pertama, benar kata
Financial Times. Sistem pemilu kita ribet sehingga amat mahal, Rp 17 triliun
(2014). Ditambah belanja parpol, caleg, serta capres dan cawapresnya, menurut
perkiraan Bank Indonesia (BI), angkanya mencapai Rp 44,1 triliun, lebih mahal
10 persen ketimbang 2009.
Catatan
kedua saya, pemilu ternyata punya peran penting bagi perekonomian. Menurut
BI, belanja pemilu sejak 2013 hingga 2014 masing-masing mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi hingga 0,13 persen dan 0,19 persen.
Meski
begitu, daya dorong itu mulai mengendur. Pada 2008 dan 2009, masing-masing
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,23 persen dan 0,26 persen.
Catatan
ketiga, meskipun anggarannya meningkat, ternyata kita masih menghadapi
masalah distribusi sehingga masih ada daerah yang pelaksanaan pemilunya
tertunda.
Catatan
keempat, saya menangkap fenomena menguatnya peran masyarakat untuk mendapatkan
wakil-wakil rakyat yang relatif lebih bersih. Misalnya, www.bersih2014.net,
www.jariungu.com, dan www.matamassa.org yang bisa diakses via media sosial.
Masyarakat yang menemukan kecurangan pun bisa melapor ke website itu.
Akhirnya,
ternyata masyarakat kita menjalani pemilu dengan sangat santai. Itu terjadi
baik di kalangan pemilih maupun panitia penyelenggara pemilu. Misalnya,
setelah mencoblos, mereka tidak ragu bercerita tentang pilihan politik
masing-masing. Ada yang mengaku memilih partai A, tapi nanti akan pilih
capres dari partai B. Alasannya, supaya nanti ada keseimbangan dan kontrol
yang kuat. Tapi, ada juga yang sebaliknya dengan alasan pemerintahan ke depan
harus kuat.
Tapi,
apa pun alasannya, kali ini rakyat benar-benar rileks, tertawanya lebih
lepas. Pilihan politik boleh diperdebatkan, tapi tidak dipaksakan sehingga di
Pandaan, Pasuruan, kita bisa menyaksikan suasana di TPS bak pernikahan.
Bahkan, pemilih yang datang diberi sajian sarapan gratis. Di salah satu
kabupaten di Solo, Jawa Tengah, panitia memakai kostum sepak bola. Katanya,
sekaligus untuk menyambut Piala Dunia 2014.
Semua
itu sungguh menggambarkan betapa rileksnya masyarakat dalam pemilu. Padahal,
sejatinya saat itu mereka tengah menghukum partai-partai yang tak mampu
mengemban amanah atas kepercayaan yang mereka berikan lima tahun lalu. Tapi,
mereka menghukum tanpa harus marah-marah.
Hasilnya,
dari hasil hitung cepat (quick count),
kita tahu partai-partai mana saja yang perolehan suaranya terpuruk. Sebagai
bangsa pembelajar, kita tentu bisa mengambil banyak manfaat, evaluasi, dan
tentu saja selalu ada ruang bagi perubahan. Dan sudah barang tentu, demokrasi
tak boleh merampas kebahagiaan yang dirasakan oleh rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar