Langkanya
Integritas di Bumi Pertiwi
Desi Yoanita ; Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UK Petra
|
JAWA
POS, 18 April 2014
SAYA
percaya, lembaga pertama yang bertanggungjawab mengajarkan integritas adalah
keluarga. Selanjutnya tentu adalah lembaga pendidikan; sekolah, perguruan
tinggi. Namun, sayangnya, potret yang tergambar di negeri ini tidaklah
demikian.
Integritas
adalah barang langka, bahkan di lembaga pendidikan. Pelaksanaan ujian
nasional (unas) adalah buktinya. Jauh hari sebelum unas dilaksanakan, isu
kebocoran soal, peredaran kunci jawaban, dan kemunculan joki-joki sudah
menjadi bahan berita di media massa.
Pada hari
pelaksanaan unas, fenomenanya menjadi semakin luar biasa. Polisi berjaga di
beberapa sekolah. Siswa harus mengumpulkan barang-barang mereka di depan
kelas. Guru pengawas dilarang membawa handphone,
bahkan tidak boleh membaca soal ujian. Semua aturan tersebut dibuat untuk
menghindari kemungkinan kecurangan dari semua lini. Come on, ini ''hanyalah'' ujian kelulusan sekolah. Bukan tindak
terorisme atau makar. Kita hanya ''menghadapi'' guru dan siswa, bukan maling
atau koruptor. Bagi saya, semua itu sangat menggelikan.
Jika
lembaga pendidikan memang mengajarkan integritas, perlukah tindakan-tindakan
berlebihan di atas dilakukan? Atau mungkin, nilai luhur kejujuran memang
sudah sangat langka di negeri ini. Sungguh ironis, kita bahkan harus
mencurigai lembaga yang seharusnya menanamkan nilai tersebut. Jika lembaga
pendidikan sudah kehilangan integritas, apa yang bisa kita harapkan dari
tempat lain? Jika siswa dan guru tidak dipercaya dan tidak saling percaya,
siapa yang bisa kita percayai?
Tapi,
kenyataannya, pelanggaran memang ditemukan di sana sini. Bahkan, hingga hari
kedua pelaksanaan unas SMA, pelanggaran tercatat meningkat dari periode yang
sama pada tahun sebelumnya (Jawa Pos, 16/5/2014). Semakin ketat aturan dibuat
semakin cerdik dan kreatif manusia untuk mengakali.
Saya
memimpikan suatu saat kita bisa melaksanakan ujian tanpa guru pengawas.
Mengapa? Tentu karena siswa sudah sadar betul akan nilai kejujuran.
Integritas diimplementasikan tanpa tekanan skors, ketidaklulusan, atau
dikeluarkan dari sekolah. Oprah Winfrey pernah berkata, ''Real integrity is doing the right thing, knowing that nobody's
going to know whether you did it or not.''
Saya
memimpikan suatu saat siswa paham betul esensi ujian. Belajar keras tanpa
peduli godaan bocoran soal atau kunci jawaban. Sadar, ''asal lulus'' tidak akan berdampak positif untuk masa depan yang
masih terbentang panjang di depan.
Saya
memimpikan sekolah-sekolah tidak dibutakan dengan tuntutan lulus 100 persen
sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai target itu. Bagi saya, yang
lebih penting dipikirkan secara serius oleh sekolah-sekolah adalah bagaimana
siswanya 100 persen jujur dalam menghadapi unas. Itu adalah tolok ukur
keberhasilan sekolah tersebut menjalankan fungsinya sebagai lembaga
pendidikan. John F. Kennedy pernah berujar, ''The goal of education is the advancement of knowledge and the
dissemination of truth.'' Lembaga pendidikan tidak hanya bertanggung
jawab memajukan ilmu pengetahuan, namun juga berperan besar menyebarkan
kebenaran di tengah-tengah bangsa ini.
Sudah
bertahun-tahun unas menjadi salah satu polemik di dunia pendidikan. Menurut
saya, penyetaraan ujian secara nasional adalah absurd. Sedangkan pemerataan
SDM (sumber daya manusia, Red) pengajar dan fasilitas saja belum berhasil
dilaksanakan. Tentu ini akan berdampak kepada materi ajar yang disampaikan.
Jadi bagaimana mungkin seluruh siswa setanah air diuji dengan materi yang
setara? Dengan fakta tersebut, sekolah dituntut untuk mencapai tingkat
kelulusan 100 persen. Jika tidak, sekolah itu akan tidak laku.
Tuntutan
berlebih itulah yang kemudian mendorong suburnya kecurangan-kecurangan dari
berbagai elemen di lembaga pendidikan. Saya mencoba berpikir sederhana.
Mengapa sistem ujian kelulusan dan penerimaan siswa tidak bersifat
desentralisasi? Sekolah yang mendidik siswa itulah yang berhak menyatakan
lulus tidaknya mereka. Lalu sekolah jenjang berikutnya jugalah yang berhak
menyatakan siswa tersebut layak diterima atau tidak.
Mungkin
-sekali lagi, hanya mungkin- dengan desentralisasi peluang kecurangan bisa
diminimalkan. Masa depan bangsa ini ditentukan generasi yang saat ini
menghadapi unas. Lembaga pendidikan punya peran dalam membentuk integritas
mereka. Tentu sayang sekali jika sistem dalam lembaga itu justru berpeluang
mencetak sumber daya manusia yang korup sejak dini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar