Sabtu, 12 April 2014

Pemilu dan Patronase Birokrasi

Pemilu dan Patronase Birokrasi

Anggun Trisnanto  ;   Dosen Universitas Brawijaya
TEMPO.CO, 11 April 2014

                                                                                         
                                                             
Dalam banyak hal, negara-negara Asia Timur yang telah maju, semisal Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, adalah contoh state building yang dikemudikan dengan model pembangunan negara (developmental state) dan didukung penuh oleh birokrasi yang profesional (lihat contoh developmental state model Jepang). Indonesia, kebalikannya, birokrasi pemerintah sering diidentikkan dengan konotasi negatif, seperti lamban, tambun, korup, dan nepotis. Bagaimana kondisinya sekarang?

Penelitian pada 2013 oleh Blunt et al menyibak fakta bahwa politik patronase dan klientilisme masih kental di Tanah Air. Parahnya, praktek-praktek ini muncul di birokrasi Indonesia, walaupun signifikansinya berbeda di level kementerian dan di level pemerintah daerah. Reformasi birokrasi yang diinginkan oleh dunia internasional tidak serta-merta bisa dilakukan. Banyak lembaga donor berasumsi bahwa reformasi neoliberal dengan agenda liberalisasi ekonomi, tata kelola pemerintahan, dan privatisasi akan mengikis praktek-praktek patronase dan klientilisme. Nyatanya tidak!

Jauh panggang dari api; faktanya, dua agenda ini malah menguatkan satu sama lain. Reformasi neoliberal dan patronase bisa berlenggang mulus di arena pemerintahan Indonesia (Aspinall 2013). Proses pengadaan barang yang tidak transparan dan "proyek" pembangunan adalah sumber pendapatan illegal bagi birokrat. Dalam bahasa Aspinall, birokrat sibuk untuk memburu "proyek". Dualisme inilah yang dikategorikan oleh banyak academia sebagai neopatrimonialisme. Di satu sisi adalah sistem legal rasional, sedangkan di sisi lainnya adalah hubungan patron-client. Proyek diidentikkan dengan upaya birokrat dengan menggunakan posisinya di pemerintahan untuk mengambil keuntungan pribadi dari program pemerintah.

Fakta ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa berat bagi siapa pun presiden Indonesia pada Oktober 2014. Dengan melihat profil masing-masing capres dan partai pengusungnya, tulisan ini cukup pesimistis untuk melihat prospek Indonesia ke depan. Patrimonial dalam banyak hal adalah hubungan simbiosis patron-client yang terbentuk dengan memberikan pertukaran keuntungan bagi patron dan client. Masing-masing mendapatkan keuntungan dari hubungan ini. Hampir semua partai politik di Indonesia masih menggaungkan nama-nama dan bukan program-program.

Memilih nama-nama itu setidaknya akan melegitimasi keberlanjutan patronase di republik ini. Ekses sistem patronase ini bisa dijumpai dalam beberapa bentuk misalnya adalah perburuan rente dan korupsi. Rente dalam ekonomi dikenal sebagai sumbatan utama yang mengakibatkan naiknya ongkos transaksi dan mengasimetrikan informasi. Demikian juga korupsi. Dalam terminologi patrimonial, korupsi adalah penggunaan aset negara untuk kepentingan pribadi dan atau golongan. Melegitimasi patronase akan sama halnya dengan memuluskan praktek perburuan rente dan korupsi.

Menelisik kembali hasil perolehan suara sementara yang masih menempatkan partai politik dengan sistem patronase, kita bisa berasumsi bahwa akan butuh waktu dan kesabaran lebih untuk melihat korupsi dan perburuan rente hilang dari Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar