Pemilu
dan Patronase Birokrasi
Anggun Trisnanto ; Dosen Universitas
Brawijaya
|
TEMPO.CO,
11 April 2014
Dalam
banyak hal, negara-negara Asia Timur yang telah maju, semisal Jepang, Korea
Selatan, dan Taiwan, adalah contoh state building yang dikemudikan dengan
model pembangunan negara (developmental state) dan didukung penuh oleh
birokrasi yang profesional (lihat contoh developmental state model Jepang).
Indonesia, kebalikannya, birokrasi pemerintah sering diidentikkan dengan
konotasi negatif, seperti lamban, tambun, korup, dan nepotis. Bagaimana
kondisinya sekarang?
Penelitian
pada 2013 oleh Blunt et al menyibak fakta bahwa politik patronase dan
klientilisme masih kental di Tanah Air. Parahnya, praktek-praktek ini muncul
di birokrasi Indonesia, walaupun signifikansinya berbeda di level kementerian
dan di level pemerintah daerah. Reformasi birokrasi yang diinginkan oleh
dunia internasional tidak serta-merta bisa dilakukan. Banyak lembaga donor
berasumsi bahwa reformasi neoliberal dengan agenda liberalisasi ekonomi, tata
kelola pemerintahan, dan privatisasi akan mengikis praktek-praktek patronase
dan klientilisme. Nyatanya tidak!
Jauh
panggang dari api; faktanya, dua agenda ini malah menguatkan satu sama lain.
Reformasi neoliberal dan patronase bisa berlenggang mulus di arena
pemerintahan Indonesia (Aspinall 2013). Proses pengadaan barang yang tidak
transparan dan "proyek" pembangunan adalah sumber pendapatan
illegal bagi birokrat. Dalam bahasa Aspinall, birokrat sibuk untuk memburu
"proyek". Dualisme inilah yang dikategorikan oleh banyak academia
sebagai neopatrimonialisme. Di satu sisi adalah sistem legal rasional,
sedangkan di sisi lainnya adalah hubungan patron-client. Proyek diidentikkan
dengan upaya birokrat dengan menggunakan posisinya di pemerintahan untuk
mengambil keuntungan pribadi dari program pemerintah.
Fakta
ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa berat bagi siapa pun
presiden Indonesia pada Oktober 2014. Dengan melihat profil masing-masing
capres dan partai pengusungnya, tulisan ini cukup pesimistis untuk melihat
prospek Indonesia ke depan. Patrimonial dalam banyak hal adalah hubungan
simbiosis patron-client yang terbentuk dengan memberikan pertukaran
keuntungan bagi patron dan client. Masing-masing mendapatkan keuntungan dari
hubungan ini. Hampir semua partai politik di Indonesia masih menggaungkan
nama-nama dan bukan program-program.
Memilih
nama-nama itu setidaknya akan melegitimasi keberlanjutan patronase di
republik ini. Ekses sistem patronase ini bisa dijumpai dalam beberapa bentuk
misalnya adalah perburuan rente dan korupsi. Rente dalam ekonomi dikenal
sebagai sumbatan utama yang mengakibatkan naiknya ongkos transaksi dan
mengasimetrikan informasi. Demikian juga korupsi. Dalam terminologi
patrimonial, korupsi adalah penggunaan aset negara untuk kepentingan pribadi
dan atau golongan. Melegitimasi patronase akan sama halnya dengan memuluskan
praktek perburuan rente dan korupsi.
Menelisik
kembali hasil perolehan suara sementara yang masih menempatkan partai politik
dengan sistem patronase, kita bisa berasumsi bahwa akan butuh waktu dan
kesabaran lebih untuk melihat korupsi dan perburuan rente hilang dari
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar