Efek
Jokowi?
Arya Budi ; Peneliti pada
Pol-Tracking Institute
|
TEMPO.CO,
11 April 2014
Pada
awalnya, elektabilitas Jokowi dalam survei menembus 30 persen. Bahkan, sejauh
riwayat survei, pengolahan simulasi "Pencapresan
Jokowi" terhadap pilihan partai berhasil mendongkrak PDIP menembus
angka elektabilitas 30 persen, termasuk pada survei Pol-Tracking bulan
Desember 2013. Namun PDIP hanya sampai pada angka 19 persen suara di berbagai
hitung cepat (quick count).
Pengolahan
simulasi inilah yang kemudian menjadi pembicaraan publik secara luas dan
elite politik soal efek Jokowi terhadap pilihan pemilih yang didominasi swing voters sebesar 70-80 persen dari
total 186 juta pemilih. Hasilnya, prediksi dan ekspektasi publik/elite atas
Jokowi terhadap PDIP melalui hasil beberapa survei berbeda dengan hasil
hitung cepat yang bahkan masih kalah dibanding SBY Effect yang menaikkan PD menembus 20 persen walaupun tipis.
Jika dibandingkan antara partai dan rentang pemilu, PD naik hampir tiga kali
lipat dari 7 persen pada 2004 menjadi 20,8 persen pada 2009. Sedangkan PDIP
naik tak sampai setengah (50 persen) kali lipat dari 14 persen pada 2009
menjadi 19 persen pada 2014. Ada beberapa alasan yang menjelaskan efek Jokowi
sangat lemah bagi PDIP.
Pertama,
survei versus pemungutan suara. Harus diketahui bahwa ada alasan metodologis
kenapa Jokowi seolah-olah berefek besar bagi PDIP dalam berbagai survei.
Dalam survei, pemilih (responden) didatangi oleh surveyor. Sedangkan dalam
pemungutan suara, pemilih datang ke TPS. Artinya, ada angka pemilih yang
memilih PDIP pada saat survei, tapi tidak datang ke TPS alias tidak memberikan
suara. Pada pertanyaan survei untuk menguji faktor Jokowi, orang menjawab
pilihan partai (PDIP) karena ada pertanyaan "Jika Jokowi menjadi capres…". Sedangkan dalam
pemungutan suara, pemilih hanya dihadapkan pada lembar surat suara partai
dengan daftar caleg. Tidak ada variabel Jokowi sama sekali, baik verbal
maupun tertulis/cetak. Terakhir survei dilaksanakan beberapa hari atau minggu
sebelum pemilihan legislatif, sementara banyak pemilih yang belum menentukan
pilihan dengan kisaran angka "tidak
tahu/tidak jawab" 20-30 persen. Artinya, ada potensi distribusi
sumbangan suara ke beberapa partai dari jumlah respons yang belum menentukan
pilihan (undecided voters).
Kedua,
ambiguitas internal PDIP soal deklarasi Jokowi sebagai capres. Jokowi "dideklarasikan" atau
dimandatkan oleh partai (baca: Megawati) dua hari sebelum kampanye terbuka
pada 16 Maret 2014 di tengah-tengah kesimpangsiuran capres PDIP yang masih
belum pasti antara Mega atau Jokowi. Hal ini berbeda dengan Aburizal dan
Prabowo yang, seolah, tanpa deklarasi pun, publik sudah tahu mereka capres
dari Golkar dan Gerindra.
Ada
ambiguitas politik mengenai waktu atau timing deklarasi Jokowi oleh Mega.
Deklarasi pada dua hari menjelang kampanye terbuka bisa dilihat sebagai
sebuah keterlambatan ketika partai lain secara jelas
"mendeklarasikan" atau menyatakan capres masing-masing. Tentu
karena PDIP juga mempunyai dualisme politik di tengah status quo yang kuat
oleh Mega dan Jokowi sebagai emerging
figure. Di sisi lain, pencapresan Jokowi disambut setengah hati oleh
segenap kepengurusan PDIP, bahkan bisa jadi oleh Megawati sendiri. Akhirnya
Jokowi tidak tereksplorasi sebagai capres PDIP dengan karakteristik platform
partai dan karakter personalnya. Yang muncul kemudian di berbagai iklan
kampanye adalah penguatan figur Puan Maharani dan Megawati sendiri.
Ketiga,
gempuran politik terhadap Jokowi dan Megawati. Deklarasi Jokowi tiga minggu
sebelum pileg juga mengakibatkan blunder politik tersendiri bagi PDIP, karena
PDIP-Jokowi seolah menjadi musuh bersama. Hasilnya, serangan muncul dari
banyak sudut terhadap figur Jokowi dengan mengasosiasikannya sebagai
pelaksana tugas/mandat, bukan capres-kalau tidak disebut "capres boneka". Serangan juga akhirnya menyasar
Megawati selama kepemimpinannya sebagai presiden soal aset negara.
Keempat,
kerja mesin partai. Mesin partai meliputi skill atau strategi, jaringan (links), dan sumber daya logistis (resource) partai. Sebagai
perbandingan, meroketnya PD dari 7 persen pada 2004 menjadi 20,8 persen
(hampir tiga kali lipat) pada 2009 terjadi karena terciptanya banyak
jaringan, seperti aktivis (sebagai misal bergabungnya AU sebagai mantan Ketum
PB HMI), purnawirawan militer yang terhimpun ke dalam tim-tim kerja kampanye,
serta pengusaha sebagai pengepul logistik partai. Kini kemewahan itu tidak
lagi dinikmati PD. Adapun PDIP sebagai partai senior mempunyai sejarah
politik yang kurang "akrab" dengan militer dan beberapa pengusaha,
sehingga hal ini tidak bisa memaksimalkan link
dan resource dari pembilahan
elite-sosial itu. Tidak maksimalnya efek Jokowi terhadap PDIP juga terjadi
lantaran Jokowi adiktif bagi para caleg PDIP, sehingga caleg merasa cukup
aman hanya dengan "memasang
gambar" Jokowi.
Terakhir,
sejauh ini Jokowi belum mengeluarkan gagasan kebangsaannya atau rumusan
platform kebijakan yang disusun partai, seperti Enam Agenda Pokok oleh Prabowo-Gerindra atau Negara Kesejahteraan 2045 oleh ARB-Golkar. Kita tunggu apakah ada gagasan dan program kebijakan
Jokowi-PDIP untuk negeri ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar