Pembangunan
yang Menyejahterakan
Nunung Nuryantono ; Ketua Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi IPB
|
TEMPO.CO,
17 April 2014
Fokus
penting dalam setiap kebijakan ekonomi adalah upaya untuk memacu pertumbuhan
seoptimal mungkin agar mampu menyejahterakan rakyat. Secara simultan juga
mengeliminasi berbagai persoalan yang muncul, seperti kemiskinan dan
pengangguran.
Dogma
tersebut sejatinya dimaknai, terutama oleh kalangan pengambil keputusan,
bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat tidak berarti
kemiskinan akan hilang begitu saja. Pertumbuhan ekonomi tanpa pengelolaan
yang memadai memunculkan persoalan serius lainnya, yaitu ketimpangan.
Seperti
dilansir Dana Moneter Internasional (IMF) dalam research paper Februari 2014 yang bertajuk "2014 Redistribution Inequality and Growth",
ketimpangan merupakan sesuatu yang membahayakan pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi. Apakah peringatan IMF ini sebagai kesadaran yang terlambat?
Jika
menengok berbagai literatur dan hasil kajian yang dilakukan oleh berbagai
scholar, peringatan itu merupakan sinyal yang telat. Sudah begitu lama banyak
negara mengacu pada paradigma "Konsensus Washington" yang lebih
menekankan aspek pertumbuhan. Namun akhirnya harus menyadari kesalahannya
yang abai terhadap proses redistribusi. Sebut saja Bourguignon (2001), yang
menyimpulkan bahwa ketimpangan membahayakan upaya penurunan penduduk miskin
secara nyata.
Dalam
Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 secara tegas
disebutkan, agenda pertama adalah pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan rakyat. Ukuran yang acap digunakan adalah pendapatan per
kapita.
Dari
sudut pandang tersebut, Indonesia memang telah masuk kelas middle income country dengan tingkat
pendapatan per kapita pada 2013 mencapai US$ 1.731 atau setara US$ 4.875 PPP
(World Development Indicator 2014).
Cukupkah hal ini menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia?
Pasalnya,
tingkat ketimpangan pendapatan (Gini Ratio) selama lima tahun terakhir ini
yang semakin meningkat, dari sekitar 0,37 menjadi 0,41. Hal ini menunjukkan,
pertumbuhan ekonomi yang tidak terdistribusi secara merata akan mengakibatkan
jurang pemisah yang semakin dalam antarkelas masyarakat.
Pada
2013, angka kemiskinan poverty
headcount masih 11,37 persen, jauh dari target pemerintah, yang 9,5
persen. Memang ada penurunan, tapi lajunya tidak sejalan dengan rumusan yang
telah ditetapkan pemerintah. Lebih memprihatinkan lagi, adanya kenaikan angka
kedalaman kemiskinan yang bermakna kondisi penduduk miskin semakin jauh di
bawah garis kemiskinan. Begitu pun tingkat keparahan kemiskinan, yang juga
meningkat. Hal ini dimaknai bahwa perbedaan tingkat pendapatan antarkelompok
masyarakat miskin semakin lebar.
Ketiga
indikator tersebut semakin memperkuat argumen bahwa proses pembangunan yang
tidak terdistribusi secara baik mengakibatkan masyarakat makin terpuruk.
Khususnya kelompok di bawah garis kemiskinan.
Saat
ini, mayoritas penduduk miskin berada di pedesaan dan wilayah pesisir, yang
mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan. Sedangkan karakteristik
perekonomian Indonesia tidak lain adalah dualistik ekonomi, yaitu
berdampingannya petani-petani gurem (landless
farmers) yang hanya menguasai lahan sawah sekitar 0,39 hektare (sensus
pertanian 2013) dihadapkan pada perkebunan besar yang rata-rata luas lahannya
mencapai ribuan hektare.
Selain
itu, usaha mikro-kecil yang jumlahnya jutaan unit berhadapan dengan usaha
besar yang hanya ratusan. Namun skala usaha besar lebih mampu mengakses
berbagai sumber daya secara lebih baik (modal, teknologi, pasar). Jika hal
ini terus dibiarkan tanpa ada intervensi nyata dari pemerintah, pertumbuhan
ekonomi hanya akan menciptakan ketimpangan yang semakin parah. Kualitas
pertumbuhan ekonomi pun makin buruk.
Pembangunan
pedesaan harus menjadi prioritas, dan salah satu fokus utamanya pembangunan
sektor pertanian yang terintegrasi kuat dengan industri. Dengan begitu,
berbagai nilai tambah dapat dinikmati langsung oleh para pelaku khususnya
petani.
Hasil
studi (Suparto, Nuryartono, dan Waluyadi, 2011) menunjukkan bahwa pembangunan
sektor pertanian akan memberikan efek pengurangan penduduk miskin yang signifikan,
sekaligus meningkatkan proses distribusi pendapatan yang lebih baik.
Pemerintah harus secara jelas mampu menyebarkan pembangunan. Tidak hanya
berfokus di kawasan Barat, tapi juga kawasan timur Indonesia.
Koreksi
kesalahan dalam strategi pembangunan demi distribusi pendapatan yang lebih
merata harus segera dilakukan. Hal ini memerlukan komitmen kuat dan visi yang
jelas ke depan. Berbagai anggaran pemerintah dapat diarahkan untuk mencapai
pembangunan yang benar-benar menyejahterakan.
Cita-cita
para founding fathers Indonesia
adalah negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya tanpa terkecuali. Karena
itu, siapa pun yang memimpin Indonesia lima tahun ke depan harus mampu
mengemban amanah dan cita-cita luhur berdirinya bangsa Indonesia dan menjaga
keutuhan NKRI menuju negara yang menyejahterakan. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar