Serba
Cepat
Iwel Sastra ; Komedian
|
TEMPO.CO,
17 April 2014
Saya
selalu tersenyum saat membaca kembali anekdot tentang seorang pria tua yang
setiap kali naik kereta memilih tempat duduk di gerbong paling depan.
Alasannya agar sampai duluan. Saya juga masih geli sendiri mengingat anekdot
tentang orang kaya super-pelit yang tidak mau naik kereta shinkansen-kereta
berkecepatan tinggi di Jepang. Alasannya rugi bayar mahal, karena baru duduk
sudah sampai. Anekdot-anekdot ini menggambarkan bahwa untuk cepat sampai di
tujuan oleh setiap orang dimaknai berbeda, sehingga melahirkan strategi yang
berbeda pula.
Saat ini
kita hidup di zaman serba cepat. Bukan hanya bidang transportasi seperti
anekdot di atas, tapi juga pada bidang informasi hingga makanan cepat saji.
Berita kehidupan rumah tangga selebritas yang kurang harmonis cepat sampai ke
telinga kita. Kecepatan informasi ini membuat saya mau enggak mau jadi tahu
bahwa Bopak Costello akan bercerai dengan istrinya. Kenapa saya harus tahu?
Padahal Bopak sendiri tidak tahu bahwa saya tahu dia akan bercerai. Makanan
cepat saji semakin menjadi pilihan di tengah makin tingginya kesibukan
masyarakat urban. Saya tidak terlalu suka makanan cepat saji, saya lebih suka
makanan yang cepat dibayarin.
Segala
yang serba cepat ini menular ke ranah politik. Pemenang pemilu telah terlebih
dulu ditentukan oleh hasil hitung cepat. Padahal saat ini masih tersisa
berbagai persoalan pemilu. Petinggi partai politik sudah tidak peduli
mengenai adanya sejumlah surat suara yang tertukar, sehingga harus dilakukan
pemilu ulang di beberapa tempat pemungutan suara. Hasil hitung cepat sejumlah
lembaga survei dianggap cukup sebagai dasar untuk melakukan koalisi secara
cepat. Seakan "hitung lambat" yang dilakukan KPU, yang merupakan
hasil hitung resmi, menjadi tidak penting lagi.
Ada
beberapa faktor penyebab politik Indonesia masuk ke era serba cepat. Pertama,
karena rakyat ingin segera merasakan perubahan. Sepertinya selama ini rakyat
merasa perubahan berjalan lamban. Kondisi bangsa semakin terpuruk, sehingga
peralihan tampuk pimpinan nasional harus disiapkan dengan cepat untuk
percepatan perubahan. Kedua, elite politik ibarat anak kecil yang sedang
antre permainan di taman bermain, sudah tidak sabar gantian untuk ikut
merasakan permainan kuda-kudaan. Apalagi yang merasa dirinya berada di
antrean paling depan, merasa lebih pantas untuk menaiki kuda-kudaan lebih
dulu.
Dalam
hal perasaan, bangsa kita sudah lebih cepat lagi menganut paham serba cepat.
Cepat suka, cepat benci. Sepuluh tahun yang lalu, rasa suka dengan cepat
tertuju kepada Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu maju sebagai calon
presiden. Rasa suka itu pun dengan cepat berbalik arah di tengah jalan. Sekarang
Jokowi dan Prabowo, yang disebut sebagai calon kuat calon presiden sama-sama
menggunakan prinsip siapa cepat dia dapat, untuk mendapatkan rasa suka
rakyat. Isu-isu yang saling menjatuhkan beredar dengan sangat cepat.
Bagaimanapun,
sekarang kita hidup di zaman serba cepat. Ketertinggalan dari negara
tetangga, seperti Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam, membuat rakyat sudah
tidak sabar untuk merasakan perubahan dengan cepat. Meski semuanya sekarang
serba cepat, saya yakin prinsip serba cepat ini tidak disukai oleh pengantin
baru. Bahkan pengantin baru punya prinsip, makin lama makin baik. Jangan
mikir yang aneh-aneh dulu, maksudnya tentu pengantin baru ingin rumah tangga
mereka bertahan lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar