Jumat, 18 April 2014

Serba Cepat

Serba Cepat

Iwel Sastra  ;   Komedian
TEMPO.CO, 17 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Saya selalu tersenyum saat membaca kembali anekdot tentang seorang pria tua yang setiap kali naik kereta memilih tempat duduk di gerbong paling depan. Alasannya agar sampai duluan. Saya juga masih geli sendiri mengingat anekdot tentang orang kaya super-pelit yang tidak mau naik kereta shinkansen-kereta berkecepatan tinggi di Jepang. Alasannya rugi bayar mahal, karena baru duduk sudah sampai. Anekdot-anekdot ini menggambarkan bahwa untuk cepat sampai di tujuan oleh setiap orang dimaknai berbeda, sehingga melahirkan strategi yang berbeda pula.

Saat ini kita hidup di zaman serba cepat. Bukan hanya bidang transportasi seperti anekdot di atas, tapi juga pada bidang informasi hingga makanan cepat saji. Berita kehidupan rumah tangga selebritas yang kurang harmonis cepat sampai ke telinga kita. Kecepatan informasi ini membuat saya mau enggak mau jadi tahu bahwa Bopak Costello akan bercerai dengan istrinya. Kenapa saya harus tahu? Padahal Bopak sendiri tidak tahu bahwa saya tahu dia akan bercerai. Makanan cepat saji semakin menjadi pilihan di tengah makin tingginya kesibukan masyarakat urban. Saya tidak terlalu suka makanan cepat saji, saya lebih suka makanan yang cepat dibayarin.

Segala yang serba cepat ini menular ke ranah politik. Pemenang pemilu telah terlebih dulu ditentukan oleh hasil hitung cepat. Padahal saat ini masih tersisa berbagai persoalan pemilu. Petinggi partai politik sudah tidak peduli mengenai adanya sejumlah surat suara yang tertukar, sehingga harus dilakukan pemilu ulang di beberapa tempat pemungutan suara. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dianggap cukup sebagai dasar untuk melakukan koalisi secara cepat. Seakan "hitung lambat" yang dilakukan KPU, yang merupakan hasil hitung resmi, menjadi tidak penting lagi.

Ada beberapa faktor penyebab politik Indonesia masuk ke era serba cepat. Pertama, karena rakyat ingin segera merasakan perubahan. Sepertinya selama ini rakyat merasa perubahan berjalan lamban. Kondisi bangsa semakin terpuruk, sehingga peralihan tampuk pimpinan nasional harus disiapkan dengan cepat untuk percepatan perubahan. Kedua, elite politik ibarat anak kecil yang sedang antre permainan di taman bermain, sudah tidak sabar gantian untuk ikut merasakan permainan kuda-kudaan. Apalagi yang merasa dirinya berada di antrean paling depan, merasa lebih pantas untuk menaiki kuda-kudaan lebih dulu.

Dalam hal perasaan, bangsa kita sudah lebih cepat lagi menganut paham serba cepat. Cepat suka, cepat benci. Sepuluh tahun yang lalu, rasa suka dengan cepat tertuju kepada Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu maju sebagai calon presiden. Rasa suka itu pun dengan cepat berbalik arah di tengah jalan. Sekarang Jokowi dan Prabowo, yang disebut sebagai calon kuat calon presiden sama-sama menggunakan prinsip siapa cepat dia dapat, untuk mendapatkan rasa suka rakyat. Isu-isu yang saling menjatuhkan beredar dengan sangat cepat.

Bagaimanapun, sekarang kita hidup di zaman serba cepat. Ketertinggalan dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam, membuat rakyat sudah tidak sabar untuk merasakan perubahan dengan cepat. Meski semuanya sekarang serba cepat, saya yakin prinsip serba cepat ini tidak disukai oleh pengantin baru. Bahkan pengantin baru punya prinsip, makin lama makin baik. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu, maksudnya tentu pengantin baru ingin rumah tangga mereka bertahan lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar