Penguatan
Koalisi (Semi) Permanen
Fahrul Muzaqqi ; Direktur eksekutif Sonar Media Consultant,
Pengajar di
Departemen Politik FISIP Unair
|
JAWA POS,
16 April 2014
HASIL
penghitungan suara Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 sementara ini -baik quick count maupun exit poll- menampakkan pemetaan
perolehan suara partai-partai politik secara lebih real, walau masih menunggu
hasil penghitungan resmi KPU. Dari platform ideologis, pemilu kali ini
menempatkan dominasi suara partai-partai nasionalis di atas partai-partai
Islam.
Di
antara berbagai analisis yang mengemuka, satu hal yang penting dicermati
adalah bagaimana konfigurasi koalisi yang sedang dijajaki parpol-parpol itu dalam
rangka menuju pemilihan presiden (pilpres) mendatang. Ihwal tersebut terutama
berkaitan dengan: apakah terdapat pertimbangan-pertimbangan penguatan peran
parpol yang selama ini terasa makin memudar serta apakah memungkinkan
bangunan tersebut bertahan dalam waktu lama?
Penguatan Koalisi Visioner Parpol
Tak
dapat dimungkiri, berlangsungnya pileg tahun ini telah memberikan banyak
pelajaran, khususnya bagi para petinggi parpol maupun para caleg serta
politisi yang ikut meramaikan. Bila mereka mau mencermati dengan jeli,
terdapat pergeseran signifikan mengenai respons masyarakat terhadap pesta
demokrasi lima tahunan itu. Selama empat kali ajang pemilu sepanjang era
reformasi, respons masyarakat menunjukkan gejala yang makin menguat mengarah
pada pertimbangan-pertimbangan rasional.
Identifikasi
ideologis terhadap parpol yang pada awal reformasi dulu menjadi determinan
bagi pemilih untuk menentukan pilihan kini tidak lagi menjadi variabel utama.
Justru pertimbangan rasional kini menjadi variabel utama. Masyarakat makin
melek politik dengan melihat siapa-siapa figur -baik di pusat maupun daerah-
yang hendak dipilih, tak peduli dari parpol apa, berikut rekam jejak dan
tawaran programnya.
Di sisi
lain, sebagian masyarakat yang tidak lagi menaruh harapan besar terhadap
parpol maupun calon cenderung mendasarkan pilihannya dengan pertimbangan
rasional yang bersifat material. Dalam hal ini, motif transaksional menjadi
fenomena ''lazim'' dalam Pileg 2014.
Keberadaan
parpol terkesan makin melemah digantikan menguatnya politik figur (politics of personal) dan politik
transaksional (transactional politics).
Dalam taraf lebih jauh, bila parpol tidak segera berbenah, kepercayaan
masyarakat semakin tipis digantikan sosok figuratif atau besaran kompensasi
yang diberikan kepada mereka.
Akibatnya,
pemilu yang berlangsung menempatkan parpol tidak lebih sebagai kendaraan yang
bisa disinggahi para calon bila menguntungkan, lalu ditinggalkan dengan
mudahnya bila tidak lagi menguntungkan. Di sisi lain, biaya hajatan lima tahunan
itu menjadi kian mahal karena membubungnya money politics di kalangan pemilih. Singkat kata, Pileg 2014
merupakan titik persimpangan bagi parpol untuk merefleksikan diri sekaligus
mengubah paradigma politik selama ini.
Momentum
penjajakan koalisi menuju pilpres dapat menjadi titik balik bagi parpol untuk
berbenah diri dengan lebih menampakkan platform maupun tawaran program di
mata masyarakat. Tentu saja, hal tersebut agak berat dari sisi pragmatis.
Mereka bisa saja tetap mengulangi pola-pola lama dengan mengabaikan platform
berikut program dan sekadar merapat ke capres yang sekiranya paling
menguntungkan (paling besar peluang menangnya atau paling besar kompensasi
materialnya).
Namun,
konsekuensi yang harus diakibatkan dalam taraf lebih ekstrem menjadi teramat
mahal. Di samping menjadi tidak lagi relevan berkaitan dengan parpol (karena
bergeser ke personal politics) dan
cenderung transaksional, politik kemudian tidak dapat menjadi tumpuan harapan
perbaikan bagi kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, potensi golput tetap
tinggi, bahkan dapat meninggi lagi pada masa mendatang.
Alhasil,
koalisi yang sedang dibangun parpol itu hendaknya menekankan kesamaan platform dan program sekaligus
memperkuat mesin partai (tidak hanya mengandalkan figur capres maupun
cawapres yang diusung) dalam proses menyambut Pilpres 2014 beberapa bulan
mendatang.
Koalisi Dua Periode
Setali
tiga uang, pertimbangan selanjutnya adalah bangunan koalisi parpol yang
memungkinkan jangka panjang. Ihwal itu terkait dengan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) beberapa bulan lalu yang isinya memberlakukan Pileg dan
Pilpres 2019 secara serentak sekaligus tetap mempertahankan ambang batas bagi
pencalonan presiden (presidential threshold).
Dua
putusan MK itu secara tidak langsung hendaknya dipertimbangkan secara serius
oleh para petinggi parpol dalam membangun koalisi. Artinya, membangun koalisi
itu tentu berpedoman pada perolehan suara parpol-parpol dalam Pileg 2014
sebagai syarat presidential threshold yang tidak hanya untuk Pilpres 2014,
melainkan juga untuk Pilpres 2019 yang dilakukan secara serentak dengan Pileg
2019.
Dalam
konteks itu, bangunan koalisi yang nanti terbentuk idealnya lebih matang. Tentu
masih segar dalam ingatan, bangunan koalisi yang tidak didasarkan pada
kesamaan platform dan program, sekaligus tidak mempertimbangkan jangka
panjang, hanya akan menjadi duri dalam daging. Presiden yang terpilih nanti
hanya didukung parlemen bila kebijakan-kebijakannya populer di mata
masyarakat, namun diganjal parlemen dari parpol lain -yang ironisnya masih
dalam lingkaran koalisi- bila dirasa tidak populer.
Di sisi
lain, kalaupun pertimbangan itu ditampik dengan pertimbangan bahwa nanti pada
2019 koalisi bisa ditinjau kembali, pesimisme masyarakat terhadap politik
akan bertambah. Alangkah lebih bijaksana manakala koalisi yang terbangun
menuju pilpres nanti menghasilkan bangunan kuat yang menciptakan fungsi checks and balances di antara lembaga
eksekutif dan legislatif dalam dua periode. Masyarakat dalam posisi yang
terakhir itu menjadi lebih dan makin mengenal apa dan bagaimana platform serta program partai
dijalankan dalam pemerintahan. Akhirnya, antusiasme untuk berpartisipasi
memberikan dukungan kepada parpol menjadi semakin besar. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar