Restriksi
Sengketa Pemilu oleh MK
Bahrul Ilmi Yakup ; Ketua Asosiasi
Advokat Konstitusi; Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian
BUMN; S-3 Ilmu Hukum FH Unsri
|
KOMPAS,
03 April 2014
MAHKAMAH
Konstitusi merupakan jenjang akhir pemilu legislatif sehingga Mahkamah
Konstitusi akan berperan menjadi penentu nasib bagi banyak calon anggota
legislatif yang ikut Pemilu Legislatif 9 April 2014. Oleh karena itu, MK seyogianya mampu menjadi pengadil paripurna yang
mampu menciptakan pengaturan dan peradilan yang komprehensif dan substantif
atas sengketa pemilu legislatif. Ini agar kedaulatan rakyat yang disalurkan
melalui pemilu legislatif dapat dijaga dan dimaterialkan.
Menghadapi
sengketa Pemilu 2014, MK telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi
(PMK) No 1/2014 sebagai pedoman (hukum) beracara yang berlaku sejak ditetapkan pada 25
Februari 2014. PMK ini pengganti PMK No 3/2013 sehingga jadi rujukan normatif-prosedural untuk sengketa Pemilu 2014. Karena itu, seyogianya PMK No 1/2014
merupakan hukum progresif dan responsif terhadap berbagai isu hukum yang jadi
jantung sengketa pemilu legislatif (pileg) agar prinsip hukum untuk manusia
dan keadilan memang dikedepankan.
Restriksi pengaturan
Secara
substansial paling tidak ada empat isu hukum yang menjadi jantung sengketa
pileg yang memerlukan pengaturan secara progresif-responsif dalam PMK No
1/2014. Keempat isu itu adalah soal legal standing perseorangan caleg, legal
standing partai politik, lingkup pemeriksaan sengketa pileg, dan soal
perlindungan terhadap kepentingan caleg lain sebagai pihak terkait.
Pertama,
menyangkut legal standing perseorangan caleg untuk menjadi pemohon dalam
sengketa pileg di MK (selanjutnya disebut PHPU), norma Pasal 2 Ayat (1) Huruf
b PMK No 1/2014 berbunyi: ”Pemohon
dalam perkara PHPU adalah:…b. perseorangan calon anggota DPR dan DPRD yang
telah memperoleh persetujuan secara
tertulis dan pengajuan permohonannya dilakukan oleh partai politik peserta
pemilu yang bersangkutan”.
Dengan
demikian, ada dua syarat bagi perseorangan caleg untuk menjadi pemohon PHPU.
Pertama, persetujuan tertulis parpol. Kedua, pengajuan permohonannya
dilakukan parpol.
Pengaturan
demikian secara substansial bersifat restriktif. Artinya, menyulitkan bahkan
mereduksi hak perseorangan caleg untuk menjadi pemohon PHPU di MK. Bahkan,
dapat saja sampai melenyapkan hak perseorangan caleg manakala ternyata
kepentingan perseorangan caleg yang akan maju sebagai pemohon PHPU dinilai
oleh ketua dan sekjen parpol yang bersangkutan bertentangan dengan
kepentingan partai.
Pengaturan
restriktif oleh PMK No 1/2014 tersebut menjadi sesuatu yang kurang nalar
ketimbang pengaturan sebelumnya melalui Pasal 3 Ayat (1) Huruf b PMK No
3/2013. Pasal ini hampir mengakomodasi secara penuh legal standing
perseorangan caleg menjadi pemohon PHPU dengan rumusan: ”Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dapat menjadi pemohon
apabila mendapat persetujuan secara tertulis dari partai politik peserta
pemilu yang bersangkutan”. Dengan rumusan demikian, secara perseorangan
caleg dapat jadi pemohon sengketa pileg di MK dengan satu syarat, yaitu
memperoleh persetujuan tertulis dari parpol yang mengusungnya.
Sayangnya,
PMK No 1/2014 tidak memberikan penjelasan atau argumentasi hukum memadai yang
menjadi dasar penambahan syarat kedua tersebut, yang secara hukum telah
merenggut kualitas legal standing perseorangan caleg untuk menjadi pemohon
sengketa hasil pemilu di MK. Tidak pula ada argumentasi hukum yang
menjelaskan mengapa ketika merumuskan hal yang sama dalam PMK No 3/2013
syarat tersebut justru tidak dicantumkan. Restriksi demikian merupakan
kemunduran pengaturan dalam mengakomodasi kepentingan perseorangan caleg.
Kedua,
menyangkut legal standing parpol peserta pemilu. Ada dua ayat dalam PMK No
1/2014 yang mengatur legal standing parpol peserta pemilu, yaitu Pasal 2 Ayat
(1) Huruf b yang berbunyi ”…dan
pengajuan permohonannya dilakukan oleh partai politik peserta pemilu yang
bersangkutan”; dan Pasal 2 Ayat 3 Huruf a yang berbunyi ”Pihak terkait dalam perkara PHPU adalah
a. partai politik peserta pemilu yang berkepentingan terhadap permohonan yang
diajukan oleh pemohon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a”.
Dengan
norma pengaturan demikian, paling tidak muncul dua posisi legal standing
parpol yang saling bertentangan (trade
off), yaitu: (1) parpol akan muncul sebagai pemohon beberapa PHPU yang
saling bertentangan; (2) parpol akan jadi lawan PHPU yang dimohonkannya
sendiri. Posisi legal standing demikian tidak boleh ada dalam pengaturan
suatu hukum acara. Sebab, suatu subyek hukum tidak akan pernah melawan
dirinya sendiri (self incremental).
Ketiga,
menyangkut lingkup pemeriksaan sengketa PHPU. Pasal 271 Ayat (1) dan (2)
juncto Pasal 272 Ayat (1) UU No 8/2012 tentang Pemilu mengatur bahwa
perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan penetapan perolehan suara.
Menyangkut aspek tersebut, beberapa putusan MK telah membuat terobosan hukum
yang cerdas dengan memasukkan aspek pelanggaran terstruktur, sistematis, dan
masif yang dapat memengaruhi perolehan suara menjadi lingkup pemeriksaan
PHPU.
Sayangnya,
PMK No 1/2014 tak mengadopsi aspek ”terstruktur, sistematis, dan masif”
tersebut secara tegas. Padahal, aspek itu sangat penting guna memerangi caleg
yang melakukan money politics
sebagai sarana untuk memperoleh suara yang makin marak.
Keempat,
menyangkut perlindungan terhadap kepentingan caleg lain sebagai pihak
terkait. Ternyata hanya Pasal 2 Ayat (3) Huruf b yang mengatur perseorangan
caleg dapat menjadi pihak terkait, yakni jika mendapat persetujuan secara
tertulis dari parpol peserta pemilu dan pengajuan permohonannya dilakukan
oleh parpol peserta pemilu.
Pengaturan
tersebut sangat membatasi hak perseorangan caleg untuk mempertahankan haknya
di MK. Sebab, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) persetujuan
tertulis dari partai dan (2) pengajuan permohonan menjadi pihak terkait harus
diajukan partai.
Tidak progresif
Aspek
yang lebih substantif, PMK No 1/2014 tak mengatur bagaimana potensi caleg
menjadi pihak terkait memiliki akses untuk mengetahui dan memperoleh
informasi mengenai isi permohonan PHPU yang diajukan caleg atau parpol lain
yang berpotensi merugikannya.
Dengan
demikian, pengaturan sengketa pemilu dalam PMK No 1/2014 masih mengandung
norma yang restriktif, ambigu, saling bertentangan, dan tidak lengkap. Oleh
karena itu, pengaturan tersebut dapat dikatakan tidak progresif dan
responsif, terutama tidak maksimal melindungi kedaulatan rakyat dan access to
justice bagi semua pemangku kepentingan dalam sengketa PHPU. Seyogianya MK
merevisi PMK No 1/2014 agar menjadi hukum acara yang lebih andal dan
berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar