Kamis, 17 April 2014

Gugatan ‘Kekalahan’ Partai Islam

Gugatan ‘Kekalahan’ Partai Islam

M Najibur Rohman  ;   Staf pada Bagian Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum
 IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan hasil Pemilu 2014 tapi hasil perhitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei memberikan gambaran perolehan suara partai politik. Suara-suara partai Islam, sebagaimana diprediksi banyak pengamat, tetap tidak bergeser dari posisi medioker.

Artikel FS Swantoro berjudul ”Kemeredupan Partai Islam” (SM, 10/4/14) sedikit banyak menyorot fenomena itu. Saya merasa ada yang kurang tepat berkait pernyataan dalam artikel itu. Keyakinan ini mendasarkan pada karakteristik umat Islam Indonesia yang tidak ”Islamis”.

Karakteristik itu memiliki andil besar menentukan preferensi umat Islam terhadap parpol. Sedari awal umat Islam di Indonesia tak berasumsi untuk membangun negara Islam meskipun dukungan itu ada. Sebanyak 85%, menurut Mujani dan Liddle (2003), tidak menyetujui negara Islam.

Kecenderungan mayoritas itu dapat ditangkap sebagai tipologi umat yang akomodatif, bahkan terhadap nilai-nilai sekuler. Umat Islam di Indonesia cerdas membedakan mana wilayah duniawi dan ukhrawi. Karena itu, partai-partai Islam yang semata-mata ”menjual” Islam tak begitu menarik bagi mayoritas muslim

. Fakta ini menunjukkan massa Islam adalah massa yang cair, afiliasi politik tidak bersifat tunggal. Meskipun orang melihat PKB lahir dari rahim NU, dan PAN berasosiasi pada Muhammadiyah misalnya, tidak berarti bahwa kader militan mereka nihil di partaipartai sekuler.

Apalagi NU memiliki khitah untuk tak berpolitik dan Muhammadiyah selalu menyampaikan netralitasnya dalam pertarungan politik. Itu artinya kemenangan partai sekuler bukan berarti kekalahan umat Islam.

Pilihan umat Islam terhadap parpol tak semata-mata pragmatis namun didukung perspektif keagamaan yang akomodatif. Apakah itu berarti Islam sebagai ideologi tak lagi menarik? Belum tentu. Partai politik, baik sekuler maupun lebih-lebih yang berplatform Islam, masih meyakini bahwa agama memainkan efek penting dalam menentukan suara konstituen.

Permasalahannya bukan hanya partai Islam yang mendekati konstituen dengan memainkan ”rasa keagamaan” melainkan juga partai-partai sekuler. Sifat akomodatif umat Islam Indonesia menyebabkan strategi itu mungkin terjadi.

Kegalauan

Persoalan lain adalah kegalauan umat Islam terhadap partai yang menyangga sistem demokrasi. Kita tentu mafhum jika pembedaan partai sekuler dan partai Islam tidak begitu penting.

Alasannya, saat ini ideologi seolah-olah tidak memainkan peran dalam praktik kekuasaan. Baik partai sekuler maupun partai Islam sama-sama memiliki kader yang berisiko menjadi zombie. Mereka itu haus kekuasaan dan koruptif sehingga masyarakat melihat partai politik adalah sama saja dan satu rasa.

Kemelemahan yang diidap partai Islam adalah ketidakmampuan membedakan diri dari partai sekuler melalui program-program riil. Tidak adanya program yang menurut masyarakat dapat dianggap meyakinkan, membuat partai Islam tidak lagi seksi.

Tapi juga perlu dicatat andai partai-partai Islam bergabung, masih cukup kuat untuk mengusung nama capres. Karena alpanya program ini, partai Islam sedikit banyak masih bertumpu pada konstituen yang masih mengandalkan sentimen keagamaan.

Dalam hal ini, penelitian R William Liddle, Saiful Mujani, dan Thomas B Pepinsky (2012) menyebutkan bahwa partai Islam memiliki keunggulan dibanding partai sekuler (bahasa yang digunakan dalam penelitian itu adalah partai berbasis Pancasila) ketika program parpol sama-sama buruk. Dari sisi ini, partai Islam unggul dalam keterpilihan,

Tapi saat partai politik itu sama-sama memiliki program, partai Islam akan unggul hanya pada saat partai lain tak memiliki program ekonomi secara jelas. Dengan melihat hasil suara partai Islam pada Pemilu 2014 tampak bahwa umat Islam tidak dipermainkan oleh dikotomi sekuler-Islam,

Islam tak menjadi faktor tunggal dalam penentuan sikap memilih partai tapi bukan berarti sentimen keagamaan tidak memberikan kontribusi apa pun. Di sinilah mengapa suara jumbo umat Islam di negeri ini tidak harus selaras dengan kemenangan partai Islam.

Secara faktual partai-partai Islam sebetulnya telah menjabarkan strategi perluasan pengaruh tak hanya dari muslim. Semasa kampanye 2014 partai Islam tidak eksklusif, mereka tak ragu-ragu menggandeng nonmuslim misalnya.

Para peserta pun tidak hanya dari kalangan berpeci atau berjilbab namun dari berbagai kalangan, bervariatif. Akhirnya, dengan jumlah muslim terbesar di dunia, Islam tetap menjadi variabel penting dalam perjalanan Indonesia. Kita selalu berharap demokrasi mengarahkan bangsa ini menjadi sejahtera, kokoh, dan berdaulat.

Soal bagaimana umat Islam mengimplementasikan cita-cita, itu merupakan persoalan kompleks, dan fenomena partai Islam hanya salah satunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar