Gugatan
‘Kekalahan’ Partai Islam
M Najibur Rohman ; Staf pada Bagian Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum
IAIN Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 15 April 2014
KOMISI
Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan hasil Pemilu 2014 tapi hasil
perhitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei memberikan gambaran
perolehan suara partai politik. Suara-suara partai Islam, sebagaimana
diprediksi banyak pengamat, tetap tidak bergeser dari posisi medioker.
Artikel
FS Swantoro berjudul ”Kemeredupan Partai Islam” (SM, 10/4/14) sedikit banyak
menyorot fenomena itu. Saya merasa ada yang kurang tepat berkait pernyataan
dalam artikel itu. Keyakinan ini mendasarkan pada karakteristik umat Islam
Indonesia yang tidak ”Islamis”.
Karakteristik
itu memiliki andil besar menentukan preferensi umat Islam terhadap parpol.
Sedari awal umat Islam di Indonesia tak berasumsi untuk membangun negara
Islam meskipun dukungan itu ada. Sebanyak 85%, menurut Mujani dan Liddle
(2003), tidak menyetujui negara Islam.
Kecenderungan
mayoritas itu dapat ditangkap sebagai tipologi umat yang akomodatif, bahkan
terhadap nilai-nilai sekuler. Umat Islam di Indonesia cerdas membedakan mana
wilayah duniawi dan ukhrawi. Karena itu, partai-partai Islam yang semata-mata
”menjual” Islam tak begitu menarik bagi mayoritas muslim
. Fakta
ini menunjukkan massa Islam adalah massa yang cair, afiliasi politik tidak
bersifat tunggal. Meskipun orang melihat PKB lahir dari rahim NU, dan PAN
berasosiasi pada Muhammadiyah misalnya, tidak berarti bahwa kader militan
mereka nihil di partaipartai sekuler.
Apalagi
NU memiliki khitah untuk tak berpolitik dan Muhammadiyah selalu menyampaikan
netralitasnya dalam pertarungan politik. Itu artinya kemenangan partai
sekuler bukan berarti kekalahan umat Islam.
Pilihan
umat Islam terhadap parpol tak semata-mata pragmatis namun didukung
perspektif keagamaan yang akomodatif. Apakah itu berarti Islam sebagai
ideologi tak lagi menarik? Belum tentu. Partai politik, baik sekuler maupun
lebih-lebih yang berplatform Islam, masih meyakini bahwa agama memainkan efek
penting dalam menentukan suara konstituen.
Permasalahannya
bukan hanya partai Islam yang mendekati konstituen dengan memainkan ”rasa
keagamaan” melainkan juga partai-partai sekuler. Sifat akomodatif umat Islam
Indonesia menyebabkan strategi itu mungkin terjadi.
Kegalauan
Persoalan
lain adalah kegalauan umat Islam terhadap partai yang menyangga sistem
demokrasi. Kita tentu mafhum jika pembedaan partai sekuler dan partai Islam
tidak begitu penting.
Alasannya,
saat ini ideologi seolah-olah tidak memainkan peran dalam praktik kekuasaan.
Baik partai sekuler maupun partai Islam sama-sama memiliki kader yang
berisiko menjadi zombie. Mereka itu haus kekuasaan dan koruptif sehingga
masyarakat melihat partai politik adalah sama saja dan satu rasa.
Kemelemahan
yang diidap partai Islam adalah ketidakmampuan membedakan diri dari partai
sekuler melalui program-program riil. Tidak adanya program yang menurut
masyarakat dapat dianggap meyakinkan, membuat partai Islam tidak lagi seksi.
Tapi
juga perlu dicatat andai partai-partai Islam bergabung, masih cukup kuat
untuk mengusung nama capres. Karena alpanya program ini, partai Islam sedikit
banyak masih bertumpu pada konstituen yang masih mengandalkan sentimen
keagamaan.
Dalam
hal ini, penelitian R William Liddle, Saiful Mujani, dan Thomas B Pepinsky
(2012) menyebutkan bahwa partai Islam memiliki keunggulan dibanding partai
sekuler (bahasa yang digunakan dalam penelitian itu adalah partai berbasis
Pancasila) ketika program parpol sama-sama buruk. Dari sisi ini, partai Islam
unggul dalam keterpilihan,
Tapi
saat partai politik itu sama-sama memiliki program, partai Islam akan unggul
hanya pada saat partai lain tak memiliki program ekonomi secara jelas. Dengan
melihat hasil suara partai Islam pada Pemilu 2014 tampak bahwa umat Islam
tidak dipermainkan oleh dikotomi sekuler-Islam,
Islam
tak menjadi faktor tunggal dalam penentuan sikap memilih partai tapi bukan
berarti sentimen keagamaan tidak memberikan kontribusi apa pun. Di sinilah
mengapa suara jumbo umat Islam di negeri ini tidak harus selaras dengan
kemenangan partai Islam.
Secara
faktual partai-partai Islam sebetulnya telah menjabarkan strategi perluasan
pengaruh tak hanya dari muslim. Semasa kampanye 2014 partai Islam tidak
eksklusif, mereka tak ragu-ragu menggandeng nonmuslim misalnya.
Para
peserta pun tidak hanya dari kalangan berpeci atau berjilbab namun dari
berbagai kalangan, bervariatif. Akhirnya, dengan jumlah muslim terbesar di
dunia, Islam tetap menjadi variabel penting dalam perjalanan Indonesia. Kita
selalu berharap demokrasi mengarahkan bangsa ini menjadi sejahtera, kokoh,
dan berdaulat.
Soal
bagaimana umat Islam mengimplementasikan cita-cita, itu merupakan persoalan
kompleks, dan fenomena partai Islam hanya salah satunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar