Menjaga
Suara Rakyat
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 12 April 2014
RAKYAT selaku pemilik kedaulatan
sudah memberikan suara mereka pada 9 April 2014. Hajatan demokrasi lima
tahunan itu secara umum berjalan dengan aman dan lancar, meski di berbagai
daerah terjadi kecurangan dan tertukarnya surat suara pada daerah pemilihan
(dapil) tertentu. Suara rakyat yang diberikan itu harus dijaga, dan yang kita
harapkan, yaitu terpilih anggota legislatif yang betul-betul bersih, jujur,
dan punya kompetensi sebagai wakil rakyat, yaitu memahami bagaimana
melaksanakan fungsi parlemen.
Salah satu yang paling
dikhawatirkan dalam setiap pelaksanaan pemilu legislatif, presiden/wakil
presiden, dan pemilihan kepala daerah ialah terjadinya kecurangan alias
jekkong dalam bahasa daerah Bugis-Makassar. Negeri ini selalu melaksanakan
demokrasi sesuai waktunya, tetapi kekhawatiran akan adanya ‘manipulasi suara’
selalu menghantui kita.
Jika pun rakyat begitu terlihat
antusias, yang bisa dilihat saat kampanye, para pemantau pemilu dan sebagian
kalangan masih menyimpan keraguan dan kekhawatiran. Sebab dari pengalaman
pemilu sebelumnya, selalu ditengarai ketidaksterilan dari praktik kecurangan
dan manipulasi suara. Malah terkesan pada setiap pemilu lebih cenderung
dianggap sebagai sesuatu yang niscaya.
Praktik kecurangan selain
didukung oleh kecanggihan teknologi, juga karena fleksibilitas keinginan
menang. Modusnya juga beragam, meski sistem pemilu dan pengawasan diperketat
untuk meminimalkan kecurangan, dalam penghitungan suara, terutama perpindahan
hasil penghitungan suara dari TPS ke kelurahan/desa (PPS), kecamatan (PPK),
ke sampai Komisi Pemilihan Umum (KPU) selalu saja tidak bisa dijaga dengan
baik.
Manipulasi suara bisa terjadi
dengan cara mengubah hasil penghitungan suara di TPS. Misalnya, menambah atau
mengurangi suara parpol tertentu atau caleg tertentu. Kemudian diberikan
kepada parpol lain atau caleg lain, dan biasanya terjadi karena petugas di
PPS dan PPK tidak netral atau karena tergiur godaan uang alias politik uang.
Manipulasi suara selalu menjadi isu sentral setiap pelaksanaan pemilu.
Kecurigaan itu terjadi bukan tanpa makna. Sebab banyak petugas PPS dan PPK
yang sudah diproses hukum dan meringkuk dalam penjara karena menerima sogokan
untuk mengubah atau memanipulasi suara yang sudah dihitung di TPS.
Dokumentasi C1
Pemilu 2009 sebagai pemilu legislatif
dan pemilu presiden diharapkan membawa peningkatan prinsip jujur dan adil. Namun,
dalam catatan sejarah, pemilu tahun itu justru paling banyak menunjukkan
penyimpangan dalam penghitungan suara.
Padahal, dalam Pemilu 2009, sistem
teknologi informasi sudah disiapkan dengan baik agar digunakan KPU untuk
mengefisienkan proses penghitungan suara. Akan tetapi realitas berkata lain,
sebab sistem TI diduga dimanfaatkan sebagai instrumen kecurangan dan
manipulasi suara.
Itu merupakan indikasi yang tak
terbantahkan dari sebuah sistem yang korup, teknologi paling canggih
sekalipun tidak bisa membantu lantaran orang yang menjalankannya tidak
amanah. Setidaknya teknologi yang canggih tetap bisa dibobol oleh akal bulus manusia.
Sistem teknologi informasi bisa dimainkan dan diutak-atik untuk kepentingan parpol
tertentu.
Akibatnya, hasil penghitungan suara
Pemilu 2014 yang diharapkan sebagai ‘pemilu transisi terakhir’ menuju kemapanan
demokrasi yang lebih jujur, adil, dan transparan harus diawasi dengan baik.
Bukan hanya tugas penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), melainkan tugas kita
semua. Begitu pula unsur kepolisian, yang diharapkan bertindak lebih tegas
jika menemukan adanya indikasi kecurangan dalam perpindahan hasil
penghitungan suara sampai ke KPU kabupaten/kota. Kita juga mendukung upaya
KPU yang meniadakan sistem daring (online)
dalam proses penghitungan suara.
KPU akan mengandalkan operator
di tingkat kabupaten/kota untuk melakukan proses pendokumentasian hasil
penghitungan suara di TPS atau pada Formulir C1. Dokumen C1 pada akhirnya
akan dipindai dan diunggah ke situs KPU (Media Indonesia, 4/4). Namun, KPU
sudah memperhitungkan risiko atas metode itu, tinggal menjaganya dari
orang-orang yang berwatak garong. Maka itu, harus tetap mengawasi saksi dan
petugas TPS. Bahkan, jika memungkinkan, setiap parpol memiliki sukarelawan
atau ‘saksi bayangan’ untuk mengawasi perpindahan Formulir C1.
Bagi caleg di internal parpol
juga tidak kalah sengitnya untuk saling menjaga suara. Sebab berdasarkan
pengalaman pemilu sebelumnya, dalam persaingan caleg di internal parpol yang
sama bisa juga terjadi kecurangan dengan mencuri suara caleg lain, atau malah
ada yang menjual suaranya kepada caleg lain untuk mendapatkan kursi. Setiap
calon yang punya niat baik untuk menyelamatkan suara rakyat yang memilihnya
seharusnya bekerja sama. Misalnya, saling membantu untuk mengawasi suaranya
agar tidak dicuri atau dimanipulasi. Dalam sistem proporsional terbuka saat
ini, peran saksi parpol sangat menentukan untuk mengamankan perpindahan suara
di Formulir C1.
Lebih daripada itu, semua komponen
bangsa harus berani mengawasi hasil penghitungan suara. Terutama karena
adanya dugaan kuat keterlibatan aparat penyelenggara yang seharusnya menjaga
suara rakyat sesuai pilihan mereka. Praktik yang banyak terjadi pada Pemilu
2009 harus ditebas pada Pemilu 2014 ini.
Fenomena efek
Pemilu kali juga ditandai
fenomena ‘efek’ akibat didongkrak oleh ketokohan figur yang merepresentasikan
partai politik tertentu. Misalnya, perolehan suara Partai Gerindra dikaitkan
dengan Prabowo Subianto (Prabowo effect),
Partai Kebangkitan Bangsa dengan Rhoma Irama, Mahfud MD, dan Ahmad Dhani
(Rhoma Irama, Mahfud MD, dan Ahmad Dhani effect), atau PDI Perjuangan melalui
Joko Widodo atau Jokowi effect. Melejitnya suara ketiga partai itu
berdasarkan hasil hitung cepat (quick
count) sejumlah lembaga survei, juga diramaikan oleh Partai NasDem
sebagai partai baru yang lolos parliamentary
threshold sebesar 3,5% kursi di DPR.
Fenomena efek berdasarkan
ketokohan elite partai menunjukkan betapa negeri ini masih sangat bergantung
pada magnet sosok tertentu. Terutama pada tokoh yang digadang-gadang untuk
menjadi calon presiden. Memang PDIP dianggap tidak signifikan Jokowi effect-nya lantaran perolehan
suara tidak sesuai yang diharapkan, yaitu 25%-27%. Namun, sosok Jokowi tetap
menjadi magnet bagi partai lain untuk diajak koalisi dalam pencalonan
presiden/wakil presiden.
Daya tarik ketokohan diungkap
oleh berbagai hasil survei elektabilitas dan ikhtiar
pencitraan, dan
elektabilitas Jokowi dianggap paling tinggi di antara calon presiden lainnya.
Magnet yang ditimbulkan oleh tokoh partai setidaknya membawa efek potensi
pendulangan suara dalam pemilihan legislatif. Suara rakyat pada pemilu
legislatif tentu membawa efek pula terhadap pencalonan presiden dan wakil
presiden sehingga harus dijaga agar tidak menguap di tengah jalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar