Bukan
Sekadar Politik Periodik
Fajar Kurnianto ; Peneliti PSIK Universitas Paramadina Jakarta
|
KOMPAS,
15 April 2014
MUSIM kampanye yang sudah
berlalu diisi promosi partai-partai politik di pelbagai media, baik cetak
maupun online, dengan begitu masif. Tujuannya adalah apalagi kalau bukan
menggaet masyarakat untuk memilih mereka di hari pencoblosan. Namun, setelah
kampanye, apalagi setelah pencoblosan pada pemilu legislatif, pekan lalu,
partai-partai politik biasanya sudah sibuk dengan soal kekuasaan, masyarakat
pemilih terabaikan, dan politik kembali menjadi milik kaum elite politik.
Melihat kilas balik masa
kampanye yang baru saja berlalu, sebetulnya ada dua jenis kampanye: kampanye
politik dan kampanye pemilu. Kampanye jenis pertama adalah suatu proses
jangka panjang yang menuntut konsistensi dan kontinuitas dari partai politik
(Bluementhal, 1982).
Menurut Norris (2000), kampanye
politik adalah suatu proses komunikasi politik, yakni partai politik atau
kontestan individu berusaha mengomunikasikan ideologi ataupun program kerja
yang mereka tawarkan. Komunikasi politik juga mengomunikasikan intensi dan
motivasi partai politik atau kontestan individu dalam memperbaiki kondisi
masyarakat.
Selama ini, kampanye politik
lebih dilihat semata sebagai kampanye pemilu yang musiman atau periodik,
sehingga interaksi antara partai politik dan masyarakat sangat singkat, tidak
ada keberlanjutan.
Lilliker & Negrine (2000)
mendefinisikan kampanye ini sebagai periode yang diberikan oleh panitia
pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik maupun perorangan, untuk
memaparkan program-program kerja dan memengaruhi opini publik sekaligus
memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu
pencoblosan.
Kampanye jangka pendek ini
dicirikan dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap
kontestan, ketidakpastian hasil, dan upaya pengerahan semua bentuk usaha
untuk menggiring pemilih ke bilik-bilik pencoblosan serta memberikan suara
mereka (Kahn & Kenney, 1999).
Berbeda dengan kampanye politik
yang dilihat sebagai kampanye pemilu musiman atau periodik, kampanye politik
yang sesungguhnya sangat dianjurkan untuk dilakukan setiap hari (Norris,
2000). Kampanye politik harus dilakukan secara permanen, bukan periodik
(Bluementhal, 1982).
Sejumlah studi menunjukkan
kesimpulan berbeda tentang pengaruh kampanye pemilu terhadap perilaku
pemilih.
Menurut Franklin (1991),
beberapa studi menunjukkan bahwa kampanye pemilu melalui aktivitas
pengiklanan dan debat publik di televisi meningkatkan partisipasi pemilih.
Sementara itu, menurut Huckfeldt
et.al (2000), kampanye pemilu meningkatkan keterjangkauan, kepastian, dan
akurasi pesan politik yang disampaikan kontestan kepada pemilih.
Menurut Gelman dan King (1993)
dan Bartels (1993), preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh-jauh
hari sebelum kampanye pemilu dimulai.
Kampanye politik jelas berbeda
dengan kampanye pemilu. Kampanye pemilu hanya bagian kecil dari kampanye politik,
karena sifatnya yang musiman atau periodik pada waktu tertentu.
Mereduksi kampanye politik
sekadar kampanye pemilu akan membuat masyarakat ditempatkan sebagai sekadar
pemberi suara sesaat, bukan bagian inheren dan penting dari politik itu
sendiri seperti halnya partai politik. Masyarakat menjadi subyek politik
hanya sesaat, yang setelah itu diambil alih oleh partai politik. Warga
seperti dianggap sekadar pemilih, tidak ikut serta sebagai penentu, dan
relasi pun terputus.
Tak sekadar periodik
Politik di negeri ini lebih
terlihat sebagai politik periodik, ditandai ingar-bingar kampanye dan
berakhir di bilik suara. Padahal, yang diharapkan dari politik adalah
kontinuitas hubungan antara warga dan partai politik.
Artinya, partisipasi politik
masyarakat terus berlanjut dengan peran mereka sebagai pengontrol dan
kritikus terhadap perilaku orang-orang partai dan partai itu sendiri yang
telah dipilihnya.
Setelah pemilu, masyarakat tidak
lagi ditempatkan sebagai ”manusia politik”, karena politik mereka dianggap sudah
selesai setelah mencoblos.
Masyarakat memang kemudian tetap
mengetahui perkembangan dan kelanjutan drama pemilu di media; sehingga bisa
juga berkomentar tentangnya.
Dalam hal ini, politik periodik
tentu saja tidak memberikan pendidikan politik yang komprehensif. Masyarakat
seperti diajarkan bahwa berpolitik adalah sekadar urusan memilih atau
mencoblos di dalam bilik suara dalam waktu tertentu.
Padahal, berpolitik menuntut
kesinambungan hubungan antara pemilih dan yang dipilih. Artinya, pemilih
terus-menerus terlibat aktif dalam perkembangan setelah pemilu.
Seperti ditegaskan Arendt,
politik berlangsung dalam interaksi antarmanusia, bukan pada diri manusia
tunggal. Negarawan dan politisi bukanlah orang-orang yang secara sembarangan
dapat bertindak mewakili masyarakat atau memaksakan aturan-aturan kepada
masyarakat. Dengan kata lain, politik bukanlah monopoli para politisi atau
kaum elite yang dilegitimasi secara periodik melalui momen pemilu semata.
Hakikat politik juga bukanlah
soal kekuasaan semata. Pemilu bukanlah sekadar mengantarkan para politisi dan
partai politik menjadi pemenang dan berkuasa, tetapi lebih dari itu, adalah
menjadikan kekuasaan sebagai sekadar alat untuk menciptakan kemaslahatan
bersama dengan terus-menerus melibatkan masyarakat dan mendorong partisipasi
aktif mereka.
Masyarakat jangan sampai
dijadikan sekadar obyek, tetapi harus menjadi subyek yang secara bersama-sama
menentukan nasib bangsa dan negara ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar