Kamis, 17 April 2014

Bukan Sekadar Politik Periodik

Bukan Sekadar Politik Periodik

Fajar Kurnianto  ;   Peneliti PSIK Universitas Paramadina Jakarta
KOMPAS, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
MUSIM kampanye yang sudah berlalu diisi promosi partai-partai politik di pelbagai media, baik cetak maupun online, dengan begitu masif. Tujuannya adalah apalagi kalau bukan menggaet masyarakat untuk memilih mereka di hari pencoblosan. Namun, setelah kampanye, apalagi setelah pencoblosan pada pemilu legislatif, pekan lalu, partai-partai politik biasanya sudah sibuk dengan soal kekuasaan, masyarakat pemilih terabaikan, dan politik kembali menjadi milik kaum elite politik.

Melihat kilas balik masa kampanye yang baru saja berlalu, sebetulnya ada dua jenis kampanye: kampanye politik dan kampanye pemilu. Kampanye jenis pertama adalah suatu proses jangka panjang yang menuntut konsistensi dan kontinuitas dari partai politik (Bluementhal, 1982).

Menurut Norris (2000), kampanye politik adalah suatu proses komunikasi politik, yakni partai politik atau kontestan individu berusaha mengomunikasikan ideologi ataupun program kerja yang mereka tawarkan. Komunikasi politik juga mengomunikasikan intensi dan motivasi partai politik atau kontestan individu dalam memperbaiki kondisi masyarakat.

Selama ini, kampanye politik lebih dilihat semata sebagai kampanye pemilu yang musiman atau periodik, sehingga interaksi antara partai politik dan masyarakat sangat singkat, tidak ada keberlanjutan.

Lilliker & Negrine (2000) mendefinisikan kampanye ini sebagai periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik maupun perorangan, untuk memaparkan program-program kerja dan memengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan.

Kampanye jangka pendek ini dicirikan dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap kontestan, ketidakpastian hasil, dan upaya pengerahan semua bentuk usaha untuk menggiring pemilih ke bilik-bilik pencoblosan serta memberikan suara mereka (Kahn & Kenney, 1999).

Berbeda dengan kampanye politik yang dilihat sebagai kampanye pemilu musiman atau periodik, kampanye politik yang sesungguhnya sangat dianjurkan untuk dilakukan setiap hari (Norris, 2000). Kampanye politik harus dilakukan secara permanen, bukan periodik (Bluementhal, 1982).

Sejumlah studi menunjukkan kesimpulan berbeda tentang pengaruh kampanye pemilu terhadap perilaku pemilih.

Menurut Franklin (1991), beberapa studi menunjukkan bahwa kampanye pemilu melalui aktivitas pengiklanan dan debat publik di televisi meningkatkan partisipasi pemilih.

Sementara itu, menurut Huckfeldt et.al (2000), kampanye pemilu meningkatkan keterjangkauan, kepastian, dan akurasi pesan politik yang disampaikan kontestan kepada pemilih.

Menurut Gelman dan King (1993) dan Bartels (1993), preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh-jauh hari sebelum kampanye pemilu dimulai.
Kampanye politik jelas berbeda dengan kampanye pemilu. Kampanye pemilu hanya bagian kecil dari kampanye politik, karena sifatnya yang musiman atau periodik pada waktu tertentu.

Mereduksi kampanye politik sekadar kampanye pemilu akan membuat masyarakat ditempatkan sebagai sekadar pemberi suara sesaat, bukan bagian inheren dan penting dari politik itu sendiri seperti halnya partai politik. Masyarakat menjadi subyek politik hanya sesaat, yang setelah itu diambil alih oleh partai politik. Warga seperti dianggap sekadar pemilih, tidak ikut serta sebagai penentu, dan relasi pun terputus.

Tak sekadar periodik

Politik di negeri ini lebih terlihat sebagai politik periodik, ditandai ingar-bingar kampanye dan berakhir di bilik suara. Padahal, yang diharapkan dari politik adalah kontinuitas hubungan antara warga dan partai politik.

Artinya, partisipasi politik masyarakat terus berlanjut dengan peran mereka sebagai pengontrol dan kritikus terhadap perilaku orang-orang partai dan partai itu sendiri yang telah dipilihnya.

Setelah pemilu, masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai ”manusia politik”, karena politik mereka dianggap sudah selesai setelah mencoblos.

Masyarakat memang kemudian tetap mengetahui perkembangan dan kelanjutan drama pemilu di media; sehingga bisa juga berkomentar tentangnya.

Dalam hal ini, politik periodik tentu saja tidak memberikan pendidikan politik yang komprehensif. Masyarakat seperti diajarkan bahwa berpolitik adalah sekadar urusan memilih atau mencoblos di dalam bilik suara dalam waktu tertentu.

Padahal, berpolitik menuntut kesinambungan hubungan antara pemilih dan yang dipilih. Artinya, pemilih terus-menerus terlibat aktif dalam perkembangan setelah pemilu.

Seperti ditegaskan Arendt, politik berlangsung dalam interaksi antarmanusia, bukan pada diri manusia tunggal. Negarawan dan politisi bukanlah orang-orang yang secara sembarangan dapat bertindak mewakili masyarakat atau memaksakan aturan-aturan kepada masyarakat. Dengan kata lain, politik bukanlah monopoli para politisi atau kaum elite yang dilegitimasi secara periodik melalui momen pemilu semata.

Hakikat politik juga bukanlah soal kekuasaan semata. Pemilu bukanlah sekadar mengantarkan para politisi dan partai politik menjadi pemenang dan berkuasa, tetapi lebih dari itu, adalah menjadikan kekuasaan sebagai sekadar alat untuk menciptakan kemaslahatan bersama dengan terus-menerus melibatkan masyarakat dan mendorong partisipasi aktif mereka.

Masyarakat jangan sampai dijadikan sekadar obyek, tetapi harus menjadi subyek yang secara bersama-sama menentukan nasib bangsa dan negara ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar