Menilik
Pemberitaan Kampanye
Adinda Tenriangke Muchtar ; Direktur Program The
Indonesian Institute, Kandidat Doktor
Development Studies Victoria University of Wellington, Selandia Baru
|
KORAN
JAKARTA, 11 April 2014
Media
massa adalah salah satu pilar demokrasi yang penting dalam menyuarakan
informasi publik. Peran dan kiprahnya, baik cetak maupun online, semakin
marak terutama dalam musim politik seperti pemilu.
Tidak
dapat dimungkiri bahwa media massa memegang peran penting sebagai sumber
informasi yang dapat memengaruhi pemahaman, kesadaran, serta preferensi
politik pemilih. Dengan kata lain, dia menjadi jembatan antara partai politik
(parpol) dan para kandidat yang berlaga dalam pemilu dengan para pemilih.
The Indonesian Instute (TII)
memonitor pemberitaan selama kampanye terbuka mulai 16 Maret hingga 1 April
2014 untuk melihat frekuensi pemberitaan terkait parpol. Selain itu, juga
untuk memetakan tema-tema yang diangkat dalam pemberitaan dan melihat kaitan
kepemilikan media oleh politisi terhadap pemberitaan kampanye. TII
menggunakan teknik purposive sampling dalam memilih sampel. Media dipilih
yang netral. Kepemilikan media oleh para politisi partai untuk melihat keterkaitannya
dengan tematema pemberitaan.
Hasil
temuan, frekuensi pemberitaan media online sebanyak 72 persen, sedangkan
cetak 28 persen. PDIP merupakan partai paling banyak diberitakan media online
(19 persen). Kemudian diikuti Partai Demokrat (12 persen) dan Golkar (11
persen). Tiga tema yang paling banyak diberitakan media online adalah
kegiatan kampanye terbuka (42 persen), pencapresan (36 persen), dan
pelanggaran kampanye (9 persen). Media cetak juga banyak memberitakan PDIP
dan Partai Demokrat dengan persentase 29 persen dan 13 persen. Partai ketiga
yang banyak dimuat adalah Gerindra.
Tema
didominasi isu pencapresan (42 persen), konflik antarpartai (21 persen), dan
kegiatan kampanye terbuka (18 persen). PDIP menjadi sumber berita terhangat
karena efek pencapresan Jokowi, sementara untuk pemberitaan dengan tone
negatif adalah PDIP (29 persen), Gerindra (14 persen), dan Demokrat (14
persen). Tone negatif terhadap PDIP terutama terkait pro-kontra, serta masa
penantian keputusan Megawati terkait pencapresan Jokowi serta konflik dengan
Gerindra menyangkut “Perjanjian Batu
Tulis”. Secara keseluruhan, pemberitaan bertema negatif maupun positif
masih objektif dalam artian media tidak hanya memberitakan pemilik yang ada
dalam parpol tertentu. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa terlepas dari
kepemilikan media oleh politisi, pemberitaan tentang parpol semasa kampanye
terbuka masih objektif, baik dari sisi nada positif maupun negatif.
Parpol
yang banyak diberitakan juga tidak lepas dari para politisi dan tokoh di dalamnya,
yang cenderung menjadi sosok utama sekaligus media darling yang kerap mengisi
pemberitaan. Pemberitaan mengenai caleg tak sebanding isu capres dan para
elite partai, terkecuali incumbent
yang memang sudah lama berkiprah dalam politik dan kerap menjadi rujukan
media massa.
Hilang
Dalam
kampanye belum diangkat isu-isu perempuan, anak, dan lingkungan. Tema-tema
ini hilang dari gegap-gempita kampanye dan pemberitaan. Kalaupun ada, isu-isu
ini hanya sebagai lips service karena tidak serius diangkat baik oleh partai,
kandidat, maupun media. Bahkan, porsi pemuatan politisi perempuan tidak
sesemarak laki-laki. TII merekomendasi agar Bawaslu menindak parpol dan
kandidat yang melanggar selama berdasar informasi media, pengaduan
masyarakat, serta pengawasan Bawaslu sendiri. Parpol juga perlu mengevaluasi
strategi berkampanye agar lebih informatif, edukatif, dan dialogis sebagai
bagian komunikasi politiknya dengan masyarakat, khususnya pemilih. Yang tidak
kalah penting dan menjadi jantung komunikasi publik, media sebagai pilar
keempat demokrasi, harus tetap objektif, kritis, mendidik, dan jangan mau
dipojokkan (kepentingan) pemilik. Hal ini sangat penting agar warga semakin
well-informed sebelum berkontribusi dan berpartisipasi dalam proses politik
maupun kebijakan negeri ini.
Diulas
juga hubungan media, para pemilik, dan masyarakat, termasuk penyelenggara
atau pengawas pemilu guna memahami lebih lanjut logika pemberitaan. Media
monitoring seperti ini perlu ditindaklanjuti untuk menjawab aspek tertentu
seperti terkait pengaruh kepemilikan media terhadap nada pemberitaan dan
alokasi ruang untuk isu-isu parpol dan politisi. Juga untuk melihat
preferensi pemilih dan evaluasi terhadap objektivitas, terlepas adanya
tantangan pragmatisme industri media massa, etika, serta profesionalitas
jurnalistik. Pemberitaan media harus secara kontinu, objektif, kritis, dan
edukatif. Ini akan memaksa parpol, politisi, serta para pihak yang terkait
untuk lebih cermat saat berhubungan dengan media. Politikus dalam berkampanye
tidak boleh membodohi rakyat.
Sebaliknya,
media dalam memuat juga harus bisa dijadikan acuan pemilih dalam
mempertimbangkan dan memberikan suaranya di hari pencoblosan. Media harus
terus memainkan peran penting. Mereka tidak hanya sebagai penyambung
informasi, tapi juga menjalankan peran investigatif. Beritanya harus kritis
dan mendidik, tapi mudah dicerna masyarakat. Terlepas dari sumber berita dan
narasumber yang menjadi bahan rujukan, mereka juga perlu berinisiatif dalam
menentukan dan mengangkat tema non-arus utama. Hanya dengan begitu, media
dapat berperan dalam mendukung transformasi sosial baik dalam tataran cara
berpikir maupun tindakan masyarakat pemilih. Penting bagi media untuk terus
menjaga kenetralan, meski menginformasikan materi-materi yang mungkin
bersinggungan dengan pemilik.
Saat
ini, banyak pemilik media terjun langsung ke dunia politik. Hal ini tentu
sangat bisa memengaruhi objektivitas penyajian. Di sinilah diperlukan
profesionalitas pengusaha yang harus menjaga jarak dengan media-medianya agar
redaksi tetap bisa leluasa menyajikan muatan yang berkualitas dan mendidik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar