Jumat, 25 April 2014

Menghormati Pilihan Perempuan

Menghormati Pilihan Perempuan  

Sri Suciati  ;   Wakil Sekretaris Umum PGRI Provinsi Jawa Tengah,
Wakil Rektor I IKIP PGRI Semarang
SUARA MERDEKA, 23 April 2014
                                     
                                                                                         
                                                             
ORANG tua mana tak bangga ketika bercerita bahwa anak perempuannya yang baru lulus perguruan tinggi diterima bekerja pada sebuah perusahaan multinasional.
Tiap anak juga bangga saat mengisi borang menuliskan bahwa ibunya adalah sarjana dan bekerja sebagai direktur sebuah perusahaan, misalnya. Secara umum, sebagian besar masyarakat beranggapan bersekolah atau menempuh pendidikan itu untuk ’’mencari’’ pekerjaan. Selain itu, pekerjaan dianggap sebagai pemberi status.

Tak mengherankan makin banyak orang tua menyadari pentingnya pendidikan bagi anak perempuan mereka. Harapan besarnya adalah selain bertitel sarjana, anaknya mempunyai karier baik, mengangkat status orang tua dan keluarga. Saat ini jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi makin meningkat.

Melalui pendidikan, terbentang luas harapan dan angan-angan yang mungkin diraih. Sebagian perempuan bercita-cita bekerja di kantor atau meniti karier, sebagian lagi bercita-cita membuka usaha memberi kesempatan kerja bagi orang lain. Wajar bila orang tua menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi dengan perjuangan keras berharap memperoleh imbalan setimpal secara ekonomi.

Bagaimana jika anak yang telah dengan susahpayah dikuliahkan, lulus dengan predikat sangat memuaskan, bahkan cumlaude memilih untuk tidak bekerja tapi lebih memilih berkeluarga, menjadi ibu rumah tangga? Kalimat, ìKenapa sekolah tinggi-tinggi bila akhirnya kembali ke dapur juga’’ menjadi reaksi umum yang sering kita dengar. Adakalanya perempuan ingin benar-benar menjadi ibu rumah tangga 100 persen. Tujuannya supaya bisa lebih berkonsentrasi merawat, mengasuh, dan mendidik anak.

Harapan bisa menyiapkan anak menjadi orang yang lebih hebat pun terbuka lebar. Dengan pendidikan dan wawasan luas perempuan tersebut paham bagimana memberi asupan makanan dan gizi cukup, bagaimana membekali anak dengan sikap, perilaku, dan karakter yang baik. Intinya, ibu seperti itu benar-benar dibutuhkan di tengah keluarganya untuk menjadikan anak-anaknya hebat.

Jika ada banyak perempuan seperti itu maka guncangan besar atau great disruption sebagaimana dikhawatirkan Francis Fukuyama tak bakal terjadi. Dalam buku The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Fukuyama menyebutkan guncangan besar itu ditandai kemeningkatan patologi sosial seperti kriminalitas, disharmoni keluarga, dan angka perceraian yang tinggi.

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, patologi sosial itu terus meningkat dari waktu ke waktu. Kejahatan atau kriminalitas misalnya, banyak dilakukan oleh remaja dan terus meningkat dari waktu ke waktu.

Penyebabnya, menurut Sopari, antara lain karena separuh dari mereka, pada usia emasnya diasuh oleh pembantu atau baby sitter mengingat orang tua mereka bekerja. Sayang, keinginan perempuan menjadi ibu rumah tangga 100 persen sering harus berhadapan dengan keinginan masyarakat yang secara umum menempatkan perempuan yang berkarier di luar rumah pada posisi yang lebih berkelas.

Pendidikan Perempuan

Tiap pilihan mengandung konsekuensi. Satu hal yang harus mendapatkan perhatian, apa pun pilihan perempuan, semisal berkarier di sektor publik atau menjadi ibu rumah tangga, perempuan tetap membutuhkan pendidikan yang cukup.

Menurut Sopari, pendidikan akan menaikkan posisi tawar perempuan dalam pengambilan keputusan, baik sebagai istri atau anak dalam keluarga, maupun sebagai anggota/warga negara dalam konteks bermasyarakat/ bernegara.

Hal itu mengingat selama ini, baik sebagai istri maupun anak, pendapat dan ide perempuan umumnya kurang diperhitungkan dalam keluarga. Keputusan keluarga pada galibnya menjadi keputusan ayah. Menurut Rahayu dan Suharyo, perempuan dibatasi hanya untuk pengambilan keputusan dalam rumah tangga, seperti menentukan jenis menu, dan perabot rumah.

Untuk urusan lebih besar seperti pembelian dan penjualan aset besar, menikahkan anak, dan membiayai sekolah anak, masih lebih banyak ditentukan lakilaki. Demikian juga sebagai warga negara, meskipun undang-undang mengamanatkan minimal 30% keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif, angka itu belum bisa dicapai hingga sekarang.

Selain itu, dengan pendidikan yang memadai memungkinkan perempuan memiliki daya tawar tinggi dalam pekerjaan. Sebut saja upah kerja buruh perempuan selalu jauh lebih rendah dibanding lakilaki. Banyak perusahaan lebih suka memperkerjakan perempuan karena upah yang murah dan tidak banyak protes.

Demikian juga kisah memilukan yang menimpa banyak TKW kita di luar negeri boleh jadi banyak berkurang jika mereka dibekali pendidikan yang cukup. Selanjutnya jika suami dan istri harus bekerja, harus ada jalan keluar bagi pengasuhan anak. Diperlukan komitmen antara suami dan istri karena bagaimana pun kesejahteraan dan keharmonisan keluarga jadi tujuan utama.

Apalah arti keberlimpahan materi andai keluarga berantakan, anak-anak tumbuh liar, tidak kenal sopansantun, dan kasih sayang. Dalam hal ini, limpahan kasih sayang dan perhatian dengan tetap menjalin komunikasi dan keakraban antaranggota keluarga; ayah, ibu, anak, serta pengasuh anak di rumah, menjadi kunci keharmonisan keluarga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar