Menghitung
Hasil Pemilu
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif
The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 10 April 2014
Hari
pencoblosan sudah dilalui. Pemilih di luar dan di dalam negeri telah diberi
kesempatan menyalurkan hak konstitusionalnya untuk turut menentukan nasib
bangsa ini lima tahun ke depan.
Inilah
praktik demokrasi elektoral yang sejatinya memang memerlukan dukungan warga
secara sukarela. Biasanya ada tiga hal menarik yang ingin segera diketahui
masyarakat usai pemilu legislatif. Pertama, tren kemenangan atau kekalahan
partai kontestan. Rujukan sementaranya adalah hitung cepat (quick count) dan exit poll yang dilakukan sejumlah lembaga. Kedua, tingkat
partisipasi warga dalam pemilu, misalnya terkait dengan berapa jumlah pemilih
dan berapa angka golput. Ketiga, potensi koalisi antar partai kontestan yang
akan menjadi pijakan jelang pemilu presiden.
Demokrasi Konsensus
Pemilu
pasti tidak akan memuaskan semua pihak. Diperlukan kedewasaan berpolitik
untuk menjaga sikap agar tidak kontradiktif dengan tujuan penyelenggaraan
pemilu, yakni lahirnya kekuasaan yang sah (legitimate power). Sirkulasi elite lima tahunan yang sudah
menjadi konsensus tentu akan menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah.
Jumlah kursi legislatif terbatas, 560 kursi untuk DPR RI, 132 kursi DPD,
2.112 kursi DPRD, sementara yang menjadi caleg ada sekitar 200.000 caleg dari
beragam partai politik.
Di
banyak hitungan cepat yang sudah beredar di media massa, tampak PDIP unggul.
Dari data Indonesia Research Center
(IRC) yang bekerja sama dengan KORAN SINDO menunjukkan angka perolehan suara
PDIP 18,98%, Golkar 14,9%, dan Gerindra 11,9%. Angka-angka tadi tentu bukan
data resmi KPU sehingga partai yang diunggulkan jangan dulu jemawa. Masih
harus menunggu tahapan pemilu berikutnya, yakni rekapitulasi suara tingkat
nasional (28 April–6 Mei), penetapan hasil pemilu (7–9 Mei), penetapan
perolehan kursi (11–18 Mei).
Namun
demikian, tren perolehan suara yang dibaca secara ilmiah oleh lembaga-lembaga
yang melakukan hitung cepat juga tak bisa dinafikan sebagai pendulum untuk
menentukan posisi partai-partai kontestan pemilu, sekaligus sebagai menjadi
rujukan posisi mereka jelang pemilu presiden. Artinya, beberapa jam setelah
usai pemungutan suara, sesungguhnya bisa diprediksi seperti apa peta kekuatan
partai-partai tersebut. Pemilu 2014, seperti halnya juga pemilu-pemilu
sebelumnya, tak akan menghasilkan satu partai dominan.
Dalam
tulisan Arend Lijphart Patterns of
Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries
(1999) menyebutkan dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya,
cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus. Koalisi untuk membangun
pemerintahan merupakan bagian dari konsensus tersebut. Di Pemilu 1955, hanya
empat partai yang benar-benar mendapatkan dukungan signifikan di atas 16%,
yakni PNI (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%), dan PKI (16,4%). Selebihnya
partaipartai kecil yang didukung kurang dari 3%.
Pola
serupa terjadi di Pemilu 1999, hanya ada dua partai yang benar-benar
memperoleh dukungan signifikan yakni PDIP (33,7%) dan Golkar (22,4%). Di luar
itu, ada partai papan tengah seperti PKB (12,6%), PPP (10,7%) dan PAN (7,1%).
Selebihnya hanya partai-partai yang didukung tak lebih dari 2%. Pemilu 2004
juga tak menghasilkan partai dominan, Golkar (21,6%), PDIP (18,5%), PKB
(10,6%), PPP (8,2%), Partai Demokrat (7,5%), PKS (7,3%), PAN (6,4%).
Selebihnya
partai-partai yang didukung kurang dari 3%. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan
partai pemenang pemilu, yakni Demokrat, juga tak menjadi pemenang dominan
dengan 20,8%. Masih ada Golkar (14,45%), PDIP (14,03%), di bawahnya ada
partai-partai yang lolos parliamentary
threshold yakni PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. Dengan
demikian, ada benang merah yang nyata bahwa demokrasi konsensus inilah yang
menjadi wajah hasil pemilu kita, termasuk di Pemilu 2014.
Peta Jalan
Jika
melihat hasil sementara versi hitung cepat Pemilu 2014, potensi koalisi ada
di tiga poros seperti sudah diprediksi jauh-jauh hari, yakni poros PDIP
(Jokowi), Golkar (Aburizal Bakrie), dan Gerindra (Prabowo). Tetapi karena
perolehan suara tak ada yang dominan, lagi-lagi peta koalisi akan sangat
ditentukan oleh pergerakan partai-partai papan tengah. Menurut saya, koalisi
partai akan sangat ditentukan oleh beberapa faktor utama. Pertama, pergerakan
Demokrat, Golkar, Gerindra, dan Hanura.
Hingga
sekarang, Demokrat masih menjalankan skenario konvensi untuk mencari presiden
sendiri. Tapi sepertinya Demokrat akan lebih membaca hitungan realistis
perolehan suara yang melorot tajam untuk menjalankan skenario BATNA (best alternative to negotiated agreement).
Misalnya dengan memberikan dukungan kepada capres partai lain yang paling
mungkin berkoalisi. Pertimbangan Demokrat tentu adalah kemungkinan fase
turbulensi setelah turunnya SBY dari kekuasaan dua periode.
Skenario
Golkar adalah mencari mitra paling potensial yang bisa menaikkan tingkat keterpilihandandukungannyatauntukARB.
Namun, Golkar sebagai partai berpengalaman tentu akan berhitung cermat soal ”strategic entry”. Meminjam analisis
Gary W Cox dalam bukunya Making Vote
Count soal strategic entry
menghitung tiga pertimbangan penting, yakni biaya memasuki arena (cost of entry), keuntungan-keuntungan
yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits
of office), dan adanya kemungkinan-kemungkinan perolehan dukungan dari
para pemilih (probably of receiving
electoral support).
Dalam tiga
pertimbangan ini, Golkar sangat lihai membaca peran sekaligus kekuatannya di
tengah konfigurasi. Dengan demikian, Golkar masih sangat mungkin menjalankan
skenario utama yakni mengusung ARB, bisa juga rencana B yakni Golkar menjadi
”pedagang menentukan” bagi siapa pun yang berpotensi menang. Gerindra dan
Hanura juga masih sangat mungkin berebut dukungan dari partai-partai tengah
dan bawah. Prabowo kerap disebut sebagai lawan tanding Jokowi paling
berpotensi.
Namun,
skenario ini bisa juga tidak berjalan mulus akibat pergerakan komunikasi
politik WIN-Htyang masih sangat mungkin meyakinkan beberapa partai papan
tengah dan bawah untuk membentuk poros kekuatan tersendiri. Faktor keberadaan
Hary Tanoesoedibjo (HT) membuat Hanura masih sangat mungkin membuka strategi ZOPA
(Zone of Possible Agreement) dengan
kekuatan lain. Kedua, akan sangat ditentukan oleh sikap PDIP sebagai partai
yang berpotensi menjadi pemenang pemilu.
Banyak
elite PDIP yang bicara di media. Mereka akan menjalankan model koalisi
terbatas berbasis platform. Jika
skenario jadi digunakan, tentu PDIP akan berkoalisi dengan sedikit partai
yang tidak memiliki hambatan psikopolitis, misalnya dengan PKB dan Nasdem
yang memperoleh suara lumayan. Memang, PDIP juga masih sangat mungkin
berkoalisi dengan Hanura, PAN, atau bahkan Golkar. Skenario-skenario ini
masih sangat mungkin dinegosiasikan dan dimatangkan dalam koalisi. Kita tentu
berharap hasil pemilu legislatif ini menjadi modal dasar sirkulasi elite yang
sehat.
Praktik
koalisi besar hanya menimbulkan obesitas kekuasaan. Rumus dukungan besar di
parlemen bisa menjamin pemerintahan efektif ternyata tak terbukti di dua
periode pemerintahan SBY. Alasannya jelas, karena koalisi sangat pragmatis,
rapuh, dan tak berorientasi pada rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar