Memilih
untuk Indonesia
Titi Anggraini ; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
|
KORAN
SINDO, 08 April 2014
Setelah
sekurangnya dua tahun lebih diwarnai ingar-bingar politik jelang pemilihan
umum (pemilu), dari penyusunan undang-undang pemilu sampai keramaian persiapan
penyelenggaraan tahapan-tahapan pemilu, akhirnya saat itu pun tiba.
Tepat
pada Rabu, 9 April 2014, secara serentak seluruh warga negara Indonesia yang
punya hak pilih (yang berada di dalam negeri) akan menggunakan hak pilihnya
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota.
Di tempat pemungutan suara (TPS), pemilih akan memberikan suaranya mulai
pukul 07.00–13.00 waktu setempat, kecuali di Aceh, pemilih akan gunakan hak
pilihnya mulai pukul 08.00–14.00 WIB.
Sementara
itu, warga negara Indonesia yang berada di luar negeri sudah menggunakan hak
pilihnya secara lebih awal sejak 30 Maret sampai dengan 6 April yang lalu,
baik dengan langsung datang ke TPS ataupun via drop box dan pos. Meski tingkat partisipasi pemilih pada pemilu
di luar negeri tidak terlalu tinggi (diperkirakan di bawah 50% secara
keseluruhan), semoga hal itu tidak lantas menjadi cerminan tingkat
partisipasi pemilih di dalam negeri 9 April nanti. Ada optimisme yang besar
bahwa tingkat partisipasi pemilih pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD
(Pemilu Legislatif) 9 April kelak akan tinggi.
Harapan
ini ditopang oleh berbagai hasil survei yang menyebut animo dan antusiasme
yang tinggi dari masyarakat untuk memilih. Survei yang dirilis Lembaga Survei
Indonesia (LSI) bekerja sama dengan International
Foundation for Electoral System (IFES) pada Desember 2013 lalu, misalnya,
menyebut bahwa 90% responden menyatakan akan ikut memilih pada Pemilu
Legislatif 2014, 9% sisanya menyatakan akan ikut memilih, dan hanya 1%
responden yang menyatakan tidak akan memilih.
Sisanya
1% menjawab tidak tahu atau tidak menjawab. Kalau survei itu benar adanya, ia
sudah melampaui target partisipasi yang diharapkan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dalam Rencana Strategis yang disusunnya, yaitu 75% pemilih akan gunakan
hak pilihnya pada Pemilu Legislatif 2014. Tapi lagi-lagi kita tetap harus
ingat bahwa 90% itu adalah pernyataan baru “akan memilih”. Artinya, ia baru
akan berarti banyak kalau pemilih lalu benar-benar menggunakan hak pilihnya
pada hari-H pemilu.
Karena
itu, menjadi penting bagi KPU untuk menjaga semangat pemilih dalam satu hari
waktu tersiksa ini guna benarbenar meyakinkan pemilih bahwa suara mereka
penting untuk dihantarkan ke kotak suara sebagai rangkaian dari mengantarkan
perubahan untuk Indonesia. Bahwa mereka para pemilih akan memilih untuk masa
depan bangsa, akan memilih untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih
baik. Mereka akan memilih untuk Indonesia.
Dalam data
terakhir yang dirilis KPU, setidaknya 185.822.507 pemilih tercatat dalam
daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu Legislatif 2014. Belum termasuk pemilih
luar negeri sebanyak 2.024.066 orang. Dalam hal jumlah pemilih, menurut IFES
(2013), pemilu legislatif Indonesia adalah pemilu yang diselenggarakan dalam
satu hari terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Dalam konteks
kompleksitasnya, pemilu legislatif Indonesia bisa jadi adalah pemilu paling
kompleks di dunia, yang melibatkan lebih dari empat juta petugas
penyelenggara pemilu yang tersebar di 545.764 TPS.
Dengan
6.980 panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan 81.093 panitia pemungutan suara
(PPS). Pemilih akan memilih calon anggota legislatif yang tersebar di 77
daerah pemilihan (dapil) DPR RI, 259 dapil DPRD Provinsi, dan 2.102 dapil
DPRD kabupaten/ kota. Ada 560 kursi DPR RI, 132 kursi DPD, 2.112 kursi DPRD
provinsi, dan 16.895 kursi DPRD kabupaten/kota yang akan diperebutkan. Atau
jika ditotal ada 19.699 kursi di 2.471 dapil yang akan menjadi target
kompetisi oleh lebih dari 200.000 caleg dari partai politik maupun
perseorangan DPD di seluruh Indonesia.
Orang Baik untuk Indonesia
Deretan
angka jumlah caleg tersebut sejatinya bukan sekadar deretan angka-angka
semata. Mereka adalah orangorang yang akan dipilih untuk menjadi representasi
rakyat di parlemen nanti. Mereka yang kelak akan menghadirkan suara konstituennya
yang nun jauh di dapil sana untuk terdengar nyaring di parlemen. Mereka akan
membuat rakyat yang tak hadir di parlemen menjadi mampu didengar dan
terdengar nyaring aspirasinya dalam berbagai pembuatan aturan, penyusunan
anggaran, maupun pelaksanaan pengawasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Maka
itu, pilihan kita menjadi bukanlah sekadar pilihan yang biasa saja. Pemilih
tak sekadar datang dengan mandat yang berakhir di bilik suara. Mandat yang
sekali selesai. Pemilih akan memilih dengan konsekuensi apakah mereka akan
membiarkan para orang jahat, berandal, atau bandit politik yang akan duduk di
parlemen sana ataukah suaranya akan dikonsolidasikan untuk memilih para orang
baik, orang berintegritas, orang jujur, orang bersih, orang bertanggung
jawab, dan orang amanah yang akan mewakili mereka duduk sebagai wakil rakyat
di parlemen sana.
Lagi-lagi,
saya ingin mengutip ucapan seorang akademisi politik yang menyebutkan bahwa “few contrasts between dictatorship and
democracy are sharper than this one: in democracy the citizens can vote the
leaders out of office. The citizens’ ability to throw the rascals out seems
fundamental to modern representative democracy because it is the ultimate
guarantee of a connection between citizens and policy makers” (Bingham Powell, Jr, 2000).
Esensi
dari pandangan di atas menyebutkan bahwa jika kita marah pada ketidakadilan,
ketidakbecusan, wakil rakyat yang tidak representatif, korup, curang, dan
minus integritas, maka kini saatnya seluruh kemarahan itu harus disalurkan
dalam sebuah pilihan bertanggung jawab. Pilihan kita wajib kita
konsolidasikan kepada orang baik yang akan menggeser keluar para orang jahat
dan bandit politik dari kekuasaannya. Karena di sanalah demokrasi menemukan
harganya.
Demokrasi
memberi maknanya saat rakyat biasa punya kuasa penuh untuk menentukan siapa
yang akan ia pilih untuk memimpinnya dan akan ia tagih janjinya kelak sebagai
pemimpin. Sesuatu yang membuat beda antara demokrasi dan sistem kediktatoran.
Pemilu 9 April 2014 bukan sekadar momentum konsolidasi demokrasi bagi
Indonesia. Ia menjadi penanda dan juga titik balik apakah demokrasi kita
memang mampu melahirkan orang-orang berkualitas yang akan membawa Indonesia
pada masa depan yang lebih baik.
Apakah
rakyat Indonesia akan membiarkan mereka yang pro-status quoduduk di
kekuasaannya. Ataukah kita akan wujudkan pilihan kita kepada orang-orang baik
yang akan berbuat untuk kemajuan masa depan Indonesia. Semua berada pada
tangan anda. Karena itu, mantapkan kembali pilihan kita. Rabu, 9 April 2014,
kita memilih wakil rakyat yang bukan hanya untuk diri kita sendiri, keluarga,
kelompok, komunitas, atau masyarakat kita. Kita pun akan memilih untuk
Indonesia, Indonesia yang lebih baik. Teliti kembali rekam jejak caleg dan
partai peserta pemilu yang ada.
Lupakan
mereka yang mengkhianati demokrasi dan kedaulatan rakyat dengan perilaku
curang, korup, dan transaksional. Kita tak boleh biarkan mereka mengurangi,
apalagi mencurangi kemurnian suara pemilih. Jangan biarkan suara kita
dirampok secara hina oleh bandit politik atas nama sejumlah rupiah. Karena
suara yang hanya satu itu adalah masa depan Indonesia. Ayo pilih orang baik untuk Indonesia. Kenali mereka, pilih, dan kelak
kita akan tagih janjinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar