Senin, 14 April 2014

Menerbangkan Garuda Kian Tinggi

Menerbangkan Garuda Kian Tinggi

(Wawancara)
Emirsyah Satar  ;   Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
KOMPAS, 13 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Orang lebih mengetahui Emirsyah Satar sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, padahal Emir masuk Garuda ketika perusahaan itu tertimpa masalah keuangan. Ia diminta pulang oleh pemerintah untuk menjadi Direktur Keuangan Garuda 1998-2003. Pada saat itulah, ia membidani restrukturisasi keuangan Garuda agar Garuda terbang kian tinggi.

Dengan pengalaman yang luas di bidang keuangan dan di berbagai perusahaan multinasional, Emir berperan sebagai dirigen dalam restrukturisasi keuangan yang dilakukan Garuda pada tahun 2001. Setelah beberapa tahun, utang yang mencapai 1,8 miliar dollar AS itu bisa dibereskan. Langkah tersebut menyelamatkan Garuda Indonesia dari ancaman kebangkrutan. Atas keberhasilan tersebut, restrukturisasi keuangan Garuda pada tahun 2001 telah ditetapkan oleh majalah Travel Finance yang berbasis di New York sebagai Financial Restructuring of the Year.

Emir didapuk sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pada 2005 hingga sekarang. Garuda terus mengepakkan sayap. Prestasi yang membanggakan adalah ketika maskapai ini untuk pertama kali meraih penghargaan dari Skytrax, perusahaan periset penerbangan dunia, sebagai The World’s Best Economy Class pada tahun 2012. Emir mengakui semua itu adalah hasil kerja keras karyawan.

Saat pertama kali Anda diminta menjadi pemimpin di perusahaan ini, apa yang Anda pikirkan?

Awalnya saya menolak. Saat itu, Menteri BUMN adalah Sugiharto, sementara saya masih bekerja di bank, saya waktu itu Wakil Dirut Bank Danamon. Sementara waktu itu Dirut Bank Danamon Gatot Suwondo. Saat diminta untuk menjabat Dirut Garuda, saya sempat meminta, melalui Gatot Suwondo, yang lain saja untuk mengurus Garuda, tetapi Sugiharto mencari saya. Pak, silakan cari orang lain saja! Pada pertemuan kedua, saya mengetahui bahwa Pak Sugiharto kenal dengan Pak Abdul Gani dan meminta beliau menjadi komisaris utama. Akhirnya, saya bersedia, setelah mengetahui Abdul Gani menjadi Komisaris Utama Garuda. Mungkin Pak Sugiharto tahu bahwa saya tidak bisa menolak jika komisaris utamanya Pak Abdul Gani.

Apakah hanya karena perasaan tidak enak?

Saya pikir, sepertinya melalui Garuda, saya bisa berkontribusi kepada negeri ini. Akan tetapi, saya juga minta tiga hal ke Pak Sugiharto, yaitu Garuda jangan didikte harus terbang ke mana, pemilihan jenis pesawat dan jenis mesin kita jangan didikte, serta karena ada utang 900 juta dollar AS saya melihat kita butuh injeksi modal 400 juta dollar AS. Saya minta injeksi itu. Yang pertama dan kedua dipenuhi, tetapi yang ketiga hanya dipenuhi 100 juta dollar, tetapi alternatifnya kita boleh menawarkan saham perdana atau IPO.

Sekarang Garuda tidak dipandang sebelah mata lagi di dunia. Perubahan apa yang dilakukan maskapai Anda?

Itu ceritanya panjang. Kita selalu melihat transformasi. Transformasi adalah perubahan, perubahan untuk perbaikan. Garuda sudah melaksanakan hal ini secara konsisten dan bertahap. Saat awal tahun 2006, kami sudah membuat peta jalan yang ada tahapannya. Kalau Anda melihat laporan keuangan kami, Anda akan melihat segitiga yang terkenal. Kami realistis, dua tahun pertama adalah tahapan survival, dua tahun berikutnya masuk ke tahap putar haluan, lalu masuk ke tahap pertumbuhan. Kalau kami melihat ke belakang, kami benar-benar konsisten. Mungkin ada yang lolos, mungkin ada yang bisa dilakukan, tetapi tidak dilakukan, tetapi kami tetap pada jalan kami. Namun, ini semua, kan, bagus di atas kertas. Baru menjadi sangat bagus jika bisa dieksekusi.

Prinsip kami, kamu punya rencana, kamu mengeksekusinya. Akan tetapi, eksekusi itu kesannya membunuh. Ada kata yang bagus, yaitu deliver, seperti dalam delivering baby, bukan mengeksekusi. Untuk bisa menyampaikan yang kami rencanakan, kami mempersiapkan perangkat-perangkat yang diperlukan. Semua yang melaksanakan adalah karyawan. Kami ingin karyawan Garuda mau berubah seperti yang kami mau.

Butuh waktu berapa lama untuk memastikan rencana strategis itu berjalan?

Sekitar tiga tahun dari mulai saya menjabat sampai 2009. Transformasi akan mudah dilakukan kalau kami mempunyai duit banyak. Masalahnya kami tidak mempunyai duit banyak, malah utang. Saat transformasi itu biasanya orang yang kinerjanya buruk selalu minta bantuan-bantuan pihak luar untuk memasukkan kepentingannya, tetapi kami konsisten saja. Keputusan yang kami buat adalah yang terbaik buat perusahaan, bukan buat direksi, bukan untuk karyawan, dan bukan untuk pemegang saham. Yang terbaik untuk perusahaan sehingga kami melakukan justifikasi mudah. Hingga akhirnya, kami sepakat untuk menandatangani perjanjian kerja bersama.

Penandatanganan itu dilakukan setelah enam tahun, sembilan bulan, dan dua hari. Kami harus berpikir menyelamatkan perusahaan. Perusahaan tidak ada, serikat pekerja tidak ada, direksi tidak ada, dan karyawan tidak ada. Ujung-ujungnya ke kesejahteraan pegawai. Saya kemudian membuat konsep MMC untuk menghargai karyawan. Meritocracy, karyawan tidak dibayar sama rata, tetapi berdasarkan prestasi. Market price, kami berusaha membayar karyawan berdasarkan harga pasar. Kami sudah hapus indeks gaji yang berdasarkan gaji pilot, sekarang semua berdasar pasar. Kemudian Company capability, karyawan boleh minta dibayar sesuai harga pasar, tetapi kalau perusahaan tidak mampu, tidak bisa dipenuhi. Kami memakai konsultan untuk membantu menangani masalah ini.

Ketika kerap berhadapan dengan perusahaan-perusahaan produsen pesawat, bagaimana kita memosisikan?

Dulu kalau ada pameran penerbangan, kalau kita ingin bertemu dengan bankir atau investor, waduh dulu susah, tetapi kita selalu berusaha. Akan tetapi, sekarang berbeda, kita selalu yang dicari. Mereka ingin bertemu dengan kita. Saya melihat kalau kita akan bertemu dengan mereka, bersiaplah dengan apa yang kita mau. Kita konsisten dengan apa yang kita inginkan karena dulu setiap pertemuan kita tidak tahu apa yang kita inginkan. Contohnya, kita ingin membeli pesawat dengan harga murah. Nah, kita harus mampu menjelaskan lalu dengan cara apa?

Karena setiap orang pasti mau membeli pesawat dengan harga murah. Untuk itu, kita harus mencari cara-cara kreatif bukan sekadar harga murah itu. Semisal, Airbus sudah menandatangani kerja sama dengan Garuda Maintenance Facility untuk meningkatkan kapasitas teknisi di luar Toulouse. Seingat saya tidak banyak pusat pelatihan ini di negara lain. Misalkan dengan General Electric, kita minta membangun pusat layanan untuk mesin di sini. Kita mesti agresif, tetapi kita mesti realistis. Akhirnya, kita mendapatkan yang kita mau. Kalau hanya minta harga murah, orang lain akan melihat kita. Saya selalu bilang tempatkan Anda di posisi orang lain.

Kini Garuda masuk ke daerah-daerah terpencil dengan Garuda Explore. Apa tujuan Garuda?

Saya melihat dengan perkembangan Indonesia, kita tahu kota-kota kelas dua justru berkembang lebih tinggi. Kita juga melihat dengan MP3EI masyarakat membutuhkan konektivitas. Kita melihat peluang di situ. Oleh karena itu, kita ingin mengembangkan. Ini rencana lama, tetapi waktu itu perkembangan ini kita serahkan ke Merpati. Namun, dengan berjalannya waktu kita ingin masuk ke situ. Kita juga ingin membuka kesempatan untuk para wisatawan untuk masuk ke tempat-tempat itu. Mereka sering bertanya, Garuda terbang ke sana? Di beberapa negara, asuransi tidak ditanggung kalau dengan maskapai lain. Alasannya semua itu.

Bagaimana dengan bandara yang sangat sibuk dan kadang membuat penundaan kepergian ataupun kedatangan pesawat?

Sekarang pesawat harus berputar-putar di atas bandara hingga ada tambahan avtur yang nilainya puluhan juta dollar AS setahun. Semisal 737 butuh 2,6 ton avtur per jam. Kalau pesawat menunggu setengah jam saja, bisa dihitung kerugian akibat hal itu. Belum lagi kita harus menunggu saat hendak terbang. Semuanya adalah pekerjaan rumah kita, bukan hanya bandara, melainkan juga pengaturan lalu lintas udara. Perusahaan penerbangan juga harus disiplin.

Apa yang berubah pada diri Anda, dari mulai masuk dengan berbagai masalah dan sekarang Garuda dikenal di dunia internasional?

Kalau sekarang sih saya melihat enak semua. Kadang-kadang saya merasa, kadang kita butuh intervensi dari pemegang saham. Nah, itu kita kurang saya rasakan sehingga lama-lama kok ini perusahaan seperti milik pribadi saya. Perasaan seperti ini baik karena kalau kita ingin menyelamatkan perusahaan, kita harus merasa sebagai bagian dari perusahaan. Karena kalau tidak, kita merasa capai dan udah deh seperti lempar handuk saja, berhenti bekerja. Akan tetapi, saya suka tantangan dan ada perbedaan antara perusahaan penerbangan dan perbankan. Kalau di perbankan, kita memperbaiki portofolio agar sehat, perubahannya tidak terlihat kasatmata. Akan tetapi, kalau di perusahaan penerbangan, kalau kita perbaiki satu saja penumpang langsung merasa. Namun, sebaliknya kalau kita tidak melakukan perbaikan, penumpang juga akan merasakan. Ini mungkin tantangan yang kita nikmati.

Orang melihat Anda identik dengan Garuda dan sebaliknya. Bagaimana Anda menilai anggapan ini?

Ha-ha-ha, tidak seperti itulah. Sekarang, saya hanya ingin membuat satu sistem di mana ke depan siapa pun yang memimpin Garuda sistem itu sudah jalan. Jadi, ke depan ada tiga hal yang harus diciptakan agar menjadi perusahaan kelas dunia yang menyangkut sumber daya manusia, proses, dan teknologi. Dengan quantum leap, kita ingin Garuda menjadi perusahaan kelas dunia yang didukung dengan sumber daya manusia serta proses dan teknologi kelas dunia. Proses menyangkut pelayanan jasa dan juga pemeliharaan, sementara teknologi bukan hanya teknologi informasi, melainkan juga pesawat baru. Saya tidak mau Garuda itu Emir dan Emir itu Garuda, lama-lama kasihan saya.

Apakah pencapaian seorang CEO itu salah satunya adalah ada perasaan terlibat terlalu dalam ke perusahaan itu?

Memang seperti itu. Saya percaya, kita bekerja, kita harus punya hasrat, apa pun pekerjaan kita. Tanpa hasrat pekerjaan itu akan monoton terus ke kantor terasa terpaksa. Terus terang kalau saya ke kantor sebelum berangkat, saya selalu berpikir, hari ini mau ngapain, ya, apa saja yang harus dilakukan atau yang belum dilakukan agar perusahaan efisien. Pagi biasanya saya menelepon teman-teman di Garuda untuk mengecek pekerjaan. Kadang tidak enak sih pagi-pagi saya sudah menelepon mereka, tapi menurut saya sebagai CEO hal itu pasti akan terjadi dengan sendirinya. Hal ini karena kita nyaman dan terlibat terlalu dalam dalam pekerjaan. Hal-hal ini yang membuat kita kerja lebih keras. Tetapi, saya menyeimbangkan kerja dengan kegiatan lain, seperti pada malam hari dengan teman-teman saya menikmati makan malam dan lain-lain.

Anda biasa mengontak anak buah dan memastikan pekerjaan. Mengapa demikian?

Saya tidak tahu persis apakah karena kebiasaan saya kerja di perbankan atau itu kebiasaan saya pribadi. Saya terbiasa tidak bisa melihat sesuatu yang tidak sempurna. Itu suatu kebiasaan. Dalam sehari-hari sebelum mobil ada bunyi-bunyi, sopir saya selalu sudah memperbaiki karena menurut saya kalau kita tidak memperbaiki hal kecil sejak awal, akhirnya menjadi kebiasaan dan nantinya akan lebih mahal. Orang bilang the devil is in the detail. Akan tetapi, tetap saya akui masih banyak juga yang kelewatan. Kadang ada masalah yang muncul karena saya tidak melihat detail. Masalah ini terjadi karena sejak semula saya hanya berasumsi semuanya akan beres. Untuk itu, kita yang bekerja di Garuda bagaimana kita memperhatikan detail-detail pekerjaan.

Ada yang hendak membajak Anda?

Tawaran pasti banyak, tetapi saya berpikir mau menyelesaikan tugas saya, baru berpikir hal lain. Ada yang bertanya, Pak Emir setelah di Garuda mau ke mana? Saya sih sederhana, saya bertanggung jawab dan fokus terhadap pekerjaan sekarang serta berusaha untuk menyelesaikan, nanti baru berpikir mau ke mana.

Apakah Anda terpikir untuk masuk ke dunia politik?

Tidak, saya tidak pernah berpikir menjadi politisi. Ada banyak hal atau cara kita berkontribusi bagi negeri ini. Dalam hal ini, saya tidak mengambil jalan melalui politik. Paling tidak sampai sekarang masih berpikir seperti itu. Saya tetap sebagai profesional karena kompetensi inti saya di situ. Saya fokus di situ saja. Kadang orang banyak kemauan, nanti malah tidak ada yang selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar