Miskin
Makin Mahal
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan
Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor
|
KOMPAS,
12 April 2014
Sinyalemen komersialisasi
kemiskinan selangkah menuju kebenaran. Ini minimal ditunjukkan oleh
menguatnya dua indikator penting dalam lima tahun terakhir, yaitu efisiensi
program kemiskinan yang menurun drastis. Sebaliknya, inflasi riil bagi orang
miskin justru meningkat. Selama satu dekade terakhir, penurunan persentase
orang miskin per tahun terlalu rendah, bahkan sejak 2009 tidak pernah
mencapai 1 persen sekali pun.
Tercatat juga, setelah
pemerintah didukung elite akademis menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
dua kali lipat pada 2005, setahun berikutnya angka kemiskinan melonjak 2
persen.
Selama ini, pelaku program
kemiskinan mengelak dengan dalih anggaran kemiskinan terlalu rendah
dibandingkan dengan sektor pembangunan lainnya. Pernyataan itu hampir
sepenuhnya salah.
Pada 2012 tingkat kemiskinan
mencapai 11,96 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Untuk menguranginya,
total anggaran untuk kemiskinan pada tahun yang sama mencapai Rp 99,2 triliun
atau sekitar 7 persen dari keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Terlihat bahwa persentase anggaran
telah diguyurkan mendekati persentase kemiskinan. Yang mengkhawatirkan adalah
justru merosotnya efisiensi program kemiskinan. Anggaran kemiskinan Rp 19,1
triliun pada tahun 2000 mampu menurunkan 0,70 persen kemiskinan. Namun,
anggaran 2011 sebesar Rp 93,8 triliun hanya menurunkan 0,53 persen orang
miskin.
Meningkat pesat
Inefisiensi program kemiskinan
meningkat pesat sejak 2007. Untuk menurunkan 1 persen orang miskin dibutuhkan
anggaran Rp 26 triliun pada tahun 2000. Tepat tahun 2007 dibutuhkan Rp 45 triliun,
dan pada 2011 terus inefisien hingga dibutuhkan Rp 177 triliun atau empat
kali lipat.
Tahun 2007 menjadi awal Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Tulang punggung program
penanggulangan kemiskinan ini dicanangkan langsung oleh presiden dan
pendanaannya didukung terus oleh World
Bank, Asian Development Bank, Japan Bank for International Cooperation,
dan AusAid.
Menurut data Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, PNPM ternyata cenderung menambah
kemiskinan. Dalam situs lembaga tersebut, pengguna dapat menguji hubungan
berbagai program PNPM dan variabel lainnya. Hasilnya senantiasa konsisten
bahwa penambahan anggaran dan lokasi PNPM cenderung meningkatkan jumlah dan
persentase orang miskin seIndonesia.
Inflasi orang miskin
Garis kemiskinan diukur menurut
kadar kalori yang diterima tubuh miskin, atau nilai uang pengeluaran si
miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Sajogyo mengukur berdasarkan kaidah
gizi sebesar 1.900-2.100 kilokalori per kapita per hari. World Bank
mengusulkan garis pengeluaran sebesar 1,5 dollar AS per kapita per hari.
Pengukuran ala World Bank
tersebut sulit digunakan untuk menggaet indikator dinamika kesulitan ekonomis
orang miskin. Inflasi, bagi orang miskin, tidak bisa dihitung, karena garis
kemiskinan dipatok pada nilai uang yang sama. Sajogyo mengusulkan perubahan
nilai garis kemiskinan sebagai indikator inflasi riil yang dirasakan oleh
orang miskin.
Runtutan garis kemiskinan BPS
dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa orang miskin mengalami inflasi riil
yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Pada 2012 garis kemiskinan
meningkat sebesar 6,4 persen, di kota sebesar 5,6 persen dan di desa sebesar
7,4 persen. Data tersebut menginformasikan kehidupan ekonomis orang miskin
semakin sulit, terutama yang tinggal di desa.
Yang mengagetkan ialah munculnya
hubungan terbalik antara inflasi ekonomi nasional (berbasis ekonomi makro)
dan inflasi riil orang miskin (berbasis garis kemiskinan). Pada tahun 2009
inflasi nasional hanya 2,78, tetapi kenaikan garis kemiskinan mencapai 9,7
persen. Tahun berikutnya, inflasi melompat menjadi 6,96, sebaliknya garis
kemiskinan hanya bergerak 5,7 persen.
Artinya, inflasi ekonomi
nasional yang rendah lebih dinikmati oleh orang lapisan atas, sebaliknya
justru menyulitkan orang miskin. Informasi itu dikonfirmasi dengan lonjakan
indikator kesenjangan ekonomi yang tecermin pada peningkatan indeks Gini dari
0,32 tahun 2003 jadi 0,41 tahun 2013. Kiranya, orientasi pertumbuhan sektor
ekonomi nasional, akhir-akhir ini, berada di luar kepentingan orang miskin.
Celah harapan
Pola wilayah kemiskinan
menunjukkan bahwa pertama, jumlah orang miskin terbanyak, sebaliknya nilai
garis kemiskinan yang rendah muncul di Jawa. Kedua, persentase dan nilai
garis kemiskinan tertinggi terjadi di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Ketiga, jumlah dan persentase kemiskinan terendah konsisten di Kalimantan.
Pola tersebut menunjukkan
peluang penanggulangan kemiskinan terutama di Kalimantan, selanjutnya
Sulawesi, Sumatera, lalu Jawa. Adapun hambatan terbesar berada di wilayah
timur Indonesia.
Dari hasil diskusi terfokus
dengan warga desa di sejumlah wilayah di Indonesia, konsisten muncul upaya
keluarga agar keluar dari kemiskinan. Upaya tersebut mencakup kerja dan
usaha, serta pendidikan menengah bagi anak-anaknya. Hanya jenis program untuk
modal kerja yang dinilai membantu keluarga miskin. Di tingkat nasional, data
kasar Potensi Desa 2011 dari BPS mengonfirmasi dominasi orang miskin sebagai
pemanfaat program ekonomi mikro mencapai 60 persen desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar