Senin, 14 April 2014

Miskin Makin Mahal

Miskin Makin Mahal

Ivanovich Agusta  ;   Sosiolog Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor
KOMPAS, 12 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Sinyalemen komersialisasi kemiskinan selangkah menuju kebenaran. Ini minimal ditunjukkan oleh menguatnya dua indikator penting dalam lima tahun terakhir, yaitu efisiensi program kemiskinan yang menurun drastis. Sebaliknya, inflasi riil bagi orang miskin justru meningkat. Selama satu dekade terakhir, penurunan persentase orang miskin per tahun terlalu rendah, bahkan sejak 2009 tidak pernah mencapai 1 persen sekali pun.
Tercatat juga, setelah pemerintah didukung elite akademis menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dua kali lipat pada 2005, setahun berikutnya angka kemiskinan melonjak 2 persen.
Selama ini, pelaku program kemiskinan mengelak dengan dalih anggaran kemiskinan terlalu rendah dibandingkan dengan sektor pembangunan lainnya. Pernyataan itu hampir sepenuhnya salah.
Pada 2012 tingkat kemiskinan mencapai 11,96 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Untuk menguranginya, total anggaran untuk kemiskinan pada tahun yang sama mencapai Rp 99,2 triliun atau sekitar 7 persen dari keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Terlihat bahwa persentase anggaran telah diguyurkan mendekati persentase kemiskinan. Yang mengkhawatirkan adalah justru merosotnya efisiensi program kemiskinan. Anggaran kemiskinan Rp 19,1 triliun pada tahun 2000 mampu menurunkan 0,70 persen kemiskinan. Namun, anggaran 2011 sebesar Rp 93,8 triliun hanya menurunkan 0,53 persen orang miskin.
Meningkat pesat
Inefisiensi program kemiskinan meningkat pesat sejak 2007. Untuk menurunkan 1 persen orang miskin dibutuhkan anggaran Rp 26 triliun pada tahun 2000. Tepat tahun 2007 dibutuhkan Rp 45 triliun, dan pada 2011 terus inefisien hingga dibutuhkan Rp 177 triliun atau empat kali lipat.
Tahun 2007 menjadi awal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Tulang punggung program penanggulangan kemiskinan ini dicanangkan langsung oleh presiden dan pendanaannya didukung terus oleh World Bank, Asian Development Bank, Japan Bank for International Cooperation, dan AusAid.
Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, PNPM ternyata cenderung menambah kemiskinan. Dalam situs lembaga tersebut, pengguna dapat menguji hubungan berbagai program PNPM dan variabel lainnya. Hasilnya senantiasa konsisten bahwa penambahan anggaran dan lokasi PNPM cenderung meningkatkan jumlah dan persentase orang miskin seIndonesia.
Inflasi orang miskin
Garis kemiskinan diukur menurut kadar kalori yang diterima tubuh miskin, atau nilai uang pengeluaran si miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Sajogyo mengukur berdasarkan kaidah gizi sebesar 1.900-2.100 kilokalori per kapita per hari. World Bank mengusulkan garis pengeluaran sebesar 1,5 dollar AS per kapita per hari.
Pengukuran ala World Bank tersebut sulit digunakan untuk menggaet indikator dinamika kesulitan ekonomis orang miskin. Inflasi, bagi orang miskin, tidak bisa dihitung, karena garis kemiskinan dipatok pada nilai uang yang sama. Sajogyo mengusulkan perubahan nilai garis kemiskinan sebagai indikator inflasi riil yang dirasakan oleh orang miskin.
Runtutan garis kemiskinan BPS dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa orang miskin mengalami inflasi riil yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Pada 2012 garis kemiskinan meningkat sebesar 6,4 persen, di kota sebesar 5,6 persen dan di desa sebesar 7,4 persen. Data tersebut menginformasikan kehidupan ekonomis orang miskin semakin sulit, terutama yang tinggal di desa.
Yang mengagetkan ialah munculnya hubungan terbalik antara inflasi ekonomi nasional (berbasis ekonomi makro) dan inflasi riil orang miskin (berbasis garis kemiskinan). Pada tahun 2009 inflasi nasional hanya 2,78, tetapi kenaikan garis kemiskinan mencapai 9,7 persen. Tahun berikutnya, inflasi melompat menjadi 6,96, sebaliknya garis kemiskinan hanya bergerak 5,7 persen.
Artinya, inflasi ekonomi nasional yang rendah lebih dinikmati oleh orang lapisan atas, sebaliknya justru menyulitkan orang miskin. Informasi itu dikonfirmasi dengan lonjakan indikator kesenjangan ekonomi yang tecermin pada peningkatan indeks Gini dari 0,32 tahun 2003 jadi 0,41 tahun 2013. Kiranya, orientasi pertumbuhan sektor ekonomi nasional, akhir-akhir ini, berada di luar kepentingan orang miskin.
Celah harapan
Pola wilayah kemiskinan menunjukkan bahwa pertama, jumlah orang miskin terbanyak, sebaliknya nilai garis kemiskinan yang rendah muncul di Jawa. Kedua, persentase dan nilai garis kemiskinan tertinggi terjadi di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Ketiga, jumlah dan persentase kemiskinan terendah konsisten di Kalimantan.
Pola tersebut menunjukkan peluang penanggulangan kemiskinan terutama di Kalimantan, selanjutnya Sulawesi, Sumatera, lalu Jawa. Adapun hambatan terbesar berada di wilayah timur Indonesia.
Dari hasil diskusi terfokus dengan warga desa di sejumlah wilayah di Indonesia, konsisten muncul upaya keluarga agar keluar dari kemiskinan. Upaya tersebut mencakup kerja dan usaha, serta pendidikan menengah bagi anak-anaknya. Hanya jenis program untuk modal kerja yang dinilai membantu keluarga miskin. Di tingkat nasional, data kasar Potensi Desa 2011 dari BPS mengonfirmasi dominasi orang miskin sebagai pemanfaat program ekonomi mikro mencapai 60 persen desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar