Asianisasi
Menuju Tata Dunia Baru
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior
Kompas
|
KOMPAS,
13 April 2014
Belum
pernah sejarah hubungan internasional di kawasan Asia menjadi sangat tegang,
bergema riuh rendah dalam ”perang diplomasi” sejak dimulainya Perang Dingin
seperti pada dekade 1950-an. Menghadapi ”Abad Asia”, semua negara-bangsa
berebut pengaruh, menekan ancaman yang dihadapi negara-negara Asia ke titik
konflik terbuka melalui wilayah-wilayah klaim tumpang tindih kedaulatan.
Sejumlah
negara mulai memaksakan perubahan situasi geopolitik, menghadapi ”kebangkitan
Tiongkok” sebagai ancaman yang berpotensi mengganggu kesinambungan stabilitas
dan perdamaian kawasan. Perubahan geopolitik kawasan Asia, termasuk Asia
Tenggara, menjadi berubah ketika banyak negara, terutama Amerika Serikat
menjelang kunjungan Presiden Barack Obama, melihat perilaku Beijing sebagai
berpengaruh terhadap ”destabilisasi” kawasan.
Ini
dilihat oleh Tokyo, Manila, dan Canberra ketika Perdana Menteri Australia
Tony Abbott mengadakan kunjungan bilateral ke Jepang. Walaupun Abbott dan PM
Jepang Shinzo Abe tidak secara khusus mengacu pada perubahan perilaku
diplomasi megafon yang dilakukan Beijing akhir-akhir ini, kesepakatan
peningkatan pertahanan yang dicapai keduanya berpotensi mengubah struktur
geopolitik kawasan Asia.
Yang
mengejutkan dari kunjungan Abbott di Tokyo adalah kesediaan Jepang untuk
mengurangi beberapa tarif produk pertanian yang selama ini dilindungi secara
ketat oleh siapa pun yang memerintah di Tokyo. Untuk pertama kalinya, muncul
dalam perjanjian perdagangan bebas Australia-Jepang pekan lalu, Abe sepakat
mengurangi tarif daging beku menjadi 19,5 persen dari 38,5 persen dan tarif
daging mentah menjadi 23 persen dari 38,5 persen untuk waktu 15 tahun
mendatang.
Sebaliknya,
dari kesepakatan ini, Abbott setuju menghilangkan tarif otomotif asal Jepang.
Sampai sekarang tak ada yang mengetahui apa yang mendorong perubahan sikap
Jepang, yang selama ini bersikeras tak membuka pasaran pertanian mereka. Ada
spekulasi bahwa kesepakatan Australia-Jepang akan menjadi pintu percobaan
mendorong Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) buatan AS yang tak melibatkan
Tiongkok, yang terbentur proteksi dalam negeri Jepang yang sangat ketat.
Rentankan ASEAN
Tidak
hanya persaingan dalam wujud perlombaan senjata antarnegara Asia yang
berpengaruh pada negara-negara anggota ASEAN. Persaingan ekonomi juga akan
berdampak luas, termasuk pada Indonesia.
Persoalan
yang kita hadapi sekarang adalah, apakah ”kebangkitan Tiongkok” memang
sebagai ancaman bagi Asia dan berpotensi menyebabkan terjadinya destabilisasi
kawasan, yang menikmati stabilitas keamanan dan perdamaian selama kurun 30
tahun terakhir ini?
Pertanyaan
ini memiliki konsekuensi panjang, setidaknya dalam dua hal. Pertama, kawasan
Asia—dengan peradaban panjang, kemampuan menunjukkan kepiawaian membangun
kekuatan ekonomi, dan memiliki ketahanan menghadapi rentannya sistem ekonomi
globalisasi yang terguncang oleh krisis keuangan AS dan krisis euro—akan
terseret dalam kancah geopolitik ala Perang Dingin melalui perlombaan senjata
negara-negara Asia.
Kedua,
politik poros AS sebagai perimbangan ulang mempertahankan kepentingan intinya
di Asia tidak mampu mencapai momentum dan dukungan memadai (khususnya dari
ASEAN). AS mulai menjalankan strategi merentankan kohesi kerja sama Asia di
berbagai bidang akibat merosotnya kemampuan geopolitik AS mengimbangi politik
global Rusia atas Suriah dan Crimea, dan berpotensi menjadi preseden di Asia
melalui ”kebangkitan Tiongkok”.
Ini
tidak hanya terwujud dalam perlombaan senjata yang terjadi beberapa tahun
terakhir ini, tetapi juga dalam bentuk nyata berbagai perjanjian kerja sama
penempatan pasukan Marinir AS (seperti di Darwin, Australia), atau penyediaan
fasilitas militer dengan Filipina memperluas cakupan ”wilayah perang” AS di
sisi timur Asia.
Melalui
sisi ancaman militer, seolah-olah potensi konflik akan terjadi pada perebutan
klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Timur dan Laut Selatan, dari
Kepulauan Diaoyu (Senkaku) ke Kepulauan Spratly dan Paracel. Di sisi ekonomi,
para perancang strategi Jepang di tengah upaya ke luar dari sifat pasifis,
kehilangan kepercayaan kohesi dan ketahanan ekonomi Asia, seperti tecermin
dalam mekanisme ASEAN+3 (Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan).
Abad Asia
Harus
dipahami bahwa perlombaan senjata di negara-negara Asia dipicu oleh AS
sendiri melalui ”kebijakan pivot” sebagai pengejawantahan strategi global AS
yang hanya mengenal kebijakan ”memperkuat aliansi”. Ini yang mendorong Abe
membuka interpretasi ulang konstitusi pasifis Jepang agar bisa memainkan
peran ”pertahanan kolektif”.
Ini juga
yang mendorong Presiden Filipina Benigno Aquino III mengikat perjanjian kerja
sama pertahanan ”on-demand access”
ke bekas pangkalan angkatan laut Subic dan pangkalan udara Clark untuk
memperoleh perangkat militer AS. Hal ini dengan mengabaikan kemungkinan
perlunya bekas kedua pangkalan itu diawaki militer AS.
Hal sama
terjadi di bidang ekonomi, seperti persaingan antara TPP dan Kemitraan
Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) buatan ASEAN, mengacu pemecahbelahan
kekuatan ekonomi kawasan. Termasuk juga gagasan Perjanjian Kerangka Kerja
Sama Ekonomi (ECFA) tahun 2010 antara Tiongkok dan Taiwan, yang membuka peluang
luas dalam perdagangan jasa, dan akan mendorong perubahan dalam ”kebijakan
satu Tiongkok” banyak negara Asia.
Sejak
lama, Indonesia tidak percaya pada kekuatan hegemoni kawasan, militer, maupun
ekonomi, dan menjadi dasar pemikiran Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
tentang kesetimbangan dinamis dalam reposisi kekuatan-kekuatan negara besar
di kawasan. Sejak krisis keuangan Asia 1997, diyakini Abad Asia menjadi mimpi
bersama, menjadikan ketahanan regional paling solid di tengah ketimpangan
dominasi sistem internasional di bidang politik, militer, ekonomi, dan
keuangan.
Strategi
perdamaian dan stabilitas Asia akan selamanya ditentukan oleh negara-bangsa
Asia, bukan melalui persaingan Tiongkok-AS yang mengarah pada blok aliansi
yang merentankan ketahanan regional secara menyeluruh. Dan, perspektif
strategi kita akan selalu dibentuk mengikuti dinamika keseimbangan berbagai
kekuatan di dalam dan luar kawasan Asia.
Ini
adalah inti Abad Asia ketika Asianisasi mampu menghadirkan kekuatan kerja
sama intra-Asia memperkuat globalisasi abad ke-21. Tatanan dunia baru Abad
Asia ini dirumuskan dalam berbagai faktor oleh berbagai negara. Mulai dari
pertumbuhan regional yang dinamis, kehadiran kelas menengah di kawasan,
demokratisasi secara bertahap, regionalisme terbuka, percaya diri, hingga
optimisme yang sehat mendukung ketahanan Asia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar