LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN
Memperkuat
Masyarakat ASEAN
Tim Kompas
|
KOMPAS,
15 April 2014
PUKULAN
terberat yang dialami beberapa negara ASEAN adalah saat krisis ekonomi 1998.
Indonesia dan Thailand terkena dampak cukup parah.
Sesuatu
yang menarik di balik krisis ini adalah mempertanyakan keberadaan dan peran
ASEAN pada saat itu. Pertanyaan ini makin aktual saat 2015 negara-negara Asia
Tenggara itu memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN.
ASEAN
absen saat krisis keuangan 1998, tak banyak bertindak saat beberapa
anggotanya kesulitan. Kecemasan tentang tidak adanya kepedulian dalam masalah
setiap negara ASEAN kembali menguat ketika para pemimpinnya lebih banyak
membahas masalah integrasi perdagangan dan politik.
Masyarakat
ASEAN yang saling peduli sepertinya masih jauh dari harapan melihat kenyataan
beragamnya persoalan, seperti masalah kesejahteraan dan prinsip tidak saling
mencampuri urusan dalam negeri.
Salah
satu gugatan persoalan ini adalah minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam
pembuatan kesepakatan di ASEAN sehingga kepedulian pun rendah. Dalam ASEAN
Charter yang direstrukturisasi dan diratifikasi pada 2008 terdapat tiga
komunitas di dalam ASEAN, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN, Masyarakat Politik
dan Keamanan ASEAN, serta Masyarakat Sosiokultural ASEAN.
Minim keterlibatan sipil
Salah
satu kritik terkait dengan berbagai kesepakatan itu adalah minimnya
keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan. Padahal, upaya meningkatkan
keterlibatan masyarakat sipil ini sudah lama diupayakan. Misalnya, saat
krisis keuangan pada 1997, ada pembahasan ide tentang ASEAN yang berorientasi
kepada warganya.
Dalam Vientiane Action Program (2004), para
pemimpin ASEAN juga menyetujui partisipasi aktif keluarga, masyarakat sipil,
dan swasta dalam menangani masalah kemiskinan serta kesejahteraan sosial.
Keinginan
pelibatan masyarakat sipil juga tampak kuat melalui ASEAN People’s Assembly dan ASEAN
Civil Society Conference. Dalam kenyataannya, pihak yang boleh
berpartisipasi dan materi pembicaraan masih dibatasi berbagai aturan yang
pada intinya berpatok pada prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri
masing-masing.
Committee
of Permanent Representatives akan menentukan masyarakat sipil yang bisa
datang di dalam beberapa forum sehingga tidak ada suara yang berseberangan.
Cara berpartisipasi pun dibatasi, yaitu hanya dengan bentuk tertulis.
Isu-isu
yang bisa masuk antara lain pengurangan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan
buruh migran. Isu penghilangan aktivis lingkungan dan juga pengusiran warga
dalam kasus tanah dianggap isu sensitif.
Sebenarnya
ASEAN telah membuat sejumlah kesepakatan terkait dengan kepentingan
masyarakat sipil, seperti pembentukan komisi antar-pemerintah tentang hak
asasi manusia, komisi perlindungan hak perempuan dan anak, serta komisi
promosi dan proteksi buruh migran. Meski demikian, kesepakatan itu dikritik
karena pelibatan masyarakat sipil sangat minim.
Dalam
implementasinya, kesepakatan tersebut banyak mengalami kebuntuan, khususnya
di komisi promosi dan proteksi buruh migran. Meski telah ditandatangani tujuh
tahun lalu, kesepakatan itu tak dilaksanakan karena perbedaan kepentingan
antara negara pengirim dan penerima buruh migran.
Perbedaan
kehidupan bernegara anggota ASEAN menjadi persoalan mendasar. Sebagian besar
anggota ASEAN bukan negara demokratis sehingga cenderung menutup partisipasi
lebih besar masyarakat sipil. Itu sebabnya elite ASEAN lebih banyak membahas
perdagangan daripada menangani masalah masyarakat sipil.
Membangun jembatan
Ke
depan, ASEAN perlu membuka peluang lebih lebar bagi masyarakat sipil untuk
terlibat dan berdiskusi mengenai masalah mereka. ASEAN juga perlu melibatkan
masyarakat sipil dan meningkatkan jaringan dalam menangani sejumlah masalah.
Apabila tidak dilakukan, akan ada jurang lebar antara mimpi dan retorika
ASEAN dengan pelaksanaannya.
Masyarakat
sipil juga tidak perlu bergantung sepenuhnya pada perundingan yang dilakukan
para elite ASEAN. Sangat mungkin elite tidak memahami masalah masyarakatnya.
Upaya
yang bisa dilakukan adalah bukan menyelesaikan masalah itu dalam kerangka
kelembagaan, melainkan memfasilitasi masyarakat di dalam ASEAN untuk
berbicara satu sama lain mengenai cara-cara yang bisa mereka lakukan,
termasuk kemungkinan melakukan koreksi jika ada masalah yang muncul di antara
mereka.
Pendekatan
seperti ini kemungkinan dapat menyelesaikan sejumlah persoalan sehingga
masyarakat sipil ASEAN ikut peduli terhadap masalah di antara mereka. Ketika
Masyarakat Ekonomi ASEAN dibuka akhir 2015, misalnya, kemungkinan akan muncul
banyak masalah. Peran masyarakat sipil melalui forum-forum tidak resmi bisa
menjadi kunci mengurai masalah-masalah tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar