Rabu, 16 April 2014

Memperkuat Masyarakat ASEAN

LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN

Memperkuat Masyarakat ASEAN

Tim Kompas
KOMPAS, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
PUKULAN terberat yang dialami beberapa negara ASEAN adalah saat krisis ekonomi 1998. Indonesia dan Thailand terkena dampak cukup parah.
Sesuatu yang menarik di balik krisis ini adalah mempertanyakan keberadaan dan peran ASEAN pada saat itu. Pertanyaan ini makin aktual saat 2015 negara-negara Asia Tenggara itu memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN.

ASEAN absen saat krisis keuangan 1998, tak banyak bertindak saat beberapa anggotanya kesulitan. Kecemasan tentang tidak adanya kepedulian dalam masalah setiap negara ASEAN kembali menguat ketika para pemimpinnya lebih banyak membahas masalah integrasi perdagangan dan politik.

Masyarakat ASEAN yang saling peduli sepertinya masih jauh dari harapan melihat kenyataan beragamnya persoalan, seperti masalah kesejahteraan dan prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri.

Salah satu gugatan persoalan ini adalah minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam pembuatan kesepakatan di ASEAN sehingga kepedulian pun rendah. Dalam ASEAN Charter yang direstrukturisasi dan diratifikasi pada 2008 terdapat tiga komunitas di dalam ASEAN, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN, Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN, serta Masyarakat Sosiokultural ASEAN.

Minim keterlibatan sipil

Salah satu kritik terkait dengan berbagai kesepakatan itu adalah minimnya keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan. Padahal, upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat sipil ini sudah lama diupayakan. Misalnya, saat krisis keuangan pada 1997, ada pembahasan ide tentang ASEAN yang berorientasi kepada warganya.

Dalam Vientiane Action Program (2004), para pemimpin ASEAN juga menyetujui partisipasi aktif keluarga, masyarakat sipil, dan swasta dalam menangani masalah kemiskinan serta kesejahteraan sosial.

Keinginan pelibatan masyarakat sipil juga tampak kuat melalui ASEAN People’s Assembly dan ASEAN Civil Society Conference. Dalam kenyataannya, pihak yang boleh berpartisipasi dan materi pembicaraan masih dibatasi berbagai aturan yang pada intinya berpatok pada prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.

Committee of Permanent Representatives akan menentukan masyarakat sipil yang bisa datang di dalam beberapa forum sehingga tidak ada suara yang berseberangan. Cara berpartisipasi pun dibatasi, yaitu hanya dengan bentuk tertulis.

Isu-isu yang bisa masuk antara lain pengurangan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan buruh migran. Isu penghilangan aktivis lingkungan dan juga pengusiran warga dalam kasus tanah dianggap isu sensitif.

Sebenarnya ASEAN telah membuat sejumlah kesepakatan terkait dengan kepentingan masyarakat sipil, seperti pembentukan komisi antar-pemerintah tentang hak asasi manusia, komisi perlindungan hak perempuan dan anak, serta komisi promosi dan proteksi buruh migran. Meski demikian, kesepakatan itu dikritik karena pelibatan masyarakat sipil sangat minim.

Dalam implementasinya, kesepakatan tersebut banyak mengalami kebuntuan, khususnya di komisi promosi dan proteksi buruh migran. Meski telah ditandatangani tujuh tahun lalu, kesepakatan itu tak dilaksanakan karena perbedaan kepentingan antara negara pengirim dan penerima buruh migran.

Perbedaan kehidupan bernegara anggota ASEAN menjadi persoalan mendasar. Sebagian besar anggota ASEAN bukan negara demokratis sehingga cenderung menutup partisipasi lebih besar masyarakat sipil. Itu sebabnya elite ASEAN lebih banyak membahas perdagangan daripada menangani masalah masyarakat sipil.

Membangun jembatan

Ke depan, ASEAN perlu membuka peluang lebih lebar bagi masyarakat sipil untuk terlibat dan berdiskusi mengenai masalah mereka. ASEAN juga perlu melibatkan masyarakat sipil dan meningkatkan jaringan dalam menangani sejumlah masalah. Apabila tidak dilakukan, akan ada jurang lebar antara mimpi dan retorika ASEAN dengan pelaksanaannya.

Masyarakat sipil juga tidak perlu bergantung sepenuhnya pada perundingan yang dilakukan para elite ASEAN. Sangat mungkin elite tidak memahami masalah masyarakatnya.

Upaya yang bisa dilakukan adalah bukan menyelesaikan masalah itu dalam kerangka kelembagaan, melainkan memfasilitasi masyarakat di dalam ASEAN untuk berbicara satu sama lain mengenai cara-cara yang bisa mereka lakukan, termasuk kemungkinan melakukan koreksi jika ada masalah yang muncul di antara mereka.

Pendekatan seperti ini kemungkinan dapat menyelesaikan sejumlah persoalan sehingga masyarakat sipil ASEAN ikut peduli terhadap masalah di antara mereka. Ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN dibuka akhir 2015, misalnya, kemungkinan akan muncul banyak masalah. Peran masyarakat sipil melalui forum-forum tidak resmi bisa menjadi kunci mengurai masalah-masalah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar