Berharap
pada Parpol
Mahi M Hikmat ; Doktor
Komunikasi Politik Unpad;
Dosen UIN
Bandung; Dewan Pakar ICMI Jabar
|
KOMPAS,
14 April 2014
Pesta demokrasi yang baru saja berlalu, hanya
memilih satu dari 12 partai politik yang berlaga. Sedikit ringanlah kerja
Komisi Pemilihan Umum. Rakyat pun tidak lagi berhadapan dengan problem
pilihan ”super alternatif” seperti pada Pemilu 2009. Rakyat Indonesia memang
sudah makan asam-garam sistem multipartai, sudah merasakan pahit getirnya
gonta-ganti sistem kepartaian.
Sejak pemilu pertama (1955), sistem kepartaian
di Indonesia memang mengalami pasang surut. Pada masa Orde Baru ”stabil”
dengan kebijakan pembatasan hanya tiga parpol, yakni PDI, PPP, dan Golongan
Karya. Pada masa itu sebenarnya terjadi distorsi demokrasi. Hasil Pemilu
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, yang melibatkan hanya tiga peserta, justru
melahirkan sistem yang otoriter.
Keberadaan kedua parpol, yakni PDI dan PPP,
hanya menjadi lisptik bagi lahirnya kekuasaan mutlak, karena terjadi
penganaktirian parpol. Era itu dinilai hanya skenario penguasa dengan
melahirkan garis formal kepartaian sebagai bumbu demokrasi. Padahal,
realitasnya, yang hidup dalam kancah perpolitikan nasional saat itu hanya
Golkar. Parpol lain tidak diberi ruang untuk berkembang.
Makin lama, rakyat makin jemu dengan realitas
itu. Puncak kekesalan rakyat meledak pasca Pemilu 1997 yang berbuntut
jatuhnya rezim Orde Baru.
Rakyat merindukan saluran-saluran aspirasi
lainnya sehingga lahir sistem multipartai pada Pemilu 1999. Rakyat lupa, sistem
multipartai pun pernah mengecewakan rakyat.
Sejarah parpol
Pemilu 1955 yang diikuti 118 parpol dan Pemilu
1971 yang diikuti 10 parpol telah melahirkan kegagalan bagi kehidupan politik
era itu.
Namun, karena desakan kerinduan rakyat pada
sistem multipartai sangat kuat, pasca jatuhnya rezim Orde Baru, berbagai
piranti peraturan politik diubah, termasuk sistem kepartaian, sehingga
kembali ke multipartai. Inilah yang mendorong menjamurnya parpol baru. Pemilu
”istimewa” tahun 1999 diikuti oleh 48 parpol, Pemilu 2004 diikuti 24, dan
Pemilu 2009 diikuti 38 parpol.
Akan tetapi, kembali ke sistem multipartai
ternyata tidak memuaskan rakyat. Para wakil rakyat hasil pemilu, dinilai
banyak pihak, tidak memenuhi harapan rakyat. Alasannya, mereka lebih bersikap
sebagai wakil partai dan mementingkan diri sendiri daripada sebagai wakil
rakyat. Ini tampak dari korupsi miliaran rupiah yang mereka lakukan, baik
sebagai individu maupun sebagai partai.
Kekecewaan rakyat berbuah pada tuntutan
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, juga pemilihan kepala
daerah dan wakilnya.
Tuntutan itu dapat dipersepsi sebagai keraguan
atau ketidakpercayaan rakyat terhadap pilihan wakil rakyat (MPR, DPR/DPRD)
yang tidak memenuhi harapan rakyat. Bahkan, lahirnya calon independen dalam
pilkada langsung menjadi indikator tambahan keraguan rakyat terhadap parpol.
Lalu sistem kepartaian macam apa yang harus
hidup di republik ini? Bagaimanapun juga demokrasi tidak akan hidup tanpa
dibangunnya lembaga penyalur aspirasi rakyat.
Rakyat Indonesia pun sudah komitmen untuk
”menyandarkan” hidup pada demokrasi sebagaimana termuat dalam UUD 1945.
Rakyat Indonesia sudah telanjur percaya pada demokrasi untuk membawa mereka
pada kehidupan yang lebih baik.
Ubah pragmatisme
Dengan dua belas parpol pada Pemilu 2014,
tentu tidak diharapkan menghasilkan out put yang sama dengan pemilu
sebelumnya. Sejarah pahit masa lalu diharapkan tidak terulang kembali. Hal
itu dapat terwujud jika terjadi perubahan paradigma mendasar setidaknya dari
dua lini, yakni rakyat pemilih dan parpol.
Kecenderungan selama ini bahwa rakyat lebih
menyukai memilih dengan semangat pragmatisme, sehingga melahirkan perilaku
menghalalkan money politics, harus mulai dikikis habis. Rakyat harus dibawa
pada wahana berpikir ke depan, memilih bukan untuk hari ini, tetapi
menentukan nasib bangsa dan negara ini hari esok. Sikap dan perilaku seperti
itu akan melahirkan wakil rakyat yang bersikap dan berperilaku pragmatis
juga. Realitas maraknya wakil rakyat yang korup di republik ini tidak
terlepas dari pragmatisme rakyat pemilih.
Oleh karena itu, gagasan cemerlang membangun
pemilih yang cerdas harus segera dibumikan; Imbauan harus memilih dengan hati
nurani sejatinya tidak hanya lipstik belaka, tetapi harus menjadi paradigma
pemilihan wakil rakyat dalam Pemilu 2014.
Lahirnya banyak parpol pun diharapkan tidak
menambah jumlah saja, tetapi juga harus dapat memberikan makna. Sejatinya,
makin banyak parpol, makin lebar kesempatan bagi rakyat untuk menyalurkan
aspirasi. Realitas itu harus sinergis dengan semakin terakomodasinya
kepentingan rakyat.
Namun, hal itu hanya akan menjadi mimpi jika
ternyata partai yang lahir tidak memiliki jiwa; hanya jasad-jasad yang hidup.
Dua belas, 38, 48, atau berapa pun parpol peserta pemilu hanya akan menjadi
raksasa yang tidur, jika mereka tidak memiliki keinginan dan kesadaran yang
kokoh untuk mengubah bangsa dan negara ini menjadi lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar