Rabu, 16 April 2014

TPP dan RCEP

LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN

TPP dan RCEP

Tim Kompas
KOMPAS, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
FRUSTASI karena perundingan Putaran Doha WTO seperti tidak berujung berakibat pada banyak negara membuat perjanjian perdagangan bilateral atau regional. Begitu pula ASEAN.

ASEAN memulai perundingan perdagangan bebas antarnegara anggotanya sejak 1993. Mereka bersepakat menurunkan proteksi dagang dengan membuat Common Effective Preferential Tariff, yang menurunkan sejumlah bea masuk hingga 0-5 persen.

Tahun 2000, ASEAN meningkatkan perundingan perdagangan dengan luar ASEAN. Saat ini ada 23 perjanjian perdagangan. Dua tantangan besar dengan melimpahnya perjanjian perdagangan itu adalah kualitas serta beragamnya komitmen, standar, dan syarat perdagangan.
Kenyataan ini disadari pemimpin ASEAN sehingga mulai dipikirkan perjanjian perdagangan yang lebih luas. Saat ini negara-negara ASEAN memasuki dua perundingan multilateral dalam lingkup Asia Pasifik: Trans Pacific Partnership (TPP) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Perjanjian TPP melibatkan 12 negara dan Amerika Serikat menjadi motor. Saat ini empat anggota ASEAN bergabung dalam TPP, yaitu Brunei, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Anggota lain adalah Australia, Kanada, Cile, Jepang, Meksiko, Selandia Baru, Peru, dan AS. Sementara itu, di dalam RCEP semua anggota ASEAN terlibat, ditambah dengan Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, India, Australia, dan Selandia Baru.

Sejumlah pengamat menyebut TPP lebih berkualitas karena meliberalisasi investasi, perlindungan atas kekayaan intelektual, pertanian, dan jasa keuangan, serta menghindari berbagai pengecualian yang banyak terjadi di perjanjian perdagangan. Sektor-sektor tersebut dianggap isu sensitif bagi banyak negara, tetapi jika kesepakatan ditandatangani akan menjadi lebih langgeng.

Meski demikian, TPP memiliki sejumlah persoalan. Isu pertanian dan kekayaan intelektual akan menghadapi rintangan. Masalah ini pula yang menghambat perundingan Putaran Doha karena negara-negara anggota cenderung memproteksi sektor pertanian serta berusaha menghindari tuntutan soal hak kekayaan intelektual.

Keanggotaan TPP juga memunculkan persoalan geopolitik karena tiga negara besar—Indonesia, India, dan Tiongkok—tidak menjadi anggota. Tak pelak lagi, TPP dicurigai sebagai upaya AS menghadang pengaruh ekonomi Tiongkok di Asia. Isu ini harus ditangani secara hati-hati karena bisa memunculkan masalah baru.

Pada sisi lain, RCEP merupakan kombinasi dua proposal perjanjian perdagangan bebas, yaitu East Asia Free Trade Area (yang dipimpin Tiongkok) dan Comprehensive Economic Partnership in East Asia (yang dipimpin Jepang). Kombinasi itu menghasilkan RCEP yang dipimpin ASEAN. Kerja sama ini lebih berfokus pada upaya menyelaraskan berbagai komitmen, syarat perdagangan, serta standar yang tumpang tindih dan tidak konsisten.

Secara umum ambisi RCEP tidak semuluk TPP. RCEP lebih memikirkan kesepakatan tunggal mengenai perdagangan produk, baru kemudian kemungkinan penurunan bea masuk. Perundingan ini juga jauh dari pembahasan hambatan nontarif. Apabila TPP membahas sekitar 20 isu nontarif, RCEP hanya membahas 6 isu nontarif.

RCEP juga memiliki cakupan geografis lebih terbatas dibandingkan dengan TPP dan mereka juga tidak memasuki wilayah sensitif, seperti pertanian dan hak kekayaan intelektual. Karena itu, RCEP dinilai lebih realistis sehingga lebih besar kemungkinannya untuk berjalan.

Namun, rendahnya kualitas kesepakatan itu membuat rendah pula keuntungan yang didapat anggotanya. Karena itu, beberapa negara lebih melirik perjanjian perdagangan lain. Peran AS yang absen dalam RCEP juga menyebabkan munculnya pertanyaan sejauh mana dampak perjanjian ini secara luas.

Menimbang teliti

Tidak tertutup kemungkinan bahwa Indonesia masuk dalam TPP. Namun, karena dua proposal itu saling berkompetisi,
kecil kemungkinan kedua perjanjian tersebut secara simultan memberikan keuntungan. Oleh karena itu, ASEAN perlu
mempertimbangkan baik-baik kesepakatan mana yang akan
dipilih.

RCEP lebih mudah direalisasikan, tetapi melihat keuntungan yang didapat TPP, Jepang bergabung ke TPP; sementara Korea Selatan sudah menyatakan minatnya.

RCEP akan menempatkan ASEAN sebagai pusat kesepakatan dagang, sementara TPP cenderung meninggalkan ASEAN sebagai pusat perjanjian. Persoalan geopolitik juga akan menempatkan ASEAN pada posisi rumit dengan melihat analisis yang menyebutkan TPP lebih dipengaruhi AS, sementara RCEP dalam pengaruh Tiongkok.

Indonesia bisa saja tidak memilih TPP karena alasan melindungi sektor pertanian dan kepentingan domestik lain. Namun, apabila TPP terwujud dalam dua tahun mendatang, Indonesia hanya akan menjadi penonton dari arsitektur baru perdagangan di Asia Pasifik.

Strategi yang bisa dilakukan Indonesia adalah membuat akses ke TPP sambil melihat untung- ruginya. Perlu juga dikaji munculnya keluhan dari dua negara ASEAN peserta TPP yang mengaku tidak mendapat manfaat dari TPP.

Terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN, apabila TPP dan RCEP kelak disepakati, terutama TPP, banjir produk impor ke Indonesia akan makin besar karena beberapa anggota ASEAN bisa menjadi pintu masuk berbagai produk dengan negara mitra dua kesepakatan perjanjian perdagangan itu. Masalah ini muncul karena MEA menyepakati peningkatan akses pasar di dalam anggota ASEAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar