Kaum
Muda dan Siklus 20 Tahunan
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel, Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 08 April 2014
Pemilu
2014 secara bertahap akan dilaksanakan pada 9 April dan 9 Juli. Pada 9 April
kita akan memilih wakil-wakil rakyat di legislatif mulai pusat, provinsi,
hingga kabupaten/kota.
Sementara
pada 9 Juli dilaksanakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Dua hajatan ini jelas sangat bermakna bagi masa depan bangsa. Karena itulah
sebagai warga bangsa kita harus menjadi pemilih yang bertanggung jawab.
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU telah menetapkan daftar calon anggota
legislatif (caleg). Daftar caleg yang disiapkan KPU itulah yang harus
dipilih. Di antara caleg itu, sebagian merepresentasikan kaum muda yang masih
segar dan bebas dari ”beban noda” masa lampau, namun miskin pengalaman.
Sebagian
lagi diisi caleg kaum tua yang sarat pengalaman, meski terkadang penuh dengan
”noda dan dosa” masa lampau. Yang ideal tentu memilih caleg yang masih segar,
bersih dari beban masa lampau, dan berpengalaman. Tetapi caleg ideal ini
tentu tidak banyak jika kita mencermati ”daftar menu” yang disiapkan KPU. Itu
karena sebagian besar caleg incumbent
kembali bertarung. Berdasar realitas inilah, kita harus memilih caleg
berdasarkan rekam jejaknya. Ingatlah, di ujung pilihan kita itu masa depan
bangsa dipertaruhkan.
Jika
berkaca pada sejarah, kita akan menemukan kiprah kaum muda dalam sejumlah
gerakan kebangsaan. Kiprah kaum muda bermula dari pendirian Budi Utomo oleh
Dokter Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah dokter pada 20 Mei
1908. Pendirian Budi Utomo ini menandai permulaan kebangkitan nasional. Fakta
ini membuka kesadaran kita betapa kaum muda berperan dalam perjalanan bangsa.
Melalui teori siklus 20 tahunan, kita juga menyaksikan kiprah kaum muda dalam
sejarah pembangunan bangsa. Itu dapat diamati melalui beberapa peristiwa yang
menunjukkan peran kaum muda sebagai pendorong perubahan.
Siklus
20 tahunan itu dimulai sejak era kebangkitan nasional (1908), sumpah pemuda
(1928), proklamasi kemerdekaan (1945), pergerakan mahasiswa (1966), hingga
reformasi (1998). Meski baru menunjukkan hasil pada 1998, kiprah kaum muda
sesungguhnya telah dimulai pada pertengahan 1980- an. Saat itu, kaum muda
yang direpresentasikan kekuatan mahasiswa tidak pernah lelah memberikan
koreksi dan kritik terhadap rezim Orde Baru.
Era
Reformasi yang menggantikan Orde Baru dalam konteks ini merupakan akumulasi
dari berbagai koreksi dan kritik tersebut. Kiprah kaum muda yang tergambar
dalam siklus 20 tahunan menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya memiliki kultur
keilmuan serta keterampilan berorganisasi dan membangun jaringan yang hebat.
Sangat disayangkan, kultur tersebut tenggelam dalam hirukpikuk politik
sepanjang era Reformasi. Bahkan, kita menyaksikan adanya penguatan interes
politik di kalangan kaum muda. Kaum muda lebih menunjukkan minat dalam bidang
politik dengan menjadi aktivis partai, anggota legislatif, dan tim sukses
calon dalam pemilihan kepala daerah.
Keterlibatan
kaum muda dalam politik menemukan momentum yang tepat seiring dengan
kebijakan multipartai. Dinamika politik lokal juga memberikan ruang terbuka
bagi kaum muda untuk berkiprah di jalur politik. Karena itu, tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa kini terjadi peningkatan ”syahwat politik” di kalangan
kaum muda. Peningkatan syahwat politik ini tidak hanya terjadi di daerah,
tetapi juga dalam skala nasional. Indikatornya adalah bergabungnya sebagian
intelektual muda dalam kepengurusan partai politik. Padahal, mereka
sebelumnya dikenal sebagai intelektual independen.
Elite
partai seakan berlomba untuk mengajak kaum muda dengan memberikan jabatan
penting. Targetnya, mereka dapat dijadikan sumber energi untuk menarik
pemilih pemula. Sebagai konsekuensi adanya peningkatan syahwat politik kaum
muda, kiprah dan perjuangan mereka banyak disalurkan melalui aktivitas
politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian kaum muda telah tergoda
dengan kehidupan politik yang dianggap lebih menjanjikan masa depan.
Akibatnya, kultur keilmuan dan daya kritis yang semestinya menjadi ruh
perjuangan kaum muda terus tergerus.
Yang
terjadi kemudian adalah budaya loyal pada pimpinan partai. Peningkatan
interes politik kaum muda juga memunculkan kultur mudah berpecah akibat
perbedaan pilihan politik. Perjuangan kaum muda pun tidak lagi didasarkan
pada kepentingan jangka panjang, melainkan untuk tujuan pragmatis-jangka
pendek. Pilihan sebagian kaum muda berkiprah melalui jalur politik
mengakibatkan capaian perjuangan di ranah kultural tidak terlalu menonjol.
Padahal
kalau dipikirkan, wilayah perjuangan di bidang politik jelas terbatas dengan
peminat yang sangat banyak. Akibatnya, tidak semua orang memperoleh pembagian
kue kekuasaan. Sementara perjuangan di ranah kultural memiliki area yang luas
dengan peminat sangat sedikit. Pilihan kaum muda untuk berkiprah di ranah
politik jelas merupakan hak asasinya. Pilihan mereka untuk menjadi aktivis
partai harus dipandang sebagai hak politiknya.
Namun,
persoalan akan muncul jika pilihan kaum muda yang berkiprah di bidang politik
menjadi terutama (mainstream).
Pasalnya, dalam kondisi seperti ini perjalanan kaum muda akan selalu diwarnai
intrik dan tarik menarik politik. Sebagian kaum muda juga berpikiran bahwa
berkiprah melalui jalur politik dapat memberikan harapan yang instan untuk
meraih kekuasaan, kemapanan, status sosial, dan kecukupan materi. Sementara
berjuang melalui jalur kultural dianggap merupakan investasi jangka panjang
yang melelahkan, penuh perjuangan, dan hasilnya baru dapat dinikmati
kemudian. Sebagian kaum muda yang kini running dalam pencalegan jelas harus
dihargai.
Demikian
juga kaum muda yang telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dan
calon wakil presiden. Kita berutang budi pada mereka yang menjadi caleg dan
capres/cawapres. Bangsa ini sedang membutuhkan pribadi-pribadi hebat, penuh
dedikasi dan idealisme, sederhana, serta tahan godaan.
Kita
akan sangat bersyukur jika sebagian besar dari kebutuhan bangsa ini diisi
kaum muda. Karena itu, marilah kita dorong kaum muda untuk berkiprah melalui
pemilu caleg dan capres/cawapres. Jika ini terjadi maka siklus 20 tahunan
benarbenar menjadi kenyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar