Kamis, 10 April 2014

Memilih untuk Ibu Pertiwi

Memilih untuk Ibu Pertiwi

Syamsuddin Haris  ;   Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
KORAN SINDO, 09 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Tepat pada 9 April 2014 ini seluruh rakyat Indonesia yang telah dewasa, usia 17 tahun atau sudah menikah, berbondong-bondong ke tempat-tempat pemungutan suara untuk memilih para anggota legislatif nasional dan daerah (DPR, DPD, dan DPRD). Apa maknanya? Mengapa kita harus memilih? Turut menentukan pilihan dalam pemilu bukan sekadar hak politik setiap warga negara.

Penggunaan hak pilih sesungguhnya wujud kedaulatan politik yang sepenuhnya berada di tangan rakyat. Melalui pemilu yang bebas, jujur, adil, dan demokratis, rakyat tidak hanya memilih para calon anggota parlemen ataupun partai politik yang bisa dipercaya, tapi juga memutuskan masa depan negeri kita yakni apakah masih menempuh jalan demokrasi yang terjal dan berliku-liku atau kembali ke masa lalu yang buruk di bawah bayang-bayang sistem otoriter yang serbacepat, namun tanpa jaminan hak-hak politik dan kebebasan sipil bagi warga negara.

Tingkat partisipasi dalam pemilu bukanlah satu-satunya ukuran pencapaian demokrasi, termasuk demokrasi yang masih dalam tahap prosedural sekali pun. Namun, untuk negaranegara yang relatif baru memulai kembali membangun demokrasi seperti negeri kita, tingkat partisipasi dalam pemilu salah satu indikator tingkat kepercayaan terhadap sistem demokrasi. Partisipasi yang tinggi mencerminkan tingkat kepercayaan terhadap demokrasi relatif tinggi pula.

Sebaliknya, tingkat partisipasi yang terlampau rendah bisa menjadi amunisi dan justifikasi bagi kekuatan-kekuatan antidemokrasi untuk menyeret bangsa ini kembali ke titik nol yakni sistem otoriter yang sudah kita kuburkan bersamaan dengan kejatuhan Soeharto pada 1998.

Demokrasi Tidak “Instan”

Memang, sulit dimungkiri, bahwa para parpol peserta pemilu tidak begitu menjanjikan. Begitu pula para caleg yang sebagian besar ternyata petahana (incumbent) yang berkinerja buruk. Sebagian caleg wajah baru bahkan ternyata sejumlah artis dan selebritas yang tidak memiliki rekam jejak dalam soal politik, pemerintahan, dan keparlemenan.

Sebagian di antara artis itu bahkan dikenal sebagai “bintang panas” majalah dewasa yang lebih berpengalaman dalam membuka baju ketimbang membuka suara mereka untuk memperjuangkan kepentingan kolektif. Karena itu, wajar saja jika masih muncul kegamangan ataupun kegalauan ketika kita menyadari realitas demikian saat memasuki tempat pemungutan suara (TPS). Apa dan siapa yang harus kita pilih jika ternyata para caleg dan parpol peserta pemilu hampir tidak satu pun yang menjanjikan.

Pada saat yang sama, memori kita memutar kembali berbagai skandal suap dan korupsi yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ternyata melibatkan politisi, pejabat, dan bahkan hakim yang sebagian besar berasal dari parpol. Lalu, haruskah kita datang ke tempat pemungutan suara untuk menggunakan hak pilih? Sebagai sistem pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sejauh ini dianggap terbaik, sistem demokrasi yang kita rebut dari rezim otoriter Orde Baru pada dasarnya bukanlah sistem yang bersifat “sekali jadi”.

Tidak ada demokrasi yang instan––ibarat membalik telapak tangan semuanya langsung berubah. Juga tidak ada perjuangan yang bersifat final menuju demokrasi yang benar-benar substansial dan terkonsolidasi. Amerika Serikat yang dikenal sebagian kampiun demokrasi sekalipun dan sering dijadikan tolok ukur sistem demokrasi yang dianggap maju masih berjuang terus agar sistem nilai dan prinsip-prinsip pokok demokrasi tetap hidup dan menjadi dasar kehidupan kolektif. Padahal negeri Paman Sam telah menjalaninya selama lebih dari 200 tahun.

Terlepas berbagai kekurangannya, menggunakan hak pilih dalam pemilu satu-satunya cara bagi kita untuk mengawal sekaligus menyelamatkan sistem demokrasi yang telah kita rebut dengan nyawa, darah, dan air mata. Di dalam bilik-bilik suara itulah, suara kita turut memutuskan untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan demokrasi yang sebenar-benarnya yakni demokrasi yang berorientasi pada kemakmuran rakyat dan kejayaan Ibu Pertiwi. Karena itu, penggunaan hak pilih bukanlah sekadar memenangkan parpol atau caleg tertentu, melainkan juga harus dilakukan dalam konteks memilih Indonesia masa depan agar tetap di dalam bingkai sistem demokrasi.

Kita Harus Terlibat
                                   
Kita memang patut kecewa berat dengan kinerja parpol dan politisi, termasuk perilaku suap dan korupsi yang dilakukan anggota parlemen dan pejabat publik. Suatu kekecewaan yang tentu saja sangat wajar. Kendati demikian, agak berlebihan juga jika kita terlampau rewel dalam mengeluhkan praktik demokrasi mengingat demokrasi baru dimulai kembali di negeri ini dalam 15-16 tahun terakhir.

Dalam periode yang relatif pendek itu hampir mustahil kita berharap praktik demokrasi langsung “normal” serta politisinya bersih dan akuntabel. Persoalannya, perilaku buruk politisi dan pejabat publik, selain berakar pada moralitas individual yang bersangkutan, juga harus dipandang sebagai produk atau warisan rezim otoriter, Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-1965) dan Orde Baru Soeharto (1966-1998). Orde Baru misalnya tidak hanya mewariskan perilaku serakah dan korup, tapi juga kultur pragmatisme dalam berpolitik.

Faktor penting lain di balik buruknya kinerja parpol dan politisi adalah skema pemilu yang tidak menjanjikan munculnya para wakil dan pemimpin yang bertanggung jawab. Dalam situasi demikian, tidak ada pilihan lain bagi segenap elemen masyarakat sipil kecuali turut serta mendorong dan mengawal perubahan menuju pemilu dan demokrasi yang lebih baik. Itu artinya, kita harus turut memberikan suara dan keputusan bagi masa depan Ibu Pertiwi sebelum hak politik kita disalahgunakan orang lain. Memilih untuk tidak menggunakan hakpilihmemangtidakdilarang, bukan dosa besar, dan bukan pula kejahatan.

Namun, sangat mungkin surat-surat suara yang tidak terpakai tersebut disalahgunakan bukan saja oleh mereka yang korup untuk memenangkan atau mengalahkan parpol ataupun caleg tertentu, tetapi juga oleh para pembajak dan kekuatan antidemokrasi. Demokrasi, apa boleh buat, bukanlah jalan yang lurus, mudah, dan instan. Perlu kesabaran dan perjuangan tak mengenal lelah untuk mewujudkannya.

Turut serta memberi suara dan mengawal pemilu agar berlangsung bebas, jujur, dan bersih adalah cara terbaik kita dalam menyelamatkan demokrasi dalam rangka Indonesia yang lebih adil, makmur, berdaulat, dan berjaya di masa depan. Selamat menggunakan hak pilih sekaligus sebagai perayaan kolektif kita atas pilihan berdemokrasi bagi masa depan Ibu Pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar