Memilih
untuk Ibu Pertiwi
Syamsuddin Haris ; Kepala Pusat
Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 09 April 2014
Tepat
pada 9 April 2014 ini seluruh rakyat Indonesia yang telah dewasa, usia 17
tahun atau sudah menikah, berbondong-bondong ke tempat-tempat pemungutan
suara untuk memilih para anggota legislatif nasional dan daerah (DPR, DPD,
dan DPRD). Apa maknanya? Mengapa kita harus memilih? Turut menentukan pilihan
dalam pemilu bukan sekadar hak politik setiap warga negara.
Penggunaan
hak pilih sesungguhnya wujud kedaulatan politik yang sepenuhnya berada di
tangan rakyat. Melalui pemilu yang bebas, jujur, adil, dan demokratis, rakyat
tidak hanya memilih para calon anggota parlemen ataupun partai politik yang
bisa dipercaya, tapi juga memutuskan masa depan negeri kita yakni apakah
masih menempuh jalan demokrasi yang terjal dan berliku-liku atau kembali ke
masa lalu yang buruk di bawah bayang-bayang sistem otoriter yang serbacepat, namun
tanpa jaminan hak-hak politik dan kebebasan sipil bagi warga negara.
Tingkat
partisipasi dalam pemilu bukanlah satu-satunya ukuran pencapaian demokrasi,
termasuk demokrasi yang masih dalam tahap prosedural sekali pun. Namun, untuk
negaranegara yang relatif baru memulai kembali membangun demokrasi seperti
negeri kita, tingkat partisipasi dalam pemilu salah satu indikator tingkat
kepercayaan terhadap sistem demokrasi. Partisipasi yang tinggi mencerminkan
tingkat kepercayaan terhadap demokrasi relatif tinggi pula.
Sebaliknya,
tingkat partisipasi yang terlampau rendah bisa menjadi amunisi dan
justifikasi bagi kekuatan-kekuatan antidemokrasi untuk menyeret bangsa ini
kembali ke titik nol yakni sistem otoriter yang sudah kita kuburkan bersamaan
dengan kejatuhan Soeharto pada 1998.
Demokrasi Tidak “Instan”
Memang,
sulit dimungkiri, bahwa para parpol peserta pemilu tidak begitu menjanjikan.
Begitu pula para caleg yang sebagian besar ternyata petahana (incumbent) yang berkinerja buruk.
Sebagian caleg wajah baru bahkan ternyata sejumlah artis dan selebritas yang
tidak memiliki rekam jejak dalam soal politik, pemerintahan, dan
keparlemenan.
Sebagian
di antara artis itu bahkan dikenal sebagai “bintang panas” majalah dewasa
yang lebih berpengalaman dalam membuka baju ketimbang membuka suara mereka
untuk memperjuangkan kepentingan kolektif. Karena itu, wajar saja jika masih
muncul kegamangan ataupun kegalauan ketika kita menyadari realitas demikian
saat memasuki tempat pemungutan suara (TPS). Apa dan siapa yang harus kita
pilih jika ternyata para caleg dan parpol peserta pemilu hampir tidak satu
pun yang menjanjikan.
Pada
saat yang sama, memori kita memutar kembali berbagai skandal suap dan korupsi
yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ternyata
melibatkan politisi, pejabat, dan bahkan hakim yang sebagian besar berasal
dari parpol. Lalu, haruskah kita datang ke tempat pemungutan suara untuk
menggunakan hak pilih? Sebagai sistem pengaturan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang sejauh ini dianggap terbaik, sistem demokrasi yang kita rebut
dari rezim otoriter Orde Baru pada dasarnya bukanlah sistem yang bersifat
“sekali jadi”.
Tidak
ada demokrasi yang instan––ibarat membalik telapak tangan semuanya langsung
berubah. Juga tidak ada perjuangan yang bersifat final menuju demokrasi yang
benar-benar substansial dan terkonsolidasi. Amerika Serikat yang dikenal
sebagian kampiun demokrasi sekalipun dan sering dijadikan tolok ukur sistem
demokrasi yang dianggap maju masih berjuang terus agar sistem nilai dan
prinsip-prinsip pokok demokrasi tetap hidup dan menjadi dasar kehidupan
kolektif. Padahal negeri Paman Sam telah menjalaninya selama lebih dari 200
tahun.
Terlepas
berbagai kekurangannya, menggunakan hak pilih dalam pemilu satu-satunya cara
bagi kita untuk mengawal sekaligus menyelamatkan sistem demokrasi yang telah
kita rebut dengan nyawa, darah, dan air mata. Di dalam bilik-bilik suara
itulah, suara kita turut memutuskan untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan
demokrasi yang sebenar-benarnya yakni demokrasi yang berorientasi pada
kemakmuran rakyat dan kejayaan Ibu Pertiwi. Karena itu, penggunaan hak pilih
bukanlah sekadar memenangkan parpol atau caleg tertentu, melainkan juga harus
dilakukan dalam konteks memilih Indonesia masa depan agar tetap di dalam
bingkai sistem demokrasi.
Kita Harus Terlibat
Kita
memang patut kecewa berat dengan kinerja parpol dan politisi, termasuk
perilaku suap dan korupsi yang dilakukan anggota parlemen dan pejabat publik.
Suatu kekecewaan yang tentu saja sangat wajar. Kendati demikian, agak
berlebihan juga jika kita terlampau rewel dalam mengeluhkan praktik demokrasi
mengingat demokrasi baru dimulai kembali di negeri ini dalam 15-16 tahun
terakhir.
Dalam
periode yang relatif pendek itu hampir mustahil kita berharap praktik
demokrasi langsung “normal” serta politisinya bersih dan akuntabel.
Persoalannya, perilaku buruk politisi dan pejabat publik, selain berakar pada
moralitas individual yang bersangkutan, juga harus dipandang sebagai produk
atau warisan rezim otoriter, Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-1965) dan
Orde Baru Soeharto (1966-1998). Orde Baru misalnya tidak hanya mewariskan
perilaku serakah dan korup, tapi juga kultur pragmatisme dalam berpolitik.
Faktor
penting lain di balik buruknya kinerja parpol dan politisi adalah skema
pemilu yang tidak menjanjikan munculnya para wakil dan pemimpin yang
bertanggung jawab. Dalam situasi demikian, tidak ada pilihan lain bagi
segenap elemen masyarakat sipil kecuali turut serta mendorong dan mengawal
perubahan menuju pemilu dan demokrasi yang lebih baik. Itu artinya, kita harus
turut memberikan suara dan keputusan bagi masa depan Ibu Pertiwi sebelum hak
politik kita disalahgunakan orang lain. Memilih untuk tidak menggunakan
hakpilihmemangtidakdilarang, bukan dosa besar, dan bukan pula kejahatan.
Namun,
sangat mungkin surat-surat suara yang tidak terpakai tersebut disalahgunakan
bukan saja oleh mereka yang korup untuk memenangkan atau mengalahkan parpol
ataupun caleg tertentu, tetapi juga oleh para pembajak dan kekuatan
antidemokrasi. Demokrasi, apa boleh buat, bukanlah jalan yang lurus, mudah,
dan instan. Perlu kesabaran dan perjuangan tak mengenal lelah untuk
mewujudkannya.
Turut
serta memberi suara dan mengawal pemilu agar berlangsung bebas, jujur, dan
bersih adalah cara terbaik kita dalam menyelamatkan demokrasi dalam rangka
Indonesia yang lebih adil, makmur, berdaulat, dan berjaya di masa depan.
Selamat menggunakan hak pilih sekaligus sebagai perayaan kolektif kita atas
pilihan berdemokrasi bagi masa depan Ibu Pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar