Durian
Bang Ucok
Rhenald Kasali ; Guru Besar FEUI,
Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 09 April 2014
SAYA
tahu, Anda mulai bosan mengikuti berita politik. Maka, izinkan saya mengajak
Anda mencicipi durian. Sedikit saja, dicicipi satu dua colekan kalau dilarang
keluarga.
Kalau ke
pelosok Nusantara dan tidak menikmati duriannya, rugi besar. Kendati durian
monthong lebih besar dan dagingnya lebih tebal, rasa durian lokal jauh lebih
mantap.
Ibarat
cabai, durian lokal adalah cabai rawit yang menggigit. Sebaliknya, monthong
adalah cabai hijau: besar, tapi tidak pedas.
Di
Medan, salah satu gerai durian yang terkenal adalah Durian Bang Ucok milik
Zainal Abidin Chaniago. Tapi, karena brand Ucok lebih dikenal, jadilah semua
memanggil namanya Bang Ucok. Maklum,
dia sudah 25 tahun menggeluti bisnis durian.
Saya
ingin mengajak Anda belajar dari Bang Ucok, menjadikan usaha kecil sebagai
ikon kuliner di ceruk pasar.
Tak Kenal Musim
Beginilah
ganjaran orang yang tak pernah berhenti dalam berusaha. Dari emperan, kini
Ucok sudah memiliki dua gerai, di Jalan Iskandar Muda dan Jalan Wahid Hasyim.
Gerai Bang Ucok buka 24 jam, tetapi ramainya malam. Kalau kita pergi ke Medan
dan belum mampir ke gerai Bang Ucok, rasanya kurang lengkap.
Dia
begitu ramah menyapa pelanggannya. Itu beda benar dengan pedagang durian di
tepi Sungai Mahakam, Samarinda, yang marah-marah sambil membawa pisaunya yang
tajam saat duriannya ditawar. Pantaslah kalau dagangan durian mereka tak
selaku dan seterkenal durian Bang Ucok. Ada tiga hal yang perlu kita
pelajari.
Pertama,
keberlangsungan pasokan. Durian bukanlah kerupuk yang bisa dibuat setiap
saat. Ada musimnya. Tetapi, kita juga tahu, dulu di Medan durian nyaris tak
ada harganya karena begitu musim panen tiba, para pemilik tak tahu mau jual
ke mana.
Ucok
membuat para pemilik kebun durian tahu ke mana mesti menjual. Tapi, ada
syaratnya: berusaha itu tak boleh ada liburannya. Anda boleh saja
beristirahat dengan tidur atau pelesir untuk menikmati hasil usaha, tetapi
warung harus buka terus. Dan benar, kini Bang Ucok tak perlu repot-repot lagi
mencari durian ke desa-desa. Para petani itulah yang mengirimkan durian
mereka.
Gerai
Ucok Durian juga memicu munculnya gerai-gerai durian sejenis yang tampak di
Jalan Sumatera atau kawasan Pasar Merah. Lalu, ada juga toko-toko yang
menjual produk turunannya dalam bentuk pancake atau pie durian.
Berkembangnya
gerai-gerai durian membuat para petani menjamin kontinuitas pasokan, tidak
mengenal musim. Beda dengan di daerah lain yang hanya bisa kita nikmati pada
waktu-waktu tertentu. Dan begitu mendarat, kita hanya disambut dengan kalimat
ini: Maaf, musimnya sudah lewat.
Kedua,
soal quality control yang ditangani
dan disupervisi langsung oleh Bang Ucok. Di gerai Bang Ucok, kita akan
disodori dua pilihan rasa durian: manis atau pahit. Kita tinggal menyebut,
nanti Bang Ucok atau karyawannya yang akan memilihkan sesuai dengan keinginan
kita. Bagi saya, baik yang manis maupun yang pahit, sama saja nikmatnya.
Ketiga,
untuk menjamin kualitas rasa dan layanan, kalau durian yang disajikan tidak
sesuai dengan keinginan, kita boleh minta ganti tanpa dikenai biaya tambahan.
Bukankah itu yang kita kenal sebagai quality assurance?
Bagaimana
Ucok bisa menjamin bahwa kualitas duriannya pasti enak? Semuanya berangkat
dari puluhan tahun dia menekuni bisnis durian. Sebelum menyajikannya kepada
pelanggan, Bang Ucok selalu mencium dan memukul-mukul durian tersebut.
Setelah yakin, baru durian itu dia belah dan sajikan kepada pelanggan.
Pilihan Bang Ucok tak pernah salah.
Hal-hal
itulah yang menurut saya berperan penting dalam menjadikan Bang Ucok sebagai
ikon kuliner Kota Medan. Semuanya ditangani dan disupervisi langsung oleh
Bang Ucok. Jadi, Ucok sendirilah yang menjadi taruhannya.
Pertaruhan
semacam itu memang sangat mahal, tapi Bang Ucok berhasil memenanginya. Itu
sebabnya, kita tentu tak perlu menunggu skala usaha menjadi besar dahulu
untuk menjadi ikon yang berdampak bagi banyak orang, bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar