Memikir
Ulang Pendidikan
Daoed Joesoef ; Alumnus Université
Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS,
07 April 2014
PENDIDIKAN
merupakan masalah setiap orang. Namun, tidak setiap orang merasa terpanggil
membenahi sistem pendidikan secara konseptual- komprehensif, termasuk mereka
yang sedang berkarya di jajaran pendidikan.
Melegakan
bahwa kini kian banyak guru profesional yang merasa terpanggil, seperti para
penanggung jawab di perguruan tinggi. Namun, alih-alih membatasi pemikiran
dan perhatian pada ide restrukturisasi parsial, akan jauh lebih bermanfaat
dan tepat guna bila energi tokoh-tokoh keguruan ini dicurahkan sepenuhnya
untuk penyusunan satu konsep pendidikan yang menyeluruh.
Berhubung
konsep pendidikan yang menyeluruh ini akan diterapkan, ia perlu diawali
penjelasan apa yang dimaksud ”Indonesia”, selaku entitas politik (NKRI),
selaku negara yang ”menjadi”, selaku bangsa yang serba majemuk, mengenal
berbagai sejarah lokal sebelum bersejarah nasional, menduduki arsipelago
terbesar di dunia yang bernatur maritim.
Lalu,
tentu saja penjelasan bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan dan
bahwa ”pendidikan” tidak sama dengan ”persekolahan”. Pendidikan adalah sebuah
pendakian dari informasi melalui pengetahuan kearifan. Sebuah teori filosofis
perlu mendeskripsikan dan menganalisis pendidikan ini. Kita tak bisa
mengatakan, apalagi mencapai, apa yang kita kehendaki dari sekolah-sekolah
yang kita dirikan selama kita tidak memahami pendidikan itu apa, untuk siapa
yang ada di mana, bagaimana mempraktikkan pembelajaran dan apa-apa yang
seharusnya diajarkan (kurikulum), lalu dibagi habis ke setiap jenjang
pendidikan.
Jadi,
pendidikan tinggi merupakan bagian integral dari keseluruhan pendidikan,
suatu ”pemahkotaan” konstitutif dari prosesnya. Berarti, tanggung jawab
keberha- silan keseluruhan pendidikan perlu diper- cayakan kepada hanya satu
kementerian.
Maka,
kurikulum merupakan kerja terakhir—bukan awal—dari usaha penyusupan konsep
pendidikan. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa penetapan kurikulum adalah
kerja asal-asalan. Pembelajaran apa-apa yang diajarkan itu seharusnya membuat
”belajar” menjadi suatu second nature bagi anak didik. Dia harus dibuat mampu
mendidik dirinya sendiri setelah meninggalkan bangku sekolah di jenjang apa
pun karena pendidikan adalah proses seumur hidup.
Bekal jalani hidup
Selain
itu, pembelajaran merupakan latihan untuk berpikir yang diniscayakan untuk
bekal menjalani kehidupan, yaitu bukan what
to think, melainkan lebih banyak berupa why to think dan how to
think guna membiasakan belajar sendiri how to know, how to do, how to be, how to live together, dan how to earn. Di zaman Aufklärung,
manusia sudah menyadari, orang terdidik memerlukan lebih dulu Lern jahre (masa belajar), baru Wander-jahre (masa mengembara), secara
mental ataupun fisik.
Salah satu alasan pokok ide pembentukan Kementerian Ristek sebagai
lembaga pemerintahan yang menangani urusan pendidikan tinggi, bukan lagi
Kemdikbud, adalah bahwa kerja sama lebih erat antara perguruan tinggi (PT)
dan industri kini menjadi tren dunia dan terbukti memajukan bangsa.
Sebenarnya tren ini bukan peristiwa baru. Ia sudah diimajinasikan sejak awal
pembentukan PT. Pendidikan universiter
adalah satu keniscayaan karena merupakan pencipta dan penggerak utama dari
”komunitas ilmiah”.
Setiap
komunitas nasional terdiri atas aneka subkomunitas (sk): sk-ilmiah, sk-
bisnis, sk-politik, sk-religius, sk-artistik, dll. Sejarah
membuktikan, suatu bangsa bisa maju, dalam term peradaban, hanya bila
sk-ilmiahnya yang termaju di antara sk yang ada. Masa itu adalah saat ketika
ia mampu melontarkan aneka ide dan pemikiran yang dikemas berupa the most dominant contemporary form of
communicable knowledge, berkat cara pembelajaran khas yang dikembangkan
oleh sivitas akademika di kampus.
Karena
kebenaran faktual-historis inilah, terbentuk suatu kesepakatan rahasia di
antara bangsa-bangsa yang sedang berperang dalam Perang Dunia II di daratan
Eropa untuk tak dengan sengaja menghancurkan kampus lawan. Sebab, sesudah
perang usai, yang menang maupun yang kalah perlu jasa komunitas ilmiah bagi
pembangunan kembali negeri masing-masing. Tak heran kalau PT di Eropa dan
Amerika menerima aneka jenis proyek riset dari pemerintah dan sk-bisnis
sebagai usaha how to win the post-war
peace.
Perlu
diakui bahwa kampus ilmiah yang worthy
by the name belum ada di Indonesia, sedangkan pengadaannya merupakan
tugas spesifik dari PT dan sivitas akademikanya. Lembaga dan orang lain tidak
akan bisa diharapkan berbuat begitu. Masyarakat awam tak mengetahui
kekurangan fundamental ini karena spirit ilmiah belum menyebar, bahkan tidak
di kalangan alumni karena tak dipupuk. Berarti, satu-satunya modal
pembentukan kampus jadi komunitas ilmiah adalah PT.
Transformasi
kampus jadi komunitas ilmiah memerlukan berbagai syarat kelakuan yang
diniscayakan bagi sivitas akademika dan ketentuan integritas ilmiah yang
harus dihayati sepenuhnya. Syarat kelakuan dan ketentuan integritas ilmiah
itulah yang membentuk mind-set
sivitas akademika.
Komunitas
ilmiah bukanlah sekadar lokalitas fisik, melainkan suatu mind-set partikular. Pembentukan mind-set yang diniscayakan ini tak
bergantung pada perubahan lembaga pemerintahan yang resmi membawahkan PT. Ia
bergantung seluruhnya pada kesadaran sivitas akademika sebagai tugas khasnya,
selaku kelompok makhluk di planet bumi yang menanam/mengangkat ide,
dibesarkan oleh ide-ide dan menawarkan ide kepada siapa melalui komunikasi
individual dan kolektif.
Visioner futuristik
Nietzsche
pernah berujar, ada satu masa di mana satu-satunya kebijakan pemerintah
adalah kebijakan pendidikan. Saya pikir masa itu berawal di bagian akhir
tahun 1970-an ketika Presiden Soeharto mengajak saya membantunya membangun
bidang pendidikan nasional. Saya terima ajakan itu karena sudah punya konsep
pelaksanaannya, dibuat selagi belajar di Paris, ibu kota intelektual dunia.
Konsep
itu bersifat visioner-futuristik. Ia berawal dari masa depan dengan masa lalu
sebagai koordinat perjalanan misi karena anak didik perlu disiapkan tidak
untuk hidup sekarang, tetapi mampu sintas di masa depan. Ternyata ada
sejumlah tokoh politik dan agama yang menentang karena konsep mereka berpikir
sebaliknya dengan alasan-alasan primordial.
Terlepas
dari ajaran Nietzsche dan penolakan tadi, suatu konsep pendidikan yang
menyeluruh tetap diperlukan sekarang dan di sini. Sebagai suatu
negara-bangsa, kita akan eksis dalam keseimbangan hanya melalui kultivasi
terbaik tentang dunia fisik di bawah dan sekitar kita serta mengenai dunia
intelektual dan etis dalam diri kita.
Kesenangan belajar dan stimulus intelektual anak didik telah digerogoti
kecenderungan menganggap pendidikan, termasuk di universitas, semata-mata
sebagai persiapan vokasional dan profesional, yang menanggapi pendidikan
sebagai melulu suatu investasi ekonomi. Padahal, di garis cakrawala peradaban
sudah lama membayang pemunculan suatu humanisme individual baru mengenai
pemahaman teknologi; dengan berpusar pada hal inilah sistem nilai universitas
akan hidup kembali dalam bentuk yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar