Kompetisi
Membeli Suara Tuhan
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum
Universitas dr Soetomo Surabaya,
Pengurus IKA UII Jatim
|
JAWA
POS, 07 April 2014
KETAKUTAN
banyak pihak terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi (Pemilu 2014) yang
tidak benar-benar steril dari politik uang sangat wajar. Pasalmya, para caleg
atau politisi kita sangat gampang menghambur-hamburkan uang kepada masyarakat
(konstituen).
Para
politisi itu tidak segan-segan menjual atau menggadaikan barang berharganya
untuk "diuangkan". Setelah terkumpul, dalam kegiatan yang bersifat
instan, seperti tahlilan, istighotsah, sosialisasi peraturan
perundang-undangan, dan jenis lainnya yang bertemakan temu kader, uang itu
dibagi-bagikan.
Dalam
ranah tersebut, sepertinya sebagian orang menyebutnya kultur dan persaingan
yang logis. Padahal, politik uang, dari mana pun uangnya diperoleh, pelakunya
layak disebut "teroris" demokrasi. Istilah suara rakyat adalah
suara Tuhan (vox populi vox dei)
dirusak menjadi suara uang sebagai suara rakyat.
Ada
idiom yang menyebut, with money you can
buy blood but not life atau "dengan
uang, Anda bisa membeli darah, tapi tidak bisa membeli hidup".
Namun, benarkah pepatah ini berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia
yang sebentar lagi menggelar pesta demokrasi?
Sebagai
catatan, pada masa kampanye Pemilu 2014 ini,
terbukti virus uang telah merambah ke mana-mana atau dijadikan instrumen
sejumlah parpol untuk "membeli suara Tuhan". Di berbagai jenis
pertemuan yang dihadiri politisi, nyaris ada saja praktik politik uang,
khususnya kalangan caleg incumbent
yang bermasalah.
Di
negeri ini akibat politik uang terbukti dapat menghilangkan atau mereduksi
kredibilitas. Di ranah yuridis, misalnya, politik uang yang digunakan untuk
memenangkan sidang pilkada, telah terbukti mampu menghancurkan kredibilitas
institusi peradilan semacam Mahkamah Konstitusi. Presiden sampai turun tangan
dengan mengeluarkan perpu gara-gara suap yang diduga dilakukan Akil Mochtar.
Aktor-aktor
politik uang itu seperti sudah sampai ke stadium imun terhadap penyakit uang,
sehingga tidak merasa takut profesinya ternoda dan kehilangan kredibilitas.
Mereka mengedepankan prinsip bahwa asalkan saat berhubungan dengan orang yang
bermasalah secara hukum, mereka bisa mengeruk dan mendapatkan keuntungan
(uang) banyak. Rusaknya jagat yuridis ini identik
dengan rusaknya negara. Ketika negara secara terus-menerus mengalami
kerusakan di sana-sini, kehancuran total makin mudah terbaca.
Pemikir
kenegaraan Ibnu Khaldun pernah mengingatkan, "negara bisa bubar akibat sepak terjang para penguasa atau
pejabat yang membenarkan dan mengabsolutkan kejahatan yang diperbuatnya".
Demokrasi pun bisa identik dengan jagat yuridis, yang bisa mati dan terkubur
jika masyarakat dikondisikan terus-menerus dalam praktik politik uang.
"Put not your trust in money,
but put your money in trust" atau "jangan letakkan kepercayaan Anda
kepada uang, tetapi letakkan uang Anda dalam kepercayaan". Demikian
Oliver Wendell Holmes mengingatkan rakyat, khususnya siapa pun yang sedang
berusaha memenangkan kompetisi politik (pemilu). Bahwa kredibilitas publik
terhadap demokrasi tidak boleh hancur karena uang, tetapi berfungsinya uang
harus dijaga dalam bingkai kredibilitas secara menyeluruh.
Dengan
kalkulasi materialistik tersebut, masyarakat yang masih sehat sikap dan
perilaku politiknya memang layak mengidap ketakutan besar kalau masa depan
Indonesia bukannya menjadi lebih baik, namun semakin buram dan hancur,
khususnya dalam dunia hukum.
Tidak ada gunanya negeri ini menyandang predikat sebagai negara
konstitusi, yang di dalamnya menggariskan legasi negara hukum atau berdoktrin
demokrasi (kedaulatan dan pemerintahan rakyat), manakala dalam realitasnya,
negeri ini berada dalam genggaman erat komunitas para pemain politik uang
yang bisa "membuka dan
mengunci" pintu peradilan dan pesta sakral demokrasi sesuka hatinya.
Komunitas
elitis itu menjadi semacam kekuatan eksklusif yang tidak gampang
didekonstruksi oleh kekuatan lain ketika hati, pikiran, dan gerakanya
kehilangan kecerdasan nurani dan moralnya. Mereka ini telah menyiapkan jaring
laba-laba yang bisa digunakan untuk menggiring bermacam orang supaya jadi
"konsumen" yang patuh. Mereka telah memproduksi dan melanggengkan
budaya politik patologis yang memang jelas-jelas dapat "meneroris"
keyakinan dan integritas moral masyarakat.
Tidak
salah jika kemudian mencuat tuduhan bahwa pengkhianatan norma yuridis sudah
sampai pada ranah "kewajiban: di kalangan oportunis dan kriminalis
demokrasi. Mereka galang kekuatan, kerja sama sistemik, atau jaringan
terorganisasi untuk membuka dan mengamankan keran di tengah masyarakat yang
bisa dialiri uang agar keyakinannya (masyarakat) bisa terbeli.
Dus, pengkhianatan norma atau penyelingkuhan etika yang digadaikan
para politisi atau oportunis berbaju demokrasi di tengah-tengah kampanye ini
merupakan "terorisme" yang bisa lebih dahsyat akibatnya bila
dibandingkan dengan terorisme klasik semacam Amrozi atau Imam Samudra.
Para petualang politik uang bisa membunuh keyakinan publik atau
menghancurleburkan kredibilitas masyarakat terhadap negara, ideologi, dan
bahkan agamanya.
Jika
rakyat mengidealisasikan terbentuknya demokrasi yang bermartabat di negeri
ini, Pemilu 2014 harus terus-menerus diupayakan bebas dari jamahan dan
jajahan politik uang. Rakyat wajib mengawasi dan melawan siapa saja
"teroris" yang bermaksud menodai dan mendekonstruksi kesakralan
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar