Amorfisme
Politik
Boni Hargens ; Direktur Lembaga
Pemilih Indonesia (LPI)
|
KOMPAS,
07 April 2014
PEMILU
di depan mata. Keraguan dan keyakinan bercampur, apakah Pemilu 2014 betul
sebuah momentum perubahan atau malah titik balik menuju kehancuran baru. Tak
mudah menerima demokrasi kalau hanya berkaca pada praktik. Bisa
dibilang, berbicara demokrasi ideal
adalah berbicara ide, transendensi, postulat yang nyaris menjadi utopia.
Padahal,
sejak Reformasi 1998, kita sudah berhasil dengan proyek institusionalisasi
demokrasi. Secara formal, Indonesia sukses sebagai ”negara demokrasi”. Ukuran
Freedom House di Washington bisa
menjadi patokan, bagaimana kebebasan sipil (civil liberties) dan hak politik (political rights) mulai terjamin dengan baik (rerata 2,5 tahun
2013, pada skala 1-7; 1 terbaik, 7
terburuk).
Pidana golput
Namun,
optimisme ini acap kali meredup
tatkala kita berpaling pada kompleksnya korupsi politik, strukturalisme
kemiskinan, minoritas yang terancam, kecurangan elektoral, baik dalam
pemilihan lokal maupun nasional, termasuk kekerasan politik seperti yang
dialami partai tertentu belum lama ini di Aceh.
Orang
lalu percaya pada tesis tua sejarawan Katolik Inggris, Lord Acton
(1834-1902), dalam cuplikan suratnya untuk Uskup Mandell Creighton (5 April
1887) bahwa kekuasaan cenderung korup dan orang besar hampir selalu
orang yang buruk. Laswell (1936) membetulkan Acton dengan pendekatan
pragmatisnya tentang politik sebagai ”siapa
mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”.
Politik yang diperlihatkan kaum elite
tidak lebih dari pesimisme itu. Tetapi, rakyat dituntut optimistis,
bahkan golput (golongan putih) sebagai bentuk perlawanan eksistensial rakyat
terhadap ”elite gagal” pun terancam
dipidana. Kalau memilih adalah hak politik, maka tidak memilih (baca: golput)
seharusnya pun dihargai sebagai ”pilihan” dalam terang hak tadi.
Dalam situasi kinerja sistem politik yang
baik, tidak berpartisipasi dalam pemilu sah bisa dikecam sebagai
ketidakpedulian moral terhadap negara. Tetapi, dalam politik yang rendah mutu, sementara skala
persoalan sosial tinggi, kita sulit
menemukan justifikasi moral untuk membenarkan pidana terhadap golput.
Tren menguatnya dukungan komunitas golput kepada Jokowi (calon presiden
dari PDI Perjuangan) seperti terbaca di media sosial merupakan preseden yang
menjelaskan bahwa golput bukan
ketidakpedulian, melainkan radikalisasi dari harapan yang tak terpenuhi. Tidak
ada golput kalau politik mempunyai kepedulian terhadap rakyat. Refleksi tertinggi kita adalah apa casus belli, alasan pokok
persoalan politik yang rumit sehingga lahir golput, marak korupsi, daftar pemilih tetap
(DPT) tidak pernah beres tiap pemilu, ancaman
kekerasan politik menjelang pemilu, termasuk soal pemilih siluman.
Politik
sebagai manuver kepentingan memang
cenderung amorfis, nirbangun. Majemuknya kelompok dan kepentingan selain
melahirkan kompleksitas masalah juga menjadikan politik tak punya bentuk yang
terukur. Padahal, sebagai prinsip kebaikan umum, ada konstruksi sederhana
yang linear, yaitu sebuah garis lurus tanggung jawab antara negara dan
warganya yang dibangun di atas horizon bonum
commune communitatis, kebaikan umum untuk semua.
Politik
tidak untuk diri, tetapi untuk semua. Thomas Aquinas menulis dengan baik
dalam Summa Theologica (1265/66-1273) bahwa bonum commune est melius quam bonum unius, kebaikan umum lebih
baik daripada kepentingan pribadi.
Berkaca pada teologi dasar itu, kita
menemukan akar masalahnya. Korupsi politik meluas karena elite tidak mampu
menatap horizon kebaikan umum yang menjadi fondasi tanggung jawab politik. DPT tak kunjung
beres karena pendataan penduduk potensial pemilih tidak dilakukan dengan
dasar liabilitas, sementara alasan teknis krisis anggaran di pihak KPU
melengkapi ketidakberesan di Kementerian Dalam Negeri.
Politik tak berbentuk
Kampanye
politik diwarnai aksi saling hujat dan cenderung menjadi pesta gambar dan wajah
salon karena partai politik masih menjauhkan diri dari prinsip ”kebaikan
umum” tadi. Risikonya, rakyat tidak tahu memilih partai apa dan calon anggota
legislatif yang mana. Politik bukan perang
gagasan, tetapi perang benaran. Metode politik uang, pemilih siluman, dan
pencurian suara pun menjadi virus yang membunuh demokrasi pemilu. Pada
sentrum ini mestinya tema golput harus ditemukan alasannya supaya kita
menemukan pencerahan yang sama bahwa pidana golput adalah wacana teror yang
merusak demokrasi an sich.
Masalah selalu tampak rumit. Tetapi,
kesadaran terhadap tanggung jawab adalah energi utama yang memampukan kita
menemukan lilin di ujung terowongan. Kembali pada ketentuan konstitusi dan
menegakkan aturan yang ada adalah solusi.
Bentuk-bentuk
sentimen kelompok, ikatan kinship, jejaring patronase, dan bosisme harus
dikesampingkan ketika berhadapan dengan tanggung jawab publik.
Presiden
SBY sudah memberi teladan sebenarnya, dulu ketika Aulia Pohan, besannya,
diperiksa KPK. Mestinya teladan itu dilanjutkan dalam kasus-kasus lain
seperti Hambalang. Ini preseden yang baik dalam penegakan hukum bahwa ikatan
kekeluargaan (istri, anak, saudara) bukan hambatan berdemokrasi.
Mereka
adalah warga negara yang juga dituntut tunduk pada hukum negara. Dalam penempatan posisi politik pun ikatan primordial
tak boleh dijadikan determinasi karena demokrasi hanya bisa hidup dalam
meritokrasi, sistem berbasis kompetensi. Saat demokrasi dileburkan dengan
keluarga, seluruh prinsip kebaikan umum musnah pada dirinya. Politik pun
menjadi kerumunan kepentingan yang amorfis, tak berbentuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar