Kinerja
Polri Kian Jauh dari Keadilan
Upa Labuhari ; Wartawan Kepolisian
di Jakarta;
Calon Anggota DPR dapil III Jakarta dari PKPI
|
SINAR
HARAPAN, 04 April 2014
Bukan
mau mengembalikan Polri dalam lingkup militer, tapi ini catatan kecil. Sejak
1 April 1999, Polri keluar dari lingkup militer, namun tindakan personel
Polri sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat ternyata jauh dari
harapan pencari keadilan.
Pelanggaran
aturan perundang-undangan terus berlangsung, walaupun sudah ada Kompolnas,
divisi propam, divisi hukum, dan Irwasum sebagai lembaga pengawas.
Dengan
waktu 15 tahun ini, sebenarnya Polri harus bisa mencerahkan. Kenyataannya,
suasana duka masih melilit pencari keadilan, seolah tidak ada bedanya
pemisahan Polri dari TNI sejak 1 April l999. Padahal, pemisahan itu lewat
keputusan yang direstui rakyat.
Harapan
masyarakat ketika itu, kinerja Polri tidak lagi menggunakan cara militer
dalam memeriksa setiap tersangka. Hak asasi setiap tersangka dijaga secara
utuh juga menerapkan asas praduga tak bersalah terhadap tersangka. Masyarakat
juga berharap, moto “Pengayom, Pelindung, dan Pelayanan Masyarakat’’
direalisasikan.
Akan
tetapi, harapan tinggal harapan, bahkan lebih buruk kalau dilihat dari sisi
hukum. Berbagai aturan yang membatasi kewenangan jajaran Polri untuk merampas
kemerdekaan seseorang yang dituduh berbuat kejahatan tidak dipedulikan.
Kasus
pembunuhan terhadap Kademma Polda Metro Jaya AKBP Pamudji yang dilakukan
bawahannya, Brigadir Sus, adalah bukti rapuhnya kedisiplinan personel Polri
setelah 15 tahun terpisah dari TNI.
Korban
ditembak dalam jarak dekat di kantor Yanmas Polda Metro Jaya karena pelaku
ditegur akibat tidak disiplin. Pelaku tidak menggunakan pakaian dinas saat
bertugas. Teguran itu ternyata tidak diterima. Dua hentakan senjata pistol
Revolver membuat korban meninggal, tergeletak di lantai.
Dalam
sejarah Polri di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kasus
penembakan sesama anggota Polri sangat jarang. Penyebabnya, disiplin militer
sewaktu itu sangat berperan. Hormat terhadap atasan begitu kental sehingga
bawahan tidak berani melawan atasan.
Kini,
pola ini tidak digunakan lagi di lingkup Polri karena ada aturan, bawahan
bisa menentang atasan jika perintah yang disampaikan kepadanya tidak sesuai
aturan yang berlaku. Saat ini, Polri menganut sistem masyarakat sipil, tapi
akibatnya fatal.
Contoh Kasus
Mungkinkah
kinerja Polri juga merosot sebagaimana banyak dirasakan masyarakat awam? Itu
misalnya, penanganan kasus Sarwani, pedagang emas ilegal di Banjarmasin yang
ditahan penyidik Polsek Banjarmasin Tengah (Batang) sejak 8 Februari atas
laporan Hamid yang merasa ditipu dan digelapkan uangnya Rp 6,5 miliar.
Kasus
ini menarik menjadi contoh bagaimana Polri rapuh dalam menerapkan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) dan Peraturan Kapolri Nomor
14/2012.
Kedua,
peraturan ini jelas mengamanatkan, penyidik Polri saat menangani suatu
perkara pidana terlebih dahulu harus membuat surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan ( SPDP) kepada kejaksaan. Dalam SPDP itu, ada data tentang pejabat
yang memerintahkan dimulainya penyidikan perkara pidana dan data penyidik
yang akan melaksanakan perintah penyidikan tersebut.
Di sana
juga disebutkan data calon tersangka secara rinci, pasal yang dikenakan, dan
hambatan yang bakal dialami penyidik dalam menangani perkara ini. Jadi,
aturan ini wajib dipenuhi penyidik sebelum melakukan tindakan terhadap
masyarakat yang bakal dijadikan tersangka, sebagaimana diharapkan
undang-undang.
Namun,
selama 20 hari Sarwani ditahan, tidak pernah ada SPDP. Surat itu baru dibuat
setelah masa penahanan tersangka diperpanjang 40 hari oleh kejaksaan.
Anehnya, Kejaksaan Negeri Banjarmasin mau menuruti permainan penyidik dengan
memperkenankan Sarwani ditahan lebih lama lagi.
Satu
lagi kasus yang sangat memalukan bagi jajaran Polda Bali yang dilakukan
Polresta Denpasar, selaku penyidik kasus pemalsuan sertifikat tanah di Desa
Canggu dengan tersangka Dr Ardyanto Natanael Tanaya.
Kasus
ini berawal dengan adanya sertifikat tanah palsu yang dibuat almarhum kuasa
hukum Dr Ardyanto. Itu kemudian dipergunakan untuk menyakinkan hakim Mahkamah
Agung (MA) bahwa dia adalah pemilik sah atas tanah seluas kurang lebih 7625
meter persegi itu dengan nomor sertifikat 1506 .
Majelis
hakim MA begitu yakin dan menyatakan tersangka adalah pemilik sah atas tanah
tersebut. Keputusan MA ini membuat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi
Bali dan Badung mengesahkan kepemilikan tanah atas nama Dr Ardyanto Natanael
Tanaya.
Karena
merasa dicurangi, pemilik asli tanah tersebut, Eddy Yusuf, dan pemilik sah
sertifikat tanah nomor 1506 itu melaporkan peristiwa pemalsuan ini kepada
penyidik Polresta Denpasar dengan tersangka Dr Ardyanto.
Penyidikan
dilakukan Reserse Kriminal Polresta Denpasar sekitar empat bulan. Dari hasil
penyidikan disimpulkan, sertifikat milik Dr Ardyanto tidak identik warkah
pembanding di BPN.
Sementara
itu, sertifikat milik Eddy Yusuf identik warkah pembanding di BPN,
sebagaimana hasil pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti dokumen
dengan Nomor Lab 562/DCF/2012 tertanggal 30 Nopember 2012. Untuk itu, Kasat
Reserse Polresta Denpasar, Komisaris Amba Riyadi Wijaya, meminta BPN Badung
memblokir surat sertifikat ini untuk tidak dibaliknamakan.
Namun,
tiba-tiba Kapolresta Denpasar mengeluarkan surat penghentian penyidikan atas
kasus ini. Alasannya, penyidik tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum
dalam penerapan pasal pengajuan perkara ini ke pengadilan.
Akibatnya,
Eddy Yusuf mempraperadilankan Polresta Denpasar lewat Pengadilan Negeri
Denpasar. Dalam putusan praperadilan ini disebutkan, SP3 yang dilakukan
penyidik Polresta Denpasar atas kasus pemalsuan ini tidak sah.
Penetapan
Pengadilan Negeri Denpasar memerintahkan kepada pemilik sertifikat asli
menyerahkan sertifikat tersebut kepada penyidik untuk dijadikan barang bukti
dalam perkara ini di pengadilan. Selaku pemilik sah atas sertifikat ini dan
merasa diperintahkan Pengadilan Negeri Denpasar, sertifikat asli diserahkan
kepada penyidik sebagai barang bukti.
Namun,
penyidik membuat SP3 kembali atas kasus ini sehingga kepastian hukummnya
tidak jelas. Anehnya, sertifikat asli diserahkan kepada penyidik. Oleh pihak
tersebut, sertifikat ini diserahkan kepada BPN untuk dibaliknamakan atas nama
Dr Aryanto.
Kasus
lain misalnya, penipuan dan penggelapan yang dituduhkan terhadap suami-istri
pedagang emas ilegal di Namleha, Maluku. Pasangan ini dilaporkan kawan
bisnisnya menggelapkan uang pembelian emas Rp 1,5 miliar.
Ketika
kasus ini mulai disidik, salah seorang penyidik memperlihatkan surat kuasa
dari pelapor, bahwa ia adalah kuasa hukum pelapor sehingga berhak menyita
semua barang tersangka. Merasa keadilan tidak ada lagi di negeri ini,
suami-istri ini meminta perlindungan hukum kepada Wakapolri Komjen Drs
Oegroseno sebelum ia pensiun.
Ke
depan, Polri harus bekerja profesional, sebagaimana moto yang selalu
didengung-dengungkannya sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat.
Polri sekarang sudah ada di lingkup sipil, bukan militer, sehingga
perilakunya juga harus menjunjung rasa keadilan pada masyarakat pencari
keadilan, bukan sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar