Jumat, 11 April 2014

Ekonomi Berkeadilan dan Ramah Lingkungan Akar Masalah

Ekonomi Berkeadilan dan Ramah Lingkungan

Akar Masalah

Rokhmin Dahuri  ;   Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB)
KORAN SINDO, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Sejak runtuhnya kekhalifahan Islam terakhir di Turki pada 1924, tata kehidupan ekonomi dunia hampir semuanya mengikuti ajaran kapitalisme atau sosialisme (komunisme).

Kemudian begitu komunisme ambruk pada 1989 berbarengan dengan munculnya Glasnost dan Perestroika di Uni Soviet, ekonomi dunia praktis seluruhnya berlandaskan pada kapitalisme dengan segala variannya, termasuk neoliberalisme. Kapitalisme memang telah membuahkan kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi yang membuat kehidupan lahiriah sebagian umat manusia lebih makmur, mudah, cepat, dan nyaman.

Digerakkan oleh beragam inovasi teknologi dan mesin globalisasi, dalam 60 tahun terakhir penduduk dunia bertambah tiga kali lipat dan besaran ekonomi (PDB) dunia pun meningkat sepuluh kali lipat dibandingkan sebelumnya. Pada 2012, produk domestik bruto (PDB) dunia mencapai USD72,7 triliun (Bank Dunia, 2012). Namun, pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi itu belum berhasil membuat seluruh warga dunia hidup sejahtera dan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan rekreasi.

Pada 2007 hampir separuh penduduk dunia (6,3 miliar jiwa) masih miskin (pendapatan < USD2/hari) dan 1,1 miliar orang hidup dalam kemiskinan yang ekstrem (pendapatan < USD1/hari) (Bank Dunia, 2007). Saat ini sekitar dua miliar penduduk dunia masih menderita gizi buruk dan kelaparan (FAO, 2013). Sementara itu, kerusakan lingkungan bukannya semakin menurun, malah bertambah parah dan meluas.

Kalau pada periode Revolusi Industri (1753) sampai akhir 1970-an permasalahan lingkungan hanya bersifat lokal, seperti pencemaran sungai dan laut pesisir, penggundulan hutan, dan erosi tanah; sejak 1980-an jenis dan dimensi kerusakan lingkungan menjadi kian beragam serta mengglobal. Sebut saja hujan asam, pengikisan keanekaragaman hayati, penipisan lapisan ozon, dan pemanasan global (global warming), tidak hanya menghambat pembangunan ekonomi, tetapi juga mengancam eksistensi umat manusia itu sendiri.

Berbagai krisis lingkungan muncul karena permintaan manusia terhadap sumber daya alam (SDA) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) telah melampaui daya dukung bumi. Overfishing dan kepunahan sejumlah jenis ikan di banyak kawasan laut dunia terjadi, karena kita menangkap ikan lebih banyak ketimbang kemampuan laut untuk memulihkan sumber daya ikan tersebut.

Kita menebang pohon lebih cepat dari pada kemampuan tumbuhnya, sehingga deforestasi menjadi tak terelakan. Contohnya, luas hutan Pulau Jawa sekarang hanya tinggal 10% dari total luas lahannya. Padahal, agar fungsi hidrologis (pengendalian banjir, erosi, dan kekeringan) ekosistem hutan di suatu pulau bisa optimal, diperlukan minimal 30% luasan hutan. Jangan heran, bila bencana banjir saat musim penghujan dan kekeringan ketika kemarau semakin sering melanda Pulau Jawa.

Fenomena serupa juga terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan pada musim kemarau, kekeringan di Sumatera dan Kalimantan kerap memicu kebakaran hutan yang menghasilkan asap secara masif dan tersebar sampai ke negeri jiran Singapura serta Malaysia. Di wilayah-wilayah padat penduduk dengan tingkat pembangunan yang tinggi, beragam jenis limbah dibuang ke lingkungan dalam jumlah yang lebih besar ketimbang kapasitas asimilasi ekosistem untuk menetralisasinya.

Akibatnya, timbul polusi udara dan perairan yang tidak saja mematikan kehidupan flora dan fauna, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia, menurunkan nilai estetika dan kenyamanan lingkungan. Pengambilan air tanah dilakukan secara besar-besaran melebihi kemampuan recharge-nya. Akibatnya, banyak kawasan urban, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, bukan hanya mengalami defisit air bersih, melainkan juga dilanda penurunan permukaan tanah dan intrusi air laut yang merusak infrastruktur dan bangunan perkotaan.

Kita pun membuang CO2 dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer lebih cepat ketimbang kemampuan alam untuk menyerapnya, sehingga menyebabkan global warming. Perusakan ekosistem alam (seperti hutan, danau, sungai, dan laut) telah menghancurkan banyak spesies hewan dan tumbuhan, yang bisa berujung pada pemusnahan jenis secara masif.

Krisis pangan, energi, dan air juga sebenarnya merupakan peringatan, bahwa planet bumi sudah mulai kewalahan untuk menyediakan energi fosil, bahan pangan, dan komoditas lainnya. Besarnya permintaan manusia terhadap SDA dan jasa lingkungan ditentukan oleh jumlah manusia dikalikan dengan konsumsi (penggunaan) SDA dan jasa lingkungan per kapita. Selanjutnya, konsumsi SDA dan jasa lingkungan per kapita bergantung pada standar kehidupan (lifestyle) manusia.

Dalam perspektif teologis, akar masalah dari berbagai krisis lingkungan lebih disebabkan keserakahan, tidak meratanya tingkat konsumsi per kapita, dan distribusi kekayaan antarwarga dunia. Pasalnya, Allah menciptakan alam semesta dengan segenap isinya tak lain untuk menjamin keberlangsungan hidup dan rezeki bagi setiap makhluk-Nya (QS Hud: 6 dan QS Ar-Rum: 40).

Mahatma Gandhi juga menegaskan bahwa bumi mampu memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia, tetapi bukan keserakahannya. Faktanya, pada 1960, 20% warga dunia yang paling kaya berpenghasilan 30 kali lipat lebih besar daripada total penghasilan 20% penduduk dunia yang paling miskin. Pada 2005, kesenjangan tersebut semakin melebar menjadi 95 kali lipat (UNDP, 2006).

 Di Indonesia, total kekayaan dari 40 orang terkaya sama dengan total kekayaan dari 80 juta orang miskin (Tribunnews.com, 26/10/ 2011). Kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin pun semakin melebar dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini terkonfirmasi oleh fakta bahwa pada 2004 koefisien Gini hanya 0,31, dan sekarang sudah 0,42 (BPS, 2014).

Solusi Holistik

Oleh sebab itu, mulai sekarang setiap bangsa mestinya mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh beragam aktivitas pembangunan dan bisnis harus dapat menyejahterakan seluruh warga dunia secara berkeadilan dan berkelanjutan. Pada tataran praksis, pembangunan berkelanjutan dapat kita wujudkan dengan melaksanakan 10 kaidah berikut.

Pertama, setiap unit wilayah (kabupaten/kota, provinsi, atau negara) harus menerapkan tata ruang yang berbasis pada potensi sumber daya dan bencana alam. Dalam setiap unit wilayah, minimal 30% dari total luasnya dialokasikan untuk kawasan lindung, seperti ruang terbuka hijau, sempadan sungai, hutan lindung, dan taman nasional laut. Kawasan lindung ini sangat krusial untuk memastikan bahwa sistem dan fungsi penunjang kehidupan seperti siklus hidrologi, biogeokimia, udara bersih, dan asimilasi limbah berfungsi dengan baik. Hasilnya, wilayah yang kita huni tetap sehat, indah, nyaman, dan lestari.

Kedua, laju pemanfaatan SDA terbarukan, seperti perikanan, hutan, dan pertanian, tidak melebihi potensi produksi lestari sumber daya tersebut. Contohnya, total potensi produksi lestari sumber daya ikan laut Indonesia sekitar 7,3 juta ton/tahun. Supaya usaha perikanan tangkap bisa optimal dan berkelanjutan, seharusnya kita menangkap ikan laut sebesar 5,84 juta ton/tahun atau 80% dari total potensi lestari.

Ketiga, kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, dan distribusi SDA tak terbarukan, seperti minyak dan gas, batu bara, tembaga, dan mineral lainnya, harus dilakukan secara ramah lingkungan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan tidak merusak lingkungan sekitarnya.

Keempat, pastikan tidak ada limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang dibuang langsung ke lingkungan. Limbah B3 harus dinetralisasi di pusat pengolahan limbah B3 seperti yang ada di Cibinong. Usahakan semua proses produksi menerapkan teknologi yang tanpa limbah. Gunakan teknologi 3R (Reduce, Reuse, and Recycle) untuk limbah yang tersisa.

Kelima, ketika kita memodifikasi bentang alam dan membuat bangunan serta infrastruktur di suatu wilayah, seperti reklamasi pantai, pelabuhan, jalan raya, hotel, dan pabrik, harus mengikuti karakteristik dan dinamika alam wilayah tersebut.

Keenam, mengingat Indonesia merupakan negara yang rawan bencana alam (tsunami, gempa bumi, dan global warming), maka harus ada program mitigasi dan adaptasi terhadap bencana alam.

Ketujuh, memperbesar daya dukung lingkungan wilayah, antara lain melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian, perkebunan, hutan, padang penggembalaan, dan perikanan budi daya; dengan menerapkan inovasi teknologi budi daya dan bioteknologi ramah lingkungan.

 Kedelapan, pengembangan teknologi alternatif yang dapat mengonservasi energi, air, dan lahan serta yang mampu mendayagunakan energi terbarukan seperti energi surya, angin, gelombang, pasang surut, biofuel, dan panas bumi.

 Kesembilan, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas pembangunan ekonomi dan bisnis, hendaknya digunakan untuk menyejahterakan seluruh penduduk secara berkeadilan. Pastikan bahwa setiap warga negara minimal dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Kesepuluh, pengendalian jumlah penduduk sesuai dengan daya dukung lingkungan wilayah dan standar kehidupan yang manusiawi. Diperkirakan, dengan rata-rata pendapatan per kapita USD8.000, jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh ekosistem Pulau Jawa adalah sekitar 70 juta jiwa.

Semua resep pembangunan berkelanjutan tersebut bisa terwujud bila mainstream sistem ekonomi saat ini (kapitalisme) yang sangat hedonis, eksploitatif, boros SDA, dan merusak lingkungan diganti dengan sistem ekonomi yang lebih humanis, efisien, ramah lingkungan, dan berkeadilan.

Sebagai negara agraris, maritim, dan kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan alam melimpah dan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia sangat berpeluang menjadi teladan (role model) sebagai bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat dengan menerapkan paradigma pembangunan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar