Krisis
Ukraina dan Standar Ganda AS
Pri Sulisto ; Presiden Asosiasi
Konsultan Politik Asia Pacifik
(Asia Pacific Association of Political Consultants)
|
SINAR
HARAPAN, 03 April 2014
Presiden
Rusia, Vladimir Putin, meresmikan keputusan bergabungnya Krimea dengan Rusia.
Hal yang cukup menarik dari keputusan Putin adalah cara dan momen yang ia
ambil.
Caranya
cepat. Hanya dalam sehari setelah rakyat Krimea memutuskan melalui
referendum—Minggu, 16 Maret 2014 –bergabung dengan Rusia, Putin langsung
meresponsnya.
Momennya
tepat. Pada saat Barat (baca: Amerika Serikat dan 28 negara anggota Uni
Eropa) sedang sibuk merumuskan bentuk sanksi bagi Rusia, Presiden Putin telah
mengesahkan penggabungan Krimea ke Rusia. Jadi, kalaupun Rusia dijatuhi
sanksi, itu sudah tidak dianggap Moskwa sebagai ancaman dan masalah.
Putin
bahkan menyatakan, menghadapi Barat, Rusia siap berunding. Namun, kalau
perundingan tidak menemukan kesepakatan, Rusia siap menghadapi sanksi dari
sekutu Barat. Seolah menyindir Amerika Serikat (AS), Putin menambahkan,
Krimea bukan Timur Tengah atau Libia.
Sindiran
itu sangat jelas sebagai serangan diplomasi Putin terhadap AS. Ini karena
selama ini AS dengan mudahnya menggelar pasukannya di setiap negara di Timur
Tengah yang dianggap bermasalah.
Dua
negara di Timur Tengah, tempat AS langsung menerjunkan pasukannya, adalah
Kuwait (1990) dan Irak (2003). Terakhir, AS menggelar pasukan di Libia
(2011), yang berujung pelengseran Presiden Moammar Khadaffi.
Sikap
Putin yang demikian tegar boleh jadi tidak masuk hitungan Barat. Begitu pula
keputusan rakyat Krimea yang langsung menggelar referendum, tak diduga Barat
dapat dilaksanakan dalam waktu cepat.
Semua
berawal dari krisis Ukraina. Pada 22 Pebruari 2014, Presiden Ukraina, Viktor
Yanukovych terpaksa melarikan diri ke Rusia karena merasa keselamatannya
terancam. Sepeninggal Yanukovych, di Kiev, ibu kota Ukraina, terbentuk
pemerintahan sementara.
Perubahan
politik di ibu kota Ukraina itu membuat masyarakat Krimea di selatan Ukraina
yang mayoritas keturunan etnis Rusia merasa kehidupannya terancam. Selain
meminta perlindungan Moskwa, mereka membentuk dan mengkoordinasi
kelompok-kelompok pasukan pengamanan sendiri.
Bantuan
Rusia ke Krimea berbentuk pengiriman pasukan dari basis militer yang ada di
Krimea untuk mengamankan warga Krimea keturunan Rusia. Di sinilah awal
terbentuknya perbedaan yang cukup tajam antara Rusia dan negara-negara Barat.
Bagi
Rusia, yang dilakukannya di Krimea sekadar merespons penduduk lokal yang
mayoritas beretnis Rusia. Di Krimea, Rusia memang juga memiliki pangkalan
militer. Jadi, tambahan pasukan Rusia ke Krimea sebetulnya tidak bisa
diartikan tindakan ilegal, apalagi disebut invasi.
Barat
terus menuduh Rusia melanggar teritorial sebuah negara berdaulat. Itu
sebabnya Barat meminta Rusia menarik militernya dari Krimea.
Namun,
belum lagi Moskwa bereaksi terhadap tuduhan Barat, rakyat Krimea sepakat menggelar referendum. Ini
untuk menentukan, apakah Krimea tetap bagian Ukraina atau bergabung dengan
Rusia. Referendum menghasilkan, Krimea memilih menjadi bagian wilayah Rusia.
Menyoal
tudingan Barat bahwa referendum maupun kehadiran militer Rusia di Krimea
adalah sebuah pelanggaran hukum internasional, tudingan ini jelas berstandar
ganda. Ketika AS menerjunkan pasukannya di Kuwait, Irak, dan Libia, tindakan
itu yang justru pelanggaran hukum internasional. Kalau ditambah aksi militer
AS di Kosovo dan Bosnia (pertengahan 1990-an), jelas yang dilakukan militer
Negara Paman Sam itu merupakan sebuah pelanggaran hukum internasional.
Oleh
sebab itu, publik sebetulnya sudah harus lebih kritis menyikapi kebijakan AS
dalam setiap kasus. Ini karena Indonesia juga
pernah menjadi korban kebijakan standar ganda AS.
Tahun 1975, Presiden Gerald Ford yang mendorong Presiden Soeharto
menganeksasi Timor Portugis. Hal yang dikhawatirkan Washington kalau-kalau
Timor Portugis menjadi titik penetrasi kekuatan komunis internasional di
Indonesia.
Setelah Indonesia berhasil dengan baik menjalankan kebijakan AS dan
Timor Timur telah lebih dari 20 tahun menjadi bagian Indonesia, negara
adidaya ini berubah pikiran. Mereka tidak mau mengakui bekas wilayah Timor
Portugis itu sebagai bagian Indonesia.
Bahkan
pada 1999, AS mendesak sebuah referendum digelar di Timor Timur supaya
masyarakat menentukan masa depannya sendiri. Desakan itu akhirnya diterima.
Hasil referendum Timor Timur adalah mayoritas penduduk yang jumlahnya kurang
dari satu juta orang memilih menjadi negara merdeka.
Oleh sebab itu, merupakan sesuatu yang janggal jika menghadapi hasil
referendum rakyat Krimea, lalu AS tetap menentangnya. Mengapa di Timor Timur
dia dorong, sementara referendum di Ukraina ditentang AS? Ini namanya sebuah
kebijakan standar ganda ala Washington. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar