Bencana
Asap Buatan Manusia di Provinsi Riau
Sri Mariati ; Lulusan Doktoral
Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 03 April 2014
Fenomena
pembakaran lahan yang membuka hutan untuk kebun sawit dan permukiman marak
terjadi di Provinsi Riau dalam sepuluh tahun terakhir.
Adanya
izin untuk hutan tanaman industri (HTI) bagi perusahaan pulp and paper dan
kebun sawit di Riau telah membuka akses ke suaka margasatwa maupun taman
nasional, seperti Taman Nasional Tesso Nilo.
Akses
yang dibuka perusahaan HTI telah memberi jalan bagi tokoh adat menjual tanah
ulayat Tesso Nilo yang merupakan kawasan hutan negara.
Modus
perambahan yang dilakukan di Hutan Tesso Nilo diawali pengakuan hutan ulayat
di kawasan tersebut, setelah beberapa batin/tokoh adat mendapatkan izin
pemanfaatan kayu (IPK) dari bupati, atas nama koperasi. Batin-batin tersebut
kemudian mulai menawarkan lahan hutan tersebut kepada pemodal melalui broker
atau spekulan tanah.
Spekulan
tanah bekerja sama dengan kepala desa untuk mendapatkan pengesahan surat
pemilikan tanah (SPT). Deforestasi di Hutan Tesso Nilo pada 2000-2012 telah
mencapai 98.883 hektare, berada di HPH PT Siak Raya Timber, PT Hutani Sola
Lestari, dan Taman Nasional Tesso Nilo.
Perambah
yang telah membeli dari tokoh adat membakar lahan untuk pembersihan lahan
hingga bisa ditanami kelapa sawit dan permukiman liar. Perambahan ini awalnya
kepada 15 kepala keluarga (KK) pada 2005. Saat ini telah menjadi 20.000 KK.
Setiap tahunnya, lokasi ini menyumbang asap yang tidak sedikit untuk Provinsi
Riau.
Saat
ini, yang menjadikan Provinsi Riau sebagai negeri asap adalah terbakarnya
Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil oleh 2.000 warga pendatang dari Sumatera
Utara, seperti di Tesso Nilo, modusnya adalah penjual, backing serta akses
jalan.
Ini
karena lemahnya penegakan hukum. Pemerintah pusat—dalam hal ini Kementerian
Kehutanan (Kemenhut)--juga lebih fokus menanggulangi pembalakan liar
dibandingkan ancaman perambahan liar yang telah marak terjadi di taman
nasional dan suaka margasatwa.
Itu
bukan hanya di Sumatera, melainkan juga Kalimantan. Ancaman perambahan liar
lebih besar dibandingkan pembalakan liar karena perambah menduduki dan
menguasai hutan negara. Mereka mengubah hutan menjadi kebun sawit atau
penggunaan lain.
Hal ini
yang menyebabkan Riau setiap tahunnya (terutama di musim kemarau) selalu
memproduksi asap. Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil memiliki gambut dalam
10-20 meter yang sering disebut dome.
Jika ini
dibakar, sulit dipadamkan karena membutuhkan air yang banyak untuk mematikan
api sekam yang ada dalam gambut tersebut. Hal tersebut yang saat ini terjadi
di Provinsi Riau hingga indeks udara dalam kondisi berbahaya.
Gambut
di Riau merupakan ekosistem lahan basah yang unik dan berpotensi besar
mendukung kehidupan manusia. Gambut terbentuk dari penimbunan/ akumulasi
bahan organik di lantai hutan dalam kurun waktu yang sangat lama, antara
3.000-10.0000 tahun.
Secara
alami, lahan gambut umumnya selalu jenuh air dan tergenang sepanjang tahun.
Dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 14/2012 tentang
Panduan Valuasi Ekonomi Valuasi Ekosistem Gambut, dibukanya gambut menjadi
tanaman industri dan kebun sawit menyebabkan fenomena asap yang kian hari
kian mengkhwatirkan.
Terkait
isu perubahan iklim, cadangan karbon yang tersimpan dalam gambut Indonesia
sekitar 132 gigaton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) di bawah permukaan,
serta 4,2 gigaton karbon di atas permukaan.
Apabila
gambut dan drainase terbakar, karbon yang tersimpan akan terlepas ke atmosfer
dan menjadi gas rumah kaca. Ini dapat mengganggu kestabilan iklim.
Sebuah
studi menunjukkan, kebakaran hutan dan lahan gambut tidak saja melepaskan
karbon ke atmosfer, tetapi juga merupakan sumber utama asap.
Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengatakan,
kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari kebakaran asap di Riau mencapai Rp 10
triliun.
Itu
terjadi selama tiga bulan pertama pada tahun ini. Untuk itu, perlu dilakukan
kebijakan yang ketat terhadap pengeluaran kebijakan izin HTI dan kepala sawit
di ekosistem gambut Riau dan daerah lain di Indonesia.
Ringannya
hukuman bagi pembakar lahan dan penjual hutan negara menyebabkan perambahan
hutan terus terjadi di Indonesia. Cukong dan backing jarang terjamah. Bahkan
anggota DPRD Kabupaten yang terang-terangan mengakui memiliki kebun sawit di
Taman Nasional Tesso Nilo tidak tersentuh hukum.
Asap
setiap tahunnya di Riau dapat diatasi dengan kerja sama semua pihak, baik di
tingkat desa hingga provinsi. Tokoh adat dan kepala desa yang menjual lahan
dan hutan di Riau harus ditangkap dan diadili sesuai peraturan yang berlaku.
Perambah
yang telah membeli lahan dan hutan harus dikembalikan ke daerah asalnya.
Hutan yang telah ditebang dan dijadikan kebun kelapa sawit dan permukiman
liar juga harus dikembalikan menjadi hutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar