Kontroversi
Kampanye Negatif
Wawan Sobary ; Dosen Universitas
Brawijaya
|
TEMPO.CO,
04 April 2014
Memasuki
minggu kedua kampanye terbuka pemilu legislatif, Komisi Penyiaran Indonesia
menemukan iklan televisi yang diduga bertujuan menyerang Joko Widodo
(Jokowi). Pihak Jokowi pun menilai iklan itu sebagai "kampanye
negatif" (Tempo.co, 29/3).
Kampanye
negatif memang jamak dipersepsikan tak patut dan isinya terkesan agresif,
meski sebenarnya bukan pelanggaran. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak menetapkan larangan kampanye negatif.
Pasal 86 hanya menetapkan setidaknya empat kategori larangan. Pertama,
melanggar kewibawaan dan eksistensi negara (mempersoalkan Pancasila, keutuhan
NKRI). Kedua, melanggar prinsip imparsialitas (mengikutsertakan pegawai
negeri, kepala desa, TNI, hakim, BPK, dan penggunaan fasilitas pemerintah).
Ketiga,
melakukan kampanye hitam (menghasut, menghina). Keempat, melakukan tindakan
kriminal (mengganggu ketertiban, kekerasan, merusak, politik uang). Sedangkan
Peraturan KPU No. 15/2013, yang merevisi Peraturan KPU No. 1/2013 tentang
Pedoman Kampanye Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, isinya setali tiga uang.
Kampanye
pemilu dalam Undang-Undang No. 8/2012 dimaksudkan sebagai kegiatan peserta
pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan
program peserta pemilu. Sedangkan kampanye negatif secara akademis merujuk
pada strategi kandidat atau partai untuk bersikap kritis terhadap kandidat
atau partai lawan berdasarkan catatan (kinerja) masa lampaunya (Kosmidis, 2011). Kedua definisi itu
bertentangan dalam hal penyajian bahan kampanye. Namun keduanya tetap sama
secara substantif bahwa kampanye merupakan kegiatan untuk meyakinkan dan
mempersuasi pemilih. Kampanye negatif lebih konkret daripada sekadar
menampilkan atribut, janji, dan idelogi calon atau parpol.
Selain
tidak dilarang, argumen mendorong kampanye negatif yang berkaitan dengan arah
kemajuan demokrasi. Tidak dimungkiri bahwa masih banyak penyimpangan dalam
praktek demokrasi, seperti masih kuatnya KKN, tekanan kebebasan beragama, dan
belum bersihnya lembaga peradilan. Tapi bukan berarti Indonesia harus tetap
tinggal di kelas demokrasi elektoral. Lima belas tahun reformasi semestinya
menjadi fondasi kokoh untuk perbaikan kualitas demokrasi menuju kemapanan
demokrasi.
Guna
mencapai kemapanan demokrasi, kampanye negatif bisa menawarkan perbaikan
rasionalitas pemilih. Warga terbiasa berargumen sebelum mengambil keputusan
memilih. Syaratnya, bahan kampanye yang jadi rujukan warga harus berdasarkan
data dan fakta otentik.
Sementara
itu, modal menuju pemilih rasional sesungguhnya sudah ada sejak Pemilu 2009.
Rilis hasil riset opini Lembaga Survei Indonesia pada Januari 2009
menyimpulkan bahwa tingginya keterpilihan Partai Demokrat (PD) disebabkan
oleh adanya peningkatan preferensi terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
untuk terpilih kembali. Pun, PD kala itu ditetapkan sebagai partai dengan
indeks citra positif tertinggi.
Agak
kontras dengan argumen kedua, alasan ketiga bersandar pada asumsi teoretis
para ekonom-politik tentang pragmatisme pemilih. Warga pada dasarnya
mengalami keterbatasan informasi untuk mendukung keputusan memilih. Maka tak
mengherankan bila mereka memilih secara serampangan demi memenuhi kepentingan
formalitas saja. Alasannya, upaya mencari informasi cukup melelahkan dan
menyita waktu.
Sebaliknya,
kampanye negatif mampu menyajikan rekam jejak kinerja pemimpin dan parpol
terpilih secara obyektif. Misalnya, publik bisa membandingkan capaian kinerja
koalisi pemerintahan pimpinan PD dengan koalisi pimpinan PDIP pada periode
sebelumnya. Maka, perbandingan data tersebut bisa menjadi langkah efisien
untuk memenuhi kebutuhan informasi dalam mendukung pilihan.
Kekhawatiran
dampak ambivalen kampanye negatif terhadap demokrasi karena menimbulkan efek
demobilisasi pemilih belum sepenuhnya terbukti. Penurunan tajam angka
partisipasi sebesar 22 persen dalam tiga pemilu terakhir terjadi karena
banyak faktor. Studi Kahn dan Kenney (1999) menemukan bahwa publik sebenarnya
mampu membedakan antara iklan politik negatif yang mengkritisi kinerja dan
kampanye hitam yang menyerang persoalan privat. Setelah diukur, efek terhadap
penurunan partisipasi menunjukkan perbedaan antara kampanye yang mengkritisi
proposal kebijakan lawan dan kampanye yang menyerang karakter dan kehidupan
personal lawan.
Agar
demokrasi kita naik kelas, Pemilu 2014 semestinya tidak hanya menjadi sarana
memilih wakil rakyat. Lebih dari itu, pemilu mesti menjadi ajang justifikasi
perbandingan kualitas hasil dan dampak kinerja perwakilan dan pemerintahan.
Tentu saja bukan sekadar dampak yang bersifat materiil, seperti ekonomi dan
infrastruktur, tapi juga termasuk dampak non-materiil, seperti keamanan,
keadilan, dan kebebasan warga. Kampanye negatif bisa memfasilitasi warga
untuk melakukan upaya komparasi itu. Juga, kampanye negatif pantas menjadi
solusi moderat bagi pemilih agar tak terjebak dalam situasi irasional dan apatis.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar