Anak
Belum Prioritas Kampanye
Sri Tjahjorini ; Widyaiswara Madya Pusdiklat
Kesejahteraan Sosial, Lulusan S3 IPB
|
KORAN
JAKARTA, 04 April 2014
Kampanye
Pemilu 2014 sudah hampir rampung. Larangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar
kampanye tidak melibatkan anak diabaikan partai politik (parpol). Parpol
menganggap angin lalu. Sebagian besar kampanye parpol di berbagai kota,
anak-anak turut meramaikan, menonton pidato dan hiburan. Pendeknya, anak
menjadi peserta kampanye entah datang sendiri atau bersama orang tua. Bahkan,
sejumlah anak mengenakan kaos ukuran orang dewasa yang dibagikan parpol di
lokasi kampanye untuk menarik warga, termasuk anak.
Maka,
bersamaan dengan ajang kampanye dari berbagai parpol, anak menjadi aset dan
komoditas empuk untuk bisa dimanfaatkan. Bukan hanya meramaikan iring-iringan
pawai agar banyak pengikut, lebih dari itu, anak mudah disetir untuk
mengikuti keinginan orang dewasa, apalagi orang tuanya. Kampanye yang relatif
berbahaya bagi anak. Kampanye juga melelahkan dan dapat dipandang memperkosa
hak anak untuk menjalani kehidupan sesuai dengan tahap perkembangannya:
terutama bermain dan belajar.
Dalam
kampanye bisa saja terjadi kerusuhan atau kecelakaan lalu lintas saat
berpawai. Belum lagi dampak sik bagi anak seperti tersengat terik matahari,
asap rokok, atau asap kendaraan yang biasanya mendominasi lingkungan
kampanye. Itu semua dapat berpotensi mengganggu kesehatan anak. Silakan saja,
calon para wakil rakyat berkampanye dengan iring-iringan, pesta musik atau
apa pun caranya, demi tersampaikannya janji manis yang belum tentu dapat
ditepati pada saat menjabat.
Hanya,
tolong jangan menggunakan anak sebagai sarana, alat, aset, atau komoditas
yang bisa dimanfaatkan seolah mereka peduli kepada bocah. Padahal, yang
sesunguhnya terjadi sebaliknya, mereka tidak peduli pada anak. Karena tidak
banyak partai yang melibatkan kepentingan terbaik anak dalam visi, misi dan
materi kampanye.
Bahkan,
anak hanya menjadi korban kampanye. Kalau terjadi kecelakaan padanya saat
kampanye, belum tentu calon wakil rakyat peduli. Setelah duduk di parlemen
pun mereka juga tidak ingat lagi anak. Yang pasti, kerja wakil rakyat pada
tahun pertama dan kedua berupaya mengembalikan biaya pemilu. Ironis sekali.
Berulang
kali imbauan dan larangan kampanye menyertakan anak disuarakan. Berulang kali
pula peserta kampanye melanggar aturan tersebut. Penyertaan anak dalam segala
aktivitas kampanye dengan dalih apa pun seharusnya ditinggalkan. Apalagi
tidak ada manfaatnya bagi anak. Malahan yang ada risiko kecelakaan.
Namun,
secara konseptual, kepentingan anak seharusnya masuk dalam program partai
yang dapat disuarakan melalui janji-janji manis parpol kepada rakyatnya.
Penyalahgunaan Keterlibatan anak dalam kampanye tidak hanya mengeksploitasi,
tetapi juga menyalahgunakan kebebasannya untuk kepentingan politik. Banyak
pelanggaran terhadap hak anak mulai dari hak hidup, tumbuh, berkembang, serta
perlindungan.
Dalam
Pasal 78 Undang-Undang No 10 Tahun 2008, disebutkan bahwa dalam pemilu
anggota DPR, DPD, dan DPRD, kegiatan kampanyenya dilarang mengikutsertakan
anak-anak usia di bawah 17 tahun. Karena itu, bagi parpol yang melibatkan
anak dalam kampanye, masuk kategori melanggar tindak pidana pemilu. Hal ini
juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Pasal 15 tentang
Perlindungan Anak.
Di situ
disebutkan, “Setiap anak berhak
memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.”
Berdasarkan undang-undang tersebut, anak bahkan harus dijamin perlindungannya
meskipun orang tuanya berpengaruh dalam partai. Dalam kampanye pemilu lima
tahun lalu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada lima anak
meninggal saat mengikuti kampanye. Salah satu korban terjatuh ketika menaiki
kendaraan kampanye.
Pelanggaran
kampanye yang melibatkan anak antara lain berbentuk pemakaian baju, kaus,
ikat kepala berlogo partai, hingga permainan yang identik dengan salah satu
partai. Banyak orang tua menyertakan anak berdalih merupakan bagian dari
pendidikan politik. Apakah orang tua juga harus membawa anak ke medan perang
untuk pendidikan wawasan kebangsaan? Analog ini seharusnya dapat melawan
dalih pembenaran orang tua mengajak anak berkampanye.
Upaya
pendidikan politik tidak harus terjun langsung dalam kampanye. Pendidikan
politik anak bisa dilakukan dengan cara aman dan elegan, seperti memberi
kesempatan berpendapat, mencari solusi atau mengambil keputusan untuk
menyelesaikan permasalahan- permasalahan kecil di lingkungan, rumah, kelompok
bermain, atau sekolah. Pada saat pemilu, masyarakat patut mengurut dada
karena anak hanya menjadi komoditas. Tahap perkembangannya diabaikan. Bahkan
ada juga ibu membawa bayi atau balita.
Kaum ibu
tidak memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan tempat kampanye yang dapat
mempengaruhi mental, psikis, dan kesehatan anak. Bila dicermati, tak ada
partai yang memasukkan kepentingan anak dalam visi dan misi. Kalaupun ada,
hanya dikaitkan dengan program pendidikan dan kesehatan. Materi umum kampanye
masih berkutat pada masalah klasik, seperti sembako, pengangguran, dan
korupsi. Namun, dalam era modern ini, sebaiknya berpikiran lebih cerdas dan
berwawasan jangka panjang dalam menyikapi nasib bangsa. Agar menjadi bangsa
besar perlu pembangunan bertumpu pada investasi sumber daya manusia, terutama
generasi muda.
Parpol
seharusnya juga mengarahkan konsep pembangunan bertitik tolak pada
kepentingan anak untuk diangkat dalam visi dan misi. Kepentingan anak jangan
hanya menjadi pelengkap. Masih banyaknya anak Indonesia bermasalah mulai dari
terbatasnya pelayanan kesehatan, pendidikan formal, dan moral. Tak heran,
selalu ditemukan bocah putus sekolah karena ekonomi keluarga lemah. Anak juga
mengalami gizi buruk, eksploitasi seksual, perdagangan, penyakit menular.
Lebih dari 47 juta atau sekitar 20 persen dari 238 juta penduduk Indonesia
berusia 10 tahun ke bawah.
Jumlah
tersebut akan mencapai 40 persen, bila dihitung beserta penduduk berusia
sampai 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa potensi anak dan generasi muda
tidak boleh diremehkan. Maka, parpol jangan mengabaikan kepentingan anak
dalam visi dan misi. Sayang, parpol hanya berkonsentrasi untuk mendulang
suara dengan mengutamakan kepentingan orang dewasa. Idealnya, partai juga
mengutakan kepentingan anak, jangan hanya mengeksploitasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar