Konsultan
Politik dalam Demokrasi Kita
Sidarto Danusubroto ; Ketua MPR RI
|
KORAN
SINDO, 22 April 2014
Diplomat
Prancis Maurice de Talleyarand (1754-1838) mendefinisikan pertarungan dalam dunia
politik dengan sangat simpel yaitu apa yang diyakini lebih penting daripada
kenyataannya.
Tentu
moralitas pernyataan tersebut bukan menasihatkan politisi dan partai politik
cukup bekerja sekadar untuk meyakinkan publik atas apa yang ingin mereka
komunikasikan (janji dalam bentuk program politik) sekaligus tidak peduli
apakah janji tersebut akan mereka realisasikan atau tidak (aktualisasi
janji-janji politik). Pernyataan Talleyrand itu bila kita korelasikan dengan
fungsi konsultan politik adalah bagaimana mereka mendesain formulasi dan
strategi kampanye agar kandidat maupun partai politik yang menggunakan
jasanya dalam kontestasi-kompetisi pemilu (pileg dan pilpres) mampu merebut
keyakinan publik.
Fenomena
konsultan politik yang belakangan marak merupakan sesuatu yang hadir dengan
sendirinya bersamaan dengan—terutama—demokrasi kita yang mengadopsi format
pemilihan langsung. Pada pileg yang lalu jasa konsultasi politik sangat
terasa sekalipun menurut konstitusi kita UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22 E Ayat
(3) sebenarnya peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
Tetapi,
kenyataannya basis suara utama yang dipertaruhkan adalah jumlah suara
individual masing-masing kandidat (seolah-olah peserta pemilu adalah
perorangan seperti yang diberlakukan pada pemilihan anggota DPD) dan bukan
nomor urut (kalau konsisten peserta pemilu adalah partai politik). Implikasi
tersebut menyebabkan antusiasme penggunaan jasa konsultan politik menjadi
tinggi karena tidak lagi sebatas partai politik, tapi menyebarkan kepada
kandidat yangjumlahnya sangat banyak.
Beberapa Catatan
Fakta
menyangkut fenomena jasa konsultan politik yang semakin bergaung karena
dibutuhkan para kandidat (pileg, pilpres, pilgub, dan pilkada) tentu saja
kita harus mencermati beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, jasa
konsultan politik haruslah berhubungan dengan pembentukan nilainilai dalam
rangka mengedukasi masyarakat untuk kepentingan bangsa. Artinya,
bentuk-bentuk komunikasi politik yang direkomendasikan kepada pengguna jasa
konsultasi politik tidak mengabaikan proses pembelajaran masyarakat.
Kedua,
bagaimana visi misi yang diusung kandidat atau partai politik betul-betul
terinformasikan kepada masyarakat sehingga upaya meyakinkan program kerja
terinternalisasi kepada publik. Ketiga, konsultan politik sudah selayaknya
mempertimbangkan aspek moralitas klien yang menggunakan jasanya. Ini
berkaitan dengan upaya menanamkan nilainilai edukasi. Moralitas merupakan
pertaruhan utama apalagi bagi mereka yang akan terlibat menjalankan fungsi
lembaga negara.
Keempat,
mendesain pengguna jasa konsultan politik menjadi figur atau lembaga (partai
politik) yang bisa diterima masyarakat. Sedapatnya dalam konteks ini secara
tidak langsung melakukan edukasi tidak kepada rakyat, tapi pengguna jasa
konsultan politik mempunyai pemahaman yang benar atas masyarakat agar tingkat
akseptabilitasnya tinggi. Kelima, analisis, opini, dan penjabarannya terhadap
fenomena yang berkembang supaya memiliki spektrum yang proporsional untuk
dijadikan fokus dalam mengambil keputusan.
Sekalipun
tentu saja keputusan apakah itu akan digunakan atau tidak sepenuhnya menjadi
hak klien. Keenam, orientasi pada pemecahan masalah dengan menggunakan scientific inquiry yang bertanggung
jawab yaitu suatu proses pendekatan ilmiah untuk memperoleh dan mendapatkan
informasi dengan melakukan observasi dan atau eksperimen untuk mencari
jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah
dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis.
Ketujuh,
menjaga independensi dengan cara tidak melayani semua keinginan klien yang
jelas-jelas mengabaikan etika publik. Bagaimana pun kontestasi politik yang
direkomendasikan dalam demokrasi ihwal yang bersifat legal dan etis.
Kedelapan, menjaga kehormatan profesi untuk tidak tergelincir menjadi pelacur
intelektual (konotasinya bersedia melakukan hal yang tidak dibenarkan hanya
karena dibayar). Kesembilan, memiliki moralitas untuk merasa bertanggung
jawab untuk meraih kesuksesan yang diinginkan klien sebagai pengguna jasa
konsultan politik.
Kesepuluh,
menjaga rahasia klien. Rahasia klien tidak selalu konotasinya selalu ihwal
yang secara umum negatif. Termasuk dalam rahasia klien adalah desain kampanye
dan semua hal yang berhubungan dengan kepentingan tersebut. Kesebelas,
profesionalisme. Ini berkaitan dengan banyak aspek, baik menyangkut semua
proses yang dibutuhkan dalam menyusun maupun mendesain formulasi kampanye.
Juga menyangkut bagaimana memosisikan diri berhadapan dengan klien,
independensi konsultan politik, kaidah-kaidah ilmiah keilmuan yang digunakan,
semua bertumpu pada objektivitas yang tidak manipulatif.
Fakta Lapangan
Fungsi
dan harapan yang bisa dikerjakan konsultan politik seperti diuraikan di atas
agar mereka juga memiliki kontribusi bagi demokrasi kita masa mendatang perlu
didorong. Tetapi, beberapa catatan yang terjadi pada pileg yang lalu
menunjukkan banyak hal yang perlu kita benahi. Pertama, fakta bahwa tingkat
pendidikan masyarakat kita yang masih terbilang rendah (rata-rata masih SMP)
merupakan tantangan riil ketika dihadapkan dengan model pemilihan langsung.
Ada sejumlah masalah dalam konteks jenjang pendidikan pemilih, secara
konseptual mereka tidak memiliki informasi dan daya serap yang memadai
mengenai penempatan figur-figur dalam penyelenggaraan negara.
Masyarakat
yang seperti itu cenderung mudah dinegosiasi (tidak militan): untuk DPR RI
(pilih caleg partai A), untuk DPR provinsi (pilih caleg partai B), dan untuk
DPR kabupaten/kota (pilih caleg partai C). Bentuk negosiasi yang paling
menohok adalah politik uang. Kita sekarang dibuat terkesima karena politik
uang pada pileg yang lalu begitu masif dan destruktif dibandingkan pileg
sebelumnya. Kedua, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah itu
mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat kita pun masih jauh dari
sejahtera.
Itu
berkorelasi dengan sistem pemilihan langsung yang bersifat individual yang
secara paradigmatik—suka tidak suka—belum nyambung betul dengan masyarakat
kita. Ketiga, keberadaan fungsi konsultan politik yang diperankan oleh tim
sukses. Pada beberapa bagian kerja konsultan politik dan tim sukses
bersinggungan— kalau tidak bisa dibilang persis sama. Perbedaan yang
prinsipiil bahwa tim sukses bisa melibatkan diri secara total (menjadi
subjektif), sedangkan konsultan politik bersifat imparsial (objektif).
Salah
satu contohnya tidak melayani semua keinginan klien sekaligus memberikan pilihan
rasional dengan sejumlah argumen. Keempat, konsultan politik bertindak
sebagai operator. Artinya, setelah memetakan medan pertempuran menyusun
strategi yang pada saat operasionalisasi desain tersebut konsultan politik
mendelegasikan timnya untuk terjun ke lapangan. Fakta seperti ini tentu tidak
boleh ditenggang sebab itu bukan saja bentuk melayani semua keinginan klien
(di lapangan boleh jadi yang menawarkan pihak konsultan politik), tetapi juga
merendahkan kehormatan profesi dan jelas tidak bersikap profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar