Rabu, 23 April 2014

Konsultan Politik dalam Demokrasi Kita

Konsultan Politik dalam Demokrasi Kita  

Sidarto Danusubroto  ;   Ketua MPR RI
KORAN SINDO, 22 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Diplomat Prancis Maurice de Talleyarand (1754-1838) mendefinisikan pertarungan dalam dunia politik dengan sangat simpel yaitu apa yang diyakini lebih penting daripada kenyataannya.

Tentu moralitas pernyataan tersebut bukan menasihatkan politisi dan partai politik cukup bekerja sekadar untuk meyakinkan publik atas apa yang ingin mereka komunikasikan (janji dalam bentuk program politik) sekaligus tidak peduli apakah janji tersebut akan mereka realisasikan atau tidak (aktualisasi janji-janji politik). Pernyataan Talleyrand itu bila kita korelasikan dengan fungsi konsultan politik adalah bagaimana mereka mendesain formulasi dan strategi kampanye agar kandidat maupun partai politik yang menggunakan jasanya dalam kontestasi-kompetisi pemilu (pileg dan pilpres) mampu merebut keyakinan publik.

Fenomena konsultan politik yang belakangan marak merupakan sesuatu yang hadir dengan sendirinya bersamaan dengan—terutama—demokrasi kita yang mengadopsi format pemilihan langsung. Pada pileg yang lalu jasa konsultasi politik sangat terasa sekalipun menurut konstitusi kita UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22 E Ayat (3) sebenarnya peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Tetapi, kenyataannya basis suara utama yang dipertaruhkan adalah jumlah suara individual masing-masing kandidat (seolah-olah peserta pemilu adalah perorangan seperti yang diberlakukan pada pemilihan anggota DPD) dan bukan nomor urut (kalau konsisten peserta pemilu adalah partai politik). Implikasi tersebut menyebabkan antusiasme penggunaan jasa konsultan politik menjadi tinggi karena tidak lagi sebatas partai politik, tapi menyebarkan kepada kandidat yangjumlahnya sangat banyak.

Beberapa Catatan

Fakta menyangkut fenomena jasa konsultan politik yang semakin bergaung karena dibutuhkan para kandidat (pileg, pilpres, pilgub, dan pilkada) tentu saja kita harus mencermati beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, jasa konsultan politik haruslah berhubungan dengan pembentukan nilainilai dalam rangka mengedukasi masyarakat untuk kepentingan bangsa. Artinya, bentuk-bentuk komunikasi politik yang direkomendasikan kepada pengguna jasa konsultasi politik tidak mengabaikan proses pembelajaran masyarakat.
Kedua, bagaimana visi misi yang diusung kandidat atau partai politik betul-betul terinformasikan kepada masyarakat sehingga upaya meyakinkan program kerja terinternalisasi kepada publik. Ketiga, konsultan politik sudah selayaknya mempertimbangkan aspek moralitas klien yang menggunakan jasanya. Ini berkaitan dengan upaya menanamkan nilainilai edukasi. Moralitas merupakan pertaruhan utama apalagi bagi mereka yang akan terlibat menjalankan fungsi lembaga negara.

Keempat, mendesain pengguna jasa konsultan politik menjadi figur atau lembaga (partai politik) yang bisa diterima masyarakat. Sedapatnya dalam konteks ini secara tidak langsung melakukan edukasi tidak kepada rakyat, tapi pengguna jasa konsultan politik mempunyai pemahaman yang benar atas masyarakat agar tingkat akseptabilitasnya tinggi. Kelima, analisis, opini, dan penjabarannya terhadap fenomena yang berkembang supaya memiliki spektrum yang proporsional untuk dijadikan fokus dalam mengambil keputusan.

Sekalipun tentu saja keputusan apakah itu akan digunakan atau tidak sepenuhnya menjadi hak klien. Keenam, orientasi pada pemecahan masalah dengan menggunakan scientific inquiry yang bertanggung jawab yaitu suatu proses pendekatan ilmiah untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan atau eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis.

Ketujuh, menjaga independensi dengan cara tidak melayani semua keinginan klien yang jelas-jelas mengabaikan etika publik. Bagaimana pun kontestasi politik yang direkomendasikan dalam demokrasi ihwal yang bersifat legal dan etis. Kedelapan, menjaga kehormatan profesi untuk tidak tergelincir menjadi pelacur intelektual (konotasinya bersedia melakukan hal yang tidak dibenarkan hanya karena dibayar). Kesembilan, memiliki moralitas untuk merasa bertanggung jawab untuk meraih kesuksesan yang diinginkan klien sebagai pengguna jasa konsultan politik.

Kesepuluh, menjaga rahasia klien. Rahasia klien tidak selalu konotasinya selalu ihwal yang secara umum negatif. Termasuk dalam rahasia klien adalah desain kampanye dan semua hal yang berhubungan dengan kepentingan tersebut. Kesebelas, profesionalisme. Ini berkaitan dengan banyak aspek, baik menyangkut semua proses yang dibutuhkan dalam menyusun maupun mendesain formulasi kampanye. Juga menyangkut bagaimana memosisikan diri berhadapan dengan klien, independensi konsultan politik, kaidah-kaidah ilmiah keilmuan yang digunakan, semua bertumpu pada objektivitas yang tidak manipulatif.

Fakta Lapangan

Fungsi dan harapan yang bisa dikerjakan konsultan politik seperti diuraikan di atas agar mereka juga memiliki kontribusi bagi demokrasi kita masa mendatang perlu didorong. Tetapi, beberapa catatan yang terjadi pada pileg yang lalu menunjukkan banyak hal yang perlu kita benahi. Pertama, fakta bahwa tingkat pendidikan masyarakat kita yang masih terbilang rendah (rata-rata masih SMP) merupakan tantangan riil ketika dihadapkan dengan model pemilihan langsung. Ada sejumlah masalah dalam konteks jenjang pendidikan pemilih, secara konseptual mereka tidak memiliki informasi dan daya serap yang memadai mengenai penempatan figur-figur dalam penyelenggaraan negara.

Masyarakat yang seperti itu cenderung mudah dinegosiasi (tidak militan): untuk DPR RI (pilih caleg partai A), untuk DPR provinsi (pilih caleg partai B), dan untuk DPR kabupaten/kota (pilih caleg partai C). Bentuk negosiasi yang paling menohok adalah politik uang. Kita sekarang dibuat terkesima karena politik uang pada pileg yang lalu begitu masif dan destruktif dibandingkan pileg sebelumnya. Kedua, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah itu mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat kita pun masih jauh dari sejahtera.

Itu berkorelasi dengan sistem pemilihan langsung yang bersifat individual yang secara paradigmatik—suka tidak suka—belum nyambung betul dengan masyarakat kita. Ketiga, keberadaan fungsi konsultan politik yang diperankan oleh tim sukses. Pada beberapa bagian kerja konsultan politik dan tim sukses bersinggungan— kalau tidak bisa dibilang persis sama. Perbedaan yang prinsipiil bahwa tim sukses bisa melibatkan diri secara total (menjadi subjektif), sedangkan konsultan politik bersifat imparsial (objektif).

Salah satu contohnya tidak melayani semua keinginan klien sekaligus memberikan pilihan rasional dengan sejumlah argumen. Keempat, konsultan politik bertindak sebagai operator. Artinya, setelah memetakan medan pertempuran menyusun strategi yang pada saat operasionalisasi desain tersebut konsultan politik mendelegasikan timnya untuk terjun ke lapangan. Fakta seperti ini tentu tidak boleh ditenggang sebab itu bukan saja bentuk melayani semua keinginan klien (di lapangan boleh jadi yang menawarkan pihak konsultan politik), tetapi juga merendahkan kehormatan profesi dan jelas tidak bersikap profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar