Jumat, 18 April 2014

Ketika Ujian Nasional Sarat Masalah

Ketika Ujian Nasional Sarat Masalah

Benni Setiawan  ;   Pegiat Karangmalang C-15, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 17 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Ujian Nasional (UN) sarat masalah. Betapa tidak, peserta didik harus mengikuti jam tambahan sekolah sebelum UN dilaksanakan.

Pelaksanaan UN pun tak lepas dari pengaruh kekuasaan politik atau spin doctor capres tertentu. Belum lagi, terkuaknya sindikat jual-beli jawaban UN. Namun, pemerintah tetap bergeming. Konon, UN menjadi sarana mengukur kualitas anak bangsa.

Ya, 1.001 alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap saja membuat peserta didik kecewa. Bukan hanya peserta didik yang dikecewakan, melainkan juga guru. Mereka sudah letih mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Mereka pun terbebani karena harus mampu meluluskan seluruh peserta didik. Jika tidak, penyesalan dan “dosa” pun akan ditanggung.

Dengan segala upaya, guru melakukan persiapan menghadapi UN. Peserta didik harus berangkat ke sekolah lebih pagi (pukul 06.00) dan kembali ke rumah pukul 15.30 sore. Semua itu demi mengejar target merampungkan soal-soal tahun lalu yang harus dipahami dan diselesaikan dalam waktu yang singkat oleh siswa.

Pembelajaran Kooperatif

Menurut Anita Lie (2010), model pembelajaran drill, hafalan, dan metode paksaan semata agar lulus UN, tak sepenuhnya memajukan siswa baik dalam bidang pengetahuan maupun kehidupan. Metode pembelajaran kooperatif, yang membuat siswa senang belajar sendiri, jauh lebih unggul dibandingkan pembelajaran kompetisi.

Model pembelajaran kompetisi memang mempunyai kelebihan, yakni ada kegembiraan, motivasi, dan semangat untuk menang pada diri siswa. Model kompetisi lebih mengarahkan siswa pada nilai tertinggi.

Namun, model pembelajaran kompetisi memiliki kekurangan. Siswa yang lamban akan terstigma dan terpinggirkan, punya perasaan negatif di antara lawan, menolak berbagi, dan tidak saling membantu. Dikarenakan fokus pada menang-kalah, bukan pada proses belajar, kegiatan kompetisi pun merupakan tujuan, bukan jalur untuk belajar.

Berbeda dengan pembelajaran kompetisi, model pembelajaran kooperatif menyiapkan siswa sebagai agen perubahan untuk masa depan yang lebih damai, dengan pendidikan yang berkualitas.

Paradoks

Tentunya, keadaan ini sungguh paradoks dengan apa yang telah diusahakan guru dalam tiga tahun proses belajar di sekolah. Guru yang telah mendidik siswanya dengan penuh ketekunan, keikhlasan, dan rasa menyayangi, lenyap sudah. Hal ini karena peran serta guru dalam mendidik siswa, sering harus dikalahkan oleh kepentingan dapat menyelesaikan soal dalam waktu singkat menurut lembaga bimbingan belajar.

Lembaga bimbingan belajar bak dewa penyelamat masa depan sekolah dan siswa. Pihak sekolah merasa terbantu karena lembaga bimbingan belajar telah membantu menjawab soal-soal ujian dan membuat prediksi.

Maksud pihak sekolah mengundang lembaga bimbingan belajar pun hanya satu, agar seluruh siswanya dapat lulus. Mereka tidak memikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan, walaupun toh pada akhirnya semua beban biaya ditanggung orang tua siswa.

Pihak sekolah akan merasa malu jika ada siswanya tidak lulus. Ketakutan lain dari pihak sekolah adalah turunnya angka akreditasi yang mengakibatkan sekolah mereka tidak laku, atau menurunnya jumlah siswa pada tahun yang akan datang. Gengsi sekolah dipertaruhkan dalam UN.

Pemimpin sekolah, baik kepala, wakil kepala sekolah, maupun guru juga takut akan ancaman pihak Dinas Pendidikan kabupaten atau kecamatan yang akan memotong tunjangan, memindahtugaskan, bahkan memecat pemimpin sekolah yang tidak mampu meluluskan 100 persen siswanya.

Tidak aneh jika kecurangan UN tahun lalu malah dilakukan guru dan kepala sekolah. Modusnya, mereka memberi kunci jawaban 15 menit sebelum siswa masuk mengerjakan soal UN.

Mengerdilkan Peran

Peran serta guru mendidik selama bertahun-tahun tidaklah berarti. Guru hanya sebagai hiasan atau bumbu bagi keberhasilan siswanya. Lembaga bimbingan belajarlah yang berjasa besar meluluskan siswa.

UN hanyalah sistem yang mengerdilkan peran serta guru dalam mendidik siswanya. Peluh keringat guru dengan gaji minim dalam mengajar setiap hari tidak ada gunanya. Guru sebagai individu yang mengetahui seluk-beluk dan kemampuan siswanya tidak mampu berbuat banyak. Mereka tidak diberi kewenangan sedikit pun untuk menilai, apakah siswanya dapat lulus atau tidak.

Padahal, sesuai Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 61 Ayat (2) UU Sisdiknas, seharusnya evaluasi hasil belajar dan penentu kelulusan siswa dilakukan pendidik/guru dan satuan pendidikan/sekolah.

Kedaulatan guru sebagai insan pendidik serta-merta dicabut oleh UN. Keadaan ini semakin memperparah kondisi pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia masih bertumpu pada nilai-nilai akademis (kognitif) dan mengesampingkan nilai-nilai (kecerdasan) yang lain.

Pendidikan Indonesia masih sangat mementingkan hasil daripada proses. Artinya, pendidikan yang selama ini dijadikan basis penyadaran dan pendewasaan tidak lebih diukur dari nilai-nilai yang dapat dibuat. Materi kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan emosional dan spiritual, tidak tersentuh dan dihargai sama sekali (Benni Setiawan: 2008).

Padahal, pemerintah tidak pernah melihat, mengerti, dan berinteraksi secara langsung dengan siswa. Demikian pula dengan tentor lembaga bimbingan belajar. Mungkin pemerintah hanya tahu berapa jumlah siswa yang belajar tahun ini, berapa persen siswa tahun lalu yang tidak lulus, dan target meningkatnya jumlah siswa yang harus lulus tahun ini.

Pada akhirnya, kekacauan pelaksanaan UN tahun ini semakin menambah persoalan dan beban bagi guru, pihak sekolah, dan sistem pendidikan nasional. Hal ini karena UN telah mengerdilkan fungsi dan peran guru sebagai pendidik dan pendidikan, sebagai proses kehidupan tidak henti (long life education).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar