Ketika
Ujian Nasional Sarat Masalah
Benni Setiawan ; Pegiat Karangmalang C-15, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 17 April 2014
Ujian
Nasional (UN) sarat masalah. Betapa tidak, peserta didik harus mengikuti jam
tambahan sekolah sebelum UN dilaksanakan.
Pelaksanaan
UN pun tak lepas dari pengaruh kekuasaan politik atau spin doctor capres tertentu. Belum lagi, terkuaknya sindikat jual-beli
jawaban UN. Namun, pemerintah tetap bergeming. Konon, UN menjadi sarana
mengukur kualitas anak bangsa.
Ya,
1.001 alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap saja membuat peserta
didik kecewa. Bukan hanya peserta didik yang dikecewakan, melainkan juga
guru. Mereka sudah letih mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Mereka
pun terbebani karena harus mampu meluluskan seluruh peserta didik. Jika
tidak, penyesalan dan “dosa” pun akan ditanggung.
Dengan
segala upaya, guru melakukan persiapan menghadapi UN. Peserta didik harus
berangkat ke sekolah lebih pagi (pukul 06.00) dan kembali ke rumah pukul
15.30 sore. Semua itu demi mengejar target merampungkan soal-soal tahun lalu
yang harus dipahami dan diselesaikan dalam waktu yang singkat oleh siswa.
Pembelajaran Kooperatif
Menurut
Anita Lie (2010), model pembelajaran drill, hafalan, dan metode paksaan
semata agar lulus UN, tak sepenuhnya memajukan siswa baik dalam bidang
pengetahuan maupun kehidupan. Metode pembelajaran kooperatif, yang membuat
siswa senang belajar sendiri, jauh lebih unggul dibandingkan pembelajaran
kompetisi.
Model
pembelajaran kompetisi memang mempunyai kelebihan, yakni ada kegembiraan,
motivasi, dan semangat untuk menang pada diri siswa. Model kompetisi lebih
mengarahkan siswa pada nilai tertinggi.
Namun,
model pembelajaran kompetisi memiliki kekurangan. Siswa yang lamban akan
terstigma dan terpinggirkan, punya perasaan negatif di antara lawan, menolak
berbagi, dan tidak saling membantu. Dikarenakan fokus pada menang-kalah,
bukan pada proses belajar, kegiatan kompetisi pun merupakan tujuan, bukan
jalur untuk belajar.
Berbeda
dengan pembelajaran kompetisi, model pembelajaran kooperatif menyiapkan siswa
sebagai agen perubahan untuk masa depan yang lebih damai, dengan pendidikan
yang berkualitas.
Paradoks
Tentunya,
keadaan ini sungguh paradoks dengan apa yang telah diusahakan guru dalam tiga
tahun proses belajar di sekolah. Guru yang telah mendidik siswanya dengan
penuh ketekunan, keikhlasan, dan rasa menyayangi, lenyap sudah. Hal ini
karena peran serta guru dalam mendidik siswa, sering harus dikalahkan oleh
kepentingan dapat menyelesaikan soal dalam waktu singkat menurut lembaga
bimbingan belajar.
Lembaga
bimbingan belajar bak dewa penyelamat masa depan sekolah dan siswa. Pihak
sekolah merasa terbantu karena lembaga bimbingan belajar telah membantu
menjawab soal-soal ujian dan membuat prediksi.
Maksud
pihak sekolah mengundang lembaga bimbingan belajar pun hanya satu, agar
seluruh siswanya dapat lulus. Mereka tidak memikirkan berapa biaya yang harus
dikeluarkan, walaupun toh pada akhirnya semua beban biaya ditanggung orang
tua siswa.
Pihak
sekolah akan merasa malu jika ada siswanya tidak lulus. Ketakutan lain dari
pihak sekolah adalah turunnya angka akreditasi yang mengakibatkan sekolah
mereka tidak laku, atau menurunnya jumlah siswa pada tahun yang akan datang.
Gengsi sekolah dipertaruhkan dalam UN.
Pemimpin
sekolah, baik kepala, wakil kepala sekolah, maupun guru juga takut akan
ancaman pihak Dinas Pendidikan kabupaten atau kecamatan yang akan memotong
tunjangan, memindahtugaskan, bahkan memecat pemimpin sekolah yang tidak mampu
meluluskan 100 persen siswanya.
Tidak
aneh jika kecurangan UN tahun lalu malah dilakukan guru dan kepala sekolah.
Modusnya, mereka memberi kunci jawaban 15 menit sebelum siswa masuk
mengerjakan soal UN.
Mengerdilkan Peran
Peran
serta guru mendidik selama bertahun-tahun tidaklah berarti. Guru hanya
sebagai hiasan atau bumbu bagi keberhasilan siswanya. Lembaga bimbingan
belajarlah yang berjasa besar meluluskan siswa.
UN hanyalah
sistem yang mengerdilkan peran serta guru dalam mendidik siswanya. Peluh
keringat guru dengan gaji minim dalam mengajar setiap hari tidak ada gunanya.
Guru sebagai individu yang mengetahui seluk-beluk dan kemampuan siswanya
tidak mampu berbuat banyak. Mereka tidak diberi kewenangan sedikit pun untuk
menilai, apakah siswanya dapat lulus atau tidak.
Padahal,
sesuai Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 61 Ayat (2) UU Sisdiknas, seharusnya
evaluasi hasil belajar dan penentu kelulusan siswa dilakukan pendidik/guru
dan satuan pendidikan/sekolah.
Kedaulatan
guru sebagai insan pendidik serta-merta dicabut oleh UN. Keadaan ini semakin
memperparah kondisi pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia masih bertumpu
pada nilai-nilai akademis (kognitif) dan mengesampingkan nilai-nilai
(kecerdasan) yang lain.
Pendidikan
Indonesia masih sangat mementingkan hasil daripada proses. Artinya,
pendidikan yang selama ini dijadikan basis penyadaran dan pendewasaan tidak
lebih diukur dari nilai-nilai yang dapat dibuat. Materi kecerdasan lainnya,
seperti kecerdasan emosional dan spiritual, tidak tersentuh dan dihargai sama
sekali (Benni Setiawan: 2008).
Padahal,
pemerintah tidak pernah melihat, mengerti, dan berinteraksi secara langsung
dengan siswa. Demikian pula dengan tentor lembaga bimbingan belajar. Mungkin
pemerintah hanya tahu berapa jumlah siswa yang belajar tahun ini, berapa
persen siswa tahun lalu yang tidak lulus, dan target meningkatnya jumlah
siswa yang harus lulus tahun ini.
Pada
akhirnya, kekacauan pelaksanaan UN tahun ini semakin menambah persoalan dan
beban bagi guru, pihak sekolah, dan sistem pendidikan nasional. Hal ini
karena UN telah mengerdilkan fungsi dan peran guru sebagai pendidik dan
pendidikan, sebagai proses kehidupan tidak henti (long life education). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar