Kemeredupan
Partai Islam
FS Swantoro ;
Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MEREDEKA, 10 April 2014
HASIL hitung cepat beberapa lembaga survei berkait hasil sementara
Pileg 9 April 2014 telah diumumkan pada beberapa televisi swasta. Salah
satunya dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan PDIP meraih
19,53% suara (diprediksi menjadi pemenang) disusul Golkar 15,43%, Gerindra
11,76%, Demokrat 10,32%, PKB 9,40%, PAN 7,38%, PPP 6,91%, PKS 6,21%, Nasdem
6,01%, dan Hanura 5,31%.
Dua partai dengan perolehan suara paling sedikit adalah PBB
1,36% dan PKPI 1,15%. Meski hasil hitung cepat hingga Rabu malam kemarin
belum merupakan hasil resmi, ibarat mencicipi makanan rakyat bisa tahu
rasanya.
Dari hasil hitung cepat tersebut, diprediksi 10 partai bisa
melenggang ke Senayan, kecuali PBB dan PKPI. Untukposisi empat besar secara
berurutan adalah PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat.
Lantas, bagaimana kita membaca hasil itu, mengaitkannya dengan
Pilpres 2014? Seperti diprediksikan sebelumnya, Pemilu 2014 agak mencemaskan
bagi nasib partai-partai berbasis massa Islam dibanding partai nasionalis
yang kini berdasarkan hasil hitung cepat menempati posisi empat besar. Tidak
berlebihan bila ada sementara pihak menyebut hasil pileg ini memperkuat bukti
kemunduran bagi partai Islam.
Di negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, partai
berbasis Islam seharusnya memperoleh porsi suara terbesar dalam setiap
kontestasi politik. Faktanya, sejak Pemilu 1955 suara partai Islam makin
tergerus, bahkan menempati posisi pinggiran dalam politik nasional. Itu
berarti partai Islam gagal menarik dukungan warga negara yang mayoritas
muslim.
Gambaran itu semestinya jadi peringatan bagi partai Islam dalam
kontestasi politik ke depan. Apalagi sejak tidak adanya tokoh anutan sekelas
Moh Natzir, Sukiman, Wahid Hasyim, Syaifuddin Sukri, Gus Dur, dan Nurcholish
Madjid, yang makin membuat partai Islam sulit meraih suara optimal. Secara
ideologis partai Islam pun membawa peran agak rumit. Sebagai institusi
partai, harus membawa misi spiritual dalam praktik politik yang bersifat
profan.
Sebagai institusi yang didukung komunitas keagamaan, harus
mengusahakan agar doktrin keagamaan memperoleh tempat semestinya dalam
politik dan berdiri mewakili konstituen tradisional. Realitasnya, umat
tradisional lebih memilih partai nasionalis, semisal PDIP, Golkar, Demokrat,
Gerindra, Hanura, atau Nasdem.
Fakta historis itu memperlihatkan bahwa kekuatan riil partai
Islam tidak berdampak signifikan untuk pemenangan pileg 9 April. Pada aspek
lain, secara sosiologis, mayoritas muslim tidak tertarik isu keagamaan
seperti mendirikan negara Islam yang sering menimbulkan konflik di tengah
pluralitas warga, sementara problem keseharian masyarakat adalah masalah
ekonomi dan kesejahteraan.
Karena itu, kemenguatan pragmatisme yang melandasi asas
keuntungan terhadap dinamika politik, menjadi beban berat bagi partai-partai
Islam. Ideologi tak lagi dipandang sebagai tata nilai keyakinan tapi tata
operasional yang harus berujung pada realisasi kesejahteraan ekonomi.
Selain itu, membaca hasil Pileg 2014 kita jangan terjebak pada
angka-angka kuantitatif tapi perlu melihat pula aspek kualitatifnya. Dari
segi kualitatif, pileg ini lebih baik dibanding Pemilu 2009, terutama berkait
partisipasi masyarakat dan ketercatatan warga (akurasi data) dalam daftar
pemilih tetap (DPT).
Kedaulatan Rakyat
Memahami substansi demokrasi saat ini, sejatinya potret itu
merupakan momentum bagi rakyat untuk memperlihatkan kedaulatannya. Konsep
dari, oleh, dan untuk rakyat sebagai saka guru demokrasi, harus tercermin
dalam keleluasaan rakyat menentukan pilihan terhadap wakil mereka di
parlemen.
Hal itu sekaligus menasbihkan siapa yang akan dipilih menjadi
presiden dalam Pilpres 9 Juli 2014. Bagaimanapun pesta demokrasi yang baru
saja kita lewati penting karena minimal tiga hal. Pertama; pileg menjadi
ujianuntuk melangkah ke tahap konsolidasi demokrasi.
Pasalnya hingga saat ini kita masih terjebak dalam transisi
demokrasi dan bingung mengambil langkah karena lebih mengedepankan kegaduhan
ketimbang menyuarakan nilai kebenaran dan kemanusiaan.
Kedua; pileg ini menjadi akhir penyelenggaraan pemilu secara
terpisah. Sebagaimana keputusan MK, mulai Pemilu 2019 kita menyambut
penyelenggaraan pemilu serentak, baik pileg maupun pilpres. Tentu, seluruh
elite yang terpilih pada pemilu sekarang akan menentukan Pileg dan Pilpres
2019.
Ketiga; suksesi kepemimpinan nasional. Masyarakat berharap
setetelah Pilpres 2014 muncul pemimpin yang mampu membawa perubahan bagi
nasib negarabangsa. Dua periode pemerintahan SBY gagal menuntaskan harapan
publik karena ia terlalu fokus mengelola zona nyaman kekuasaan dengan
mempertahankan relasi kuasa dengan mitra yang berinvestasi dalam
pemerintahannya.
Koalisi yang dirancangnya membuat kebijakan SBY lebih
berorientasi pada elite politik dan pengusaha, dengan meninggalkan rakyat.
Itulah sebabnya, efek pencapresan Jokowi disambut euforia publik, demi
menyongsong masa depan hidup bangsa yang lebih baik dan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar