Jumat, 11 April 2014

Kemeredupan Partai Islam

Kemeredupan Partai Islam

FS Swantoro  ;   Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MEREDEKA, 10 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
HASIL hitung cepat beberapa lembaga survei berkait hasil sementara Pileg 9 April 2014 telah diumumkan pada beberapa televisi swasta. Salah satunya dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan PDIP meraih 19,53% suara (diprediksi menjadi pemenang) disusul Golkar 15,43%, Gerindra 11,76%, Demokrat 10,32%, PKB 9,40%, PAN 7,38%, PPP 6,91%, PKS 6,21%, Nasdem 6,01%, dan Hanura 5,31%.

Dua partai dengan perolehan suara paling sedikit adalah PBB 1,36% dan PKPI 1,15%. Meski hasil hitung cepat hingga Rabu malam kemarin belum merupakan hasil resmi, ibarat mencicipi makanan rakyat bisa tahu rasanya.

Dari hasil hitung cepat tersebut, diprediksi 10 partai bisa melenggang ke Senayan, kecuali PBB dan PKPI. Untukposisi empat besar secara berurutan adalah PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat.

Lantas, bagaimana kita membaca hasil itu, mengaitkannya dengan Pilpres 2014? Seperti diprediksikan sebelumnya, Pemilu 2014 agak mencemaskan bagi nasib partai-partai berbasis massa Islam dibanding partai nasionalis yang kini berdasarkan hasil hitung cepat menempati posisi empat besar. Tidak berlebihan bila ada sementara pihak menyebut hasil pileg ini memperkuat bukti kemunduran bagi partai Islam.

Di negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, partai berbasis Islam seharusnya memperoleh porsi suara terbesar dalam setiap kontestasi politik. Faktanya, sejak Pemilu 1955 suara partai Islam makin tergerus, bahkan menempati posisi pinggiran dalam politik nasional. Itu berarti partai Islam gagal menarik dukungan warga negara yang mayoritas muslim.

Gambaran itu semestinya jadi peringatan bagi partai Islam dalam kontestasi politik ke depan. Apalagi sejak tidak adanya tokoh anutan sekelas Moh Natzir, Sukiman, Wahid Hasyim, Syaifuddin Sukri, Gus Dur, dan Nurcholish Madjid, yang makin membuat partai Islam sulit meraih suara optimal. Secara ideologis partai Islam pun membawa peran agak rumit. Sebagai institusi partai, harus membawa misi spiritual dalam praktik politik yang bersifat profan.

Sebagai institusi yang didukung komunitas keagamaan, harus mengusahakan agar doktrin keagamaan memperoleh tempat semestinya dalam politik dan berdiri mewakili konstituen tradisional. Realitasnya, umat tradisional lebih memilih partai nasionalis, semisal PDIP, Golkar, Demokrat, Gerindra, Hanura, atau Nasdem.

Fakta historis itu memperlihatkan bahwa kekuatan riil partai Islam tidak berdampak signifikan untuk pemenangan pileg 9 April. Pada aspek lain, secara sosiologis, mayoritas muslim tidak tertarik isu keagamaan seperti mendirikan negara Islam yang sering menimbulkan konflik di tengah pluralitas warga, sementara problem keseharian masyarakat adalah masalah ekonomi dan kesejahteraan.

Karena itu, kemenguatan pragmatisme yang melandasi asas keuntungan terhadap dinamika politik, menjadi beban berat bagi partai-partai Islam. Ideologi tak lagi dipandang sebagai tata nilai keyakinan tapi tata operasional yang harus berujung pada realisasi kesejahteraan ekonomi.

Selain itu, membaca hasil Pileg 2014 kita jangan terjebak pada angka-angka kuantitatif tapi perlu melihat pula aspek kualitatifnya. Dari segi kualitatif, pileg ini lebih baik dibanding Pemilu 2009, terutama berkait partisipasi masyarakat dan ketercatatan warga (akurasi data) dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Kedaulatan Rakyat

Memahami substansi demokrasi saat ini, sejatinya potret itu merupakan momentum bagi rakyat untuk memperlihatkan kedaulatannya. Konsep dari, oleh, dan untuk rakyat sebagai saka guru demokrasi, harus tercermin dalam keleluasaan rakyat menentukan pilihan terhadap wakil mereka di parlemen.

Hal itu sekaligus menasbihkan siapa yang akan dipilih menjadi presiden dalam Pilpres 9 Juli 2014. Bagaimanapun pesta demokrasi yang baru saja kita lewati penting karena minimal tiga hal. Pertama; pileg menjadi ujianuntuk melangkah ke tahap konsolidasi demokrasi.

Pasalnya hingga saat ini kita masih terjebak dalam transisi demokrasi dan bingung mengambil langkah karena lebih mengedepankan kegaduhan ketimbang menyuarakan nilai kebenaran dan kemanusiaan.

Kedua; pileg ini menjadi akhir penyelenggaraan pemilu secara terpisah. Sebagaimana keputusan MK, mulai Pemilu 2019 kita menyambut penyelenggaraan pemilu serentak, baik pileg maupun pilpres. Tentu, seluruh elite yang terpilih pada pemilu sekarang akan menentukan Pileg dan Pilpres 2019.

Ketiga; suksesi kepemimpinan nasional. Masyarakat berharap setetelah Pilpres 2014 muncul pemimpin yang mampu membawa perubahan bagi nasib negarabangsa. Dua periode pemerintahan SBY gagal menuntaskan harapan publik karena ia terlalu fokus mengelola zona nyaman kekuasaan dengan mempertahankan relasi kuasa dengan mitra yang berinvestasi dalam pemerintahannya.

Koalisi yang dirancangnya membuat kebijakan SBY lebih berorientasi pada elite politik dan pengusaha, dengan meninggalkan rakyat. Itulah sebabnya, efek pencapresan Jokowi disambut euforia publik, demi menyongsong masa depan hidup bangsa yang lebih baik dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar